Transformasi Radikal Nadiem

MENTERI Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim Kembali-Kembali Membangun gebrakan. Kali ini melalui Permendikbud-Ristek Nomor 53/2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Mas Menteri, demikian sapaannya, mengeluarkan aturan baru terkait dengan skripsi mahasiswa S-1 dan publikasi ilmiah bagi mahasiswa S-2/S-3.

Dalam aturan itu disebutkan bahwa mahasiswa Dapat Membangun tugas akhir dalam bentuk bukan hanya skripsi, tapi juga dapat berwujud proyek, prototipe, atau bentuk lain yang dikerjakan secara individu maupun Golongan.

Adapun mahasiswa program magister, magister terapan, doktor, ataupun doktor terapan tetap wajib diberi tugas akhir, tetapi Tak wajib terbit di jurnal.

Menurut Menteri Nadiem, aturan baru ini sebagai bagian dari program Merdeka Belajar yang digagasnya. Baginya, ukuran kompetensi seseorang Tak hanya lewat penulisan ilmiah. Kendati demikian, Nadiem menyerahkan implementasi keputusan yang Tak mewajibkan skripsi dan publikasi di jurnal tersebut kepada tiap-tiap perguruan tinggi.

Keputusan ini tentu disambut dengan tanggapan Variasi. Sejumlah kalangan mengkritik kebijakan Mendikbud-Ristek menghapus kewajiban menulis skripsi dan publikasi ini. Umumnya para pengkritik menilai penghapusan kewajiban ini Membangun mahasiswa menjadi malas Buat menulis artikel atau tulisan ilmiah.

Cek Artikel:  Momentum Perbaikan Aturan Pemilu

Apalagi kampus-kampus kini Lanjut menggenjot mahasiswa dan dosennya melakukan publikasi di jurnal bereputasi agar institusinya Dapat Bertanding di kawasan nasional maupun regional. Sebagaimana diketahui, salah satu indikator produktivitas perguruan tinggi berkualitas ialah banyaknya publikasi ilmiah terutama hingga level Dunia.

Walaupun kualitasnya perlu ditingkatkan, Direktorat Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud-Ristek pada 2021 mencatat jumlah publikasi ilmiah Indonesia mencapai 50.000. Nomor itu sekaligus mendongkrak peringkat publikasi ilmiah Indonesia dari peringkat 56 dunia ke peringkat 21 dunia.

Kewajiban dosen-dosen di kampus ialah menggembleng mahasiswa yang Ingin menjadi akademisi maupun periset Buat menulis secara sistematis dan menerbitkannya di jurnal.

Meski begitu, akibat kewajiban publikasi di jurnal ini, tak jarang Member sivitas akademika terjerat dalam jurnal-jurnal Imitasi dan predator. Kampus pun perlu Lanjut mengajarkan mahasiswanya Buat Tak melakukan plagiarisme yang bukan saja haram di dunia akademik, tapi juga di dunia profesional kerja.

Cek Artikel:  Merayakan Politik Kebinekaan

Yang jadi soal, dunia pendidikan terutama kampus Tak harus Membangun seluruh lulusannya Mempunyai keahlian menulis ataupun riset yang tinggi. Hak mahasiswa Buat memilih apakah dirinya Ingin menjadi akademisi/periset dengan kemampuan menulis yang Mahir atau menjadi praktisi yang Mempunyai skill yang Dapat diandalkan di tempat dirinya bekerja kelak. Tugas perguruan tinggi melahirkan lulusan dengan ragam keahlian tersebut.

Kita tentu Tak Ingin kewajiban menulis skripsi Buat mahasiswa S-1 maupun publikasi di jurnal Buat mahasiswa S-2 dan S-3 Bahkan menghambat studi yang dijalani para mahasiswa. Para akademisi pun perlu memahami, selain Buat menambah pengetahuan, sering kali mahasiswa mengikuti pendidikan tinggi Bahkan Buat mendapatkan jaringan kerja. Praktik seperti ini sudah lazim diterapkan di banyak negara yang sudah maju sistem pendidikannya seperti di Eropa, Amerika Perkumpulan, Australia, dan sejumlah negara di Asia lainnya.

Cek Artikel:  Perang Besar Melawan Judi Online

Terlepas dari berbagai kontroversi dan kekurangannya, kita perlu mengapresiasi kebijakan Kemendikbud-Ristek membebaskan kewajiban mahasiswa S-1 menulis skripsi atau mahasiswa S-2/S-3 Buat publikasi jurnal. Selain bebas menentukan pilihan, kebijakan ini sekaligus Dapat mengurangi tekanan mahasiswa dari para dosen yang Ingin memanfaatkan kewajiban tersebut Buat kepentingan terselubung mereka.

Pasalnya, tak jarang sejumlah akademisi pemalas mencoba menitipkan namanya agar Dapat dijadikan penulis kedua atau ketiga ketika publikasi ilmiah dilakukan. Kebijakan Nadiem ini merupakan tranformasi radikal pendidikan tinggi di Tanah Air. Pendidikan sejatinya membebaskan Sosok menjadi dirinya sendiri, memanusiakan Sosok. Pendidikan bukan menciptakan robot-robot yang memberhalakan formalitas tanpa memahami esensi sebagai insan akademik yang harus Bermanfaat bagi masyarakat.

Mungkin Anda Menyukai