Kejahatan Siber di Era Masyarakat Gaduho

Kejahatan Siber di Era Masyarakat Berisiko
Ilustrasi MI(MI/Seno)

PERINGATAN bahaya kejahatan siber sesungguhnya bukan hal yang baru. Pemerintah telah berkali-kali mengingatkan masyarakat agar selalu waspada dan tidak mudah termakan umpan para pelaku kejahatan siber. Akan tetapi, ulah pelaku yang makin canggih dalam menebar perangkap menyebabkan hingga saat ini korban-korban kejahatan siber pun terus berjatuhan. Melalui modus phising, di mana pelaku kemudian menyebarkan file aplikasi penipuan melalui jejaring platform media sosial, sering terjadi korban tidak sadar dan mudah teperdaya. 

Meski telah diberlakukan Undang Undang No 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP), di lapangan masih saja terjadi praktik pencurian data pribadi dan penipuan yang merugikan korban. Seperti diberitakan di media massa, belakangan ini beredar pesan di media sosial soal modus penipuan baru agar korban melakukan instal aplikasi undangan pernikahan, yang kemudian menjadi pintu masuk untuk menguras dana masyarakat yang tertipu. Salah satu kasus yang ramai diperbincangkan ialah nasib nasabah BRI yang simpanannya ludes seusai membuka link undangan pernikahan di WA (Media Indonesia, 29 Januari 2023).

Metode kerjanya ialah pelaku berpura-pura sebagai pihak yang mengirim undangan pernikahan dengan mengirimkan file ekstensi APK disertai foto undangan pernikahan kepada korban. Korban diminta untuk mengeklik dan menginstal aplikasi tertentu. Selanjutnya, korban dikonstruksi agar menyetujui hak akses (permission) terhadap beberapa aplikasi sehingga data pribadi yang bersifat rahasia dalam telepon seluler korban bisa dicuri pelaku. Data yang dicuri pelaku biasanya bermacam-macam, di mana yang terpenting ialah pencurian data pribadi perbankan yang bersifat rahasia seperti one time password (OTP).

Kebiasaanlnya, korban tidak sadar telah menjadi korban praktik kejahatan siber. Mereka baru sadar tatkala hendak mengambil uang simpanannya, yang ternyata ludes diambil oleh pelaku kejahatan siber dengan modus operandi yang makin canggih. Metode kerja pelaku kejahatan siber yang berkembang variatif membuat masyarakat rawan menjadi korban. Apa sebetulnya faktor yang membuat masyarakat mudah terperangkap masuk dalam cara kerja pelaku kejahatan siber yang merugikan itu?

 

Kejahatan siber

Praktik pencurian data pribadi yang makin masif sudah barang tentu harus diberantas. Praktik pencurian data pribadi ini bukan saja merugikan masyarakat secara individu, tetapi juga berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi yang luar biasa besar. Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhir tahun lalu pernah mengungkapkan bahwa kejahatan siber hingga hoaks bisa membuat ekonomi dunia merugi sampai US$5 triliun pada 2024 nanti.

Cek Artikel:  Politisasi Bansos sebagai Petitum Sengketa Pilpres 2024

Ketika menyadari potensi kerugian yang sangat besar dari praktik kejahatan siber inilah, pemerintah sebetulnya jauh-jauh hari telah berkomitmen untuk memastikan keamanan digital dan perlindungan data pribadi. Meski demikian, para pelaku kejahatan siber tampaknya tidak mudah untuk dijinakkan begitu saja. Meski berbagai upaya menangkal dan bahkan menangkap para pelaku kejahatan siber telah dilakukan, dalam praktiknya para pelaku kejahatan siber sepertinya selalu satu-dua langkah di depan aparat penegak hukum. Upaya untuk mencegah masyarakat menjadi korban pencurian data pribadi dan kejahatan siber sering kali terkendala berbagai faktor penyebab.

Pertama, karena kelihaian pelaku kejahatan siber untuk memanfaatkan umpan yang sifatnya personal. Memancing korban agar bersedia tanpa sadar mengeklik aplikasi tertentu, misalnya, sering dilakukan dengan mengirim link yang seolah berasal dari orang-orang yang mereka kenal secara personal. Para pelaku kejahatan siber biasanya terlebih dahulu memetakan siapa jejaring dan lingkungan sosial korban sebelum mereka menebar perangkap.

Memancing kelalaian korban melalui pengiriman link undangan pernikahan, acara rapat atau kegiatan yang lain, misalnya, sering kali tidak menimbulkan kecurigaan karena korban justru merasa terhormat menerima undangan dari orang yang dikira adalah kolega kerja atau saudaranya sendiri. Sebelumnya pelaku sudah mengetahui korban bekerja di instansi mana dan siapa nama rekan kerjanya. Tentu korban tidak mungkin curiga ketika menerima kiriman link undangan di handphone-nya. Pada titik di mana rasa curiga tidak lagi muncul maka jangan kaget jika korban pun kemudian teperdaya.

Kedua, karena kemampuan pelaku kejahatan siber melakukan spionase informasi. Seorang pelaku tidak hanya menebar tawaran link atau aplikasi penipuan begitu saja. Mereka juga mengonstruksi kedekatan atau suasana hubungan yang sifatnya personal dengan korban. Di sini, kelicikan pelaku kejahatan siber biasanya dengan cara memanfaatkan momentum hari-hari tertentu, terutama momentum yang personal, penting, dan mendesak sebagai pintu masuk untuk mempermudah memperdaya korban. Perayaan hari pernikahan, acara ulang tahun atau rapat, misalnya, sering kali menjadi momentum yang dimanfaatkan pelaku kejahatan siber untuk memancing respons korban tanpa berisiko dicurigai.

Dapat dibayangkan, bagaimana mungkin orang curiga ketika mereka menerima undangan pernikahan, ulang tahun, atau undangan rapat di aplikasi Whatsapp atau media sosial yang lain? Korban yang tidak didukung sikap kritis bisa dipastikan tanpa curiga akan membuka link yang ditawarkan pelaku. Terutama jika dalam kenyataan korban memang sempat mendengar akan digelar pertemuan atau acara bersama. Seorang pelaku yang menebar seratus umpan link kejahatan siber, bukan tidak mungkin akan berhasil memancing satu-dua korban untuk merespons tipuan yang mereka kirimkan, hingga kemudian berhasil menguras simpanan mereka di bank.

Cek Artikel:  IPM, Cita-cita dan Tantangan Masa Depan Indonesia

Ketiga, berkaitan dengan kemampuan literasi privasi dan literasi digital masyarakat. Meskipun telah diekspose berkali-kali di media massa, dan berbagai peringatan telah banyak disirkulasi di media sosial tentang bahaya pencurian data pribadi, hingga kini sebagian masyarakat ternyata masih belum memahami bahayanya. Kagak sedikit masyarakat yang masih mudah teperdaya memberikan data pribadi yang seharusnya rahasia dan membagikannya melalui media sosial.

Berdasarkan riset Hootsuite dan We Are Social (2021), jumlah pengguna internet di Indonesia sebanyak 202,6 juta orang dan yang aktif bermedsos sekitar 170 juta orang. Dari sekian banyak pengguna internet dan teknologi digital di Tanah Air, disinyalir yang benar-benar melek media digital tidak lebih dari 25% sehingga sebagian besar masyarakat yang lain mudah menjadi korban pelaku kejahatan siber karena ketidaktahuan dan ketidakmampuannya.

Keempat, berkaitan dengan sisi ‘lemah’ dari para pengguna internet dan teknologi yang cenderung dikuasai hasrat (desire) dan rasa ingin tahu yang besar, yang tidak diimbangi dengan sikap kehati-hatian yang memadai. Kagak sekali-dua kali terjadi, masyarakat yang menerima kiriman pesan di media sosial dengan cepat membuka dan membacanya.

Alih-alih bersikap hati-hati, mereka kebanyakan tanpa menimbang dampaknya di belakang hari yang mungkin timbul karena mengeklik begitu saja file atau tautan yang dikirimkan, dengan harapan dapat segera memperoleh kejelasan informasi yang diterima.

Gilles Deleuze (1987) menyatakan ‘hasrat manusia’ adalah ketidaksadaran yang membimbing manusia ke arah tindakan yang tidak patuh kepada tatanan, kepada hukum, kepada apa pun–tak terkecuali risiko yang bakal dihadapi. Di era perkembangan masyarakat digital, kita tahu bahwa perpaduan antara perangkat teknologi digital dan internet adalah langkah revolusioner yang memungkinkan para pengguna gadget dapat menikmati berbagai informasi dan menjelajah ruang-ruang digital seolah tanpa batas.

Dalam perkembangan masyarakat digital yang lepas kendali, masyarakat cenderung tumbuh menjadi cyborg yang makin bergantung pada penggunaan smartphone dan internet. Masalahnya, pada saat perkembangan teknologi digital dan internet belum disokong oleh literasi privasi yang memadai, maka yang terjadi ialah hasrat akan lebih menguasai dan orang akan lebih mudah terdorong menjelajah ruang-ruang digital karena keingintahuannya daripada memikirkan risikonya secara sadar.

Cek Artikel:  Membaca Arah Kabinet Jokowi Jilid II

 

Masyarakat berisiko

Praktik penipuan dan kejahatan siber adalah implikasi dari perkembangan masyarakat berisiko bahwa makin maju masyarakat, makin rawan pula mereka menjadi korban. Seperti dikatakan Ulrich Beck (1992), perkembangan masyarakat berikut perkembangan teknologi yang luar biasa cepat memang tidak terhindarkan bakal melahirkan masyarakat yang harus menghadapi berbagai risiko yang merugikan.

Perkembangan teknologi informasi dan masyarakat digital yang mengonstruksi dan mengkanalisasi perilaku masyarakat yang makin bergantung pada teknologi informasi, menyebabkan masyarakat terperangkap dalam logika algoritma dan makin bergantung pada data dan proses digitalisasi. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari tanpa sadar didisiplinkan, dan bahkan seolah semua kehidupannya diatur serta ditentukan oleh perangkat teknologi digital.

Demi melawan hegemoni dan disiplinisasi yang dikonstruksi perkembangan masyarakat digital, mau tidak mau yang harus dikembangkan ialah apa yang dikatakan Deleuze (1992) sebagai masyarakat kontrol (control society). Definisinya, masyarakat tidak lagi menjadi bagian dari cyborg yang hidupnya diatur, dikendalikan, dan bahkan didisiplinkan oleh sistem komputasi dan teknologi digital, melainkan menjadi individu yang tidak terjebak pada manipulasi hasrat (desire) dan kesenangan yang ditawarkan teknologi digital. Dan sebaliknya, mampu mengatur hidupnya dengan cara melawan, yakni mengambil sepenuhnya kontrol atas teknologi digital.

Ketika ini, benar bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia telah berhasil menangkap 13 pelaku yang diduga melakukan kejahatan keuangan dengan menyebar file link aplikasi APK bermodus phising melalui jejaring platform media sosial. Selama ini tidak sedikit kasus kejahatan siber, seperti pencurian identitas pribadi, penipuan kartu kredit, dan berbagai kasus tindak kejahatan online, berhasil dibongkar aparat. Masalahnya, di luar pendekatan legal-punitif seperti yang dilakukan aparat, yang tak kalah penting ialah bagaimana membangun mekanisme kontrol dan literasi privasi masyarakat agar dapat secara mandiri melakukan pengendalian atas hasrat diri dalam ruang jaringan (network space).

Sepanjang masyarakat masih menjadi sosok yang diperbudak dan dimanjakan oleh kemudahan yang ditawarkan teknologi digital (smartphone), maka sepanjang itu pula kasus kejahatan siber akan tetap bermunculan. Inilah barangkali risiko yang harus dibayar akibat dari kemajuan masyarakat digital yang makin masif.

Mungkin Anda Menyukai