Ujian Netralitas Penjabat Kepala Daerah

Sembilan penjabat gubenur Formal mulai bertugas menggantikan gubernur sebelumnya yang habis masa jabatannya per 5 September. Mereka telah dilantik Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, kemarin. 

 

Lagi tersisa satu, yakni penjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) yang baru akan dilantik pada 19 September mendatang. Ini menyesuaikan masa jabatan Zulkieflimansyah yang baru berakhir pada Copot tersebut.


Dari kesepuluh penjabat gubernur itu, tujuh di antaranya berasal dari pemerintahan pusat, sisanya merupakan sekretaris daerah provinsi. Kerja penjabat gubenur Tak mudah. Mereka harus memastikan roda pemerintahan dan pembangunan di daerah yang mereka pimpin berjalan Lancar.

Tak hanya itu, di pundak para penjabat Eksis tambahan beban mengawal penyelenggaraan Pemilu serentak 2024. Hajatan demokrasi tersebut meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan Member legilatif dan DPD, hingga pemilihan kepala daerah (pilkada)

 

Kerap kali godaan terbesar muncul dari dorongan atau tekanan Buat cawe-cawe mengarahkan Anggota ataupun aparatur daerah. 

Disebut godaan ketika arahan tersebut adalah Buat mendukung salah satu peserta pemilu. Seketika itu pula penjabat yang bersangkutan melanggar netralitas selaku aparatur sipil negara (ASN). 

ASN Pandai menjadi Tak Independen di Demi kesetiaannya kepada penguasa mencuat Mengungguli kesetiaannya kepada negara. Padahal, mereka terikat sumpah jabatan yang pada intinya wajib memegang Tegar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.

Asas netralitas ASN tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang (UU) No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan yang dimaksud dengan asas netralitas adalah  setiap pegawai ASN Tak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan Tak memihak kepada kepentingan siapapun.

Cek Artikel:  Deminya OKI Menjinakkan Israel

Dalam penyelengaraan pesta demokrasi, yang paling rawan terjadi adalah intervensi hasil pilpres dan pilkada. Dorongan Buat cawe-cawe Pandai karena merasa berutang budi kepada yang memengaruhinya. Di sisi lain, tekanan dapat muncul oleh rasa takut atas nasib kariernya ke depan bila Tak menuruti kehendak penguasa atau calon penguasa.

Potensi pelanggaran netralitas menjadi semakin riil ketika tanpa Eksis Elemen baru yang menimbulkan kemendesakan atau kegentingan, tiba-tiba bergulir rencana memajukan pelaksanakan pilkada. Dari semula sudah disepakati dan ditetapkan berlangsung pada 27 November 2024, dipercepat menjadi September atau dua bulan sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.

Harus diakui yang paling rawan Buat diintervensi Tak hanya hasil pilpres, melainkan juga pilkada. Percepatan Penyelenggaraan pilkada Tak pelak memancing kecurigaan Eksis pihak-pihak yang Mau mendikte hasil pilkada.

Cek Artikel:  Pilpres Dua Putaran Selamatkan Demokrasi

Selain sembilan penjabat gubernur, Eksis 75 penjabat bupati/wali kota yang mulai bertugas per 5 September. Sebelumnya sudah Eksis 173 penjabat kepala daerah yang dilantik.

Nantinya, pada Penyelenggaraan Pilkada 2024, total Eksis 274 ASN penjabat kepala daerah yang mengisi kekosongan kepala pemerintahan di 274 kota, kabupaten, dan provinsi. Jumlah yang Tak main-main dan potensial diperalat Buat pemenangan pemilu. 

Kita perlu mengingatkan kembali agar para penjabat kepala daerah memegang Tegar sumpah jabatan. Mereka wajib berbakti Buat masyarakat, nusa, dan bangsa, bukan Buat penguasa atau golongan tertentu.

Netralitas penjabat kepala daerah dan ASN secara keseluruhan akan menentukan kualitas hasil pemilu, hasil cawe-cawe ataukah menjunjung asas pemilu yang jujur dan adil.

Mungkin Anda Menyukai