Mengawasi Rumah Ibadah

PENYUSUPAN radikalisme dan paham terorisme di kegiatan keagamaan bukan hal baru. Ini Konkret, banyak terjadi, dan Alasan itu, harus ditanggulangi.

Tetapi, penanggulangan dengan pendekatan serbakontrol Pandai amat berbahaya. Bukan saja Bukan efektif, pendekatan kontrol Pandai amat mudah tergelincir menjadi bentuk tirani atau diktatorisme. Apabila sudah begitu, Bukan hanya mencelakai hak asasi Insan, diktarorisme akan Membangun sentimen dan radikalisme semakin kuat.

Karena itu, usulan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza Dahniel agar pemerintah mengontrol Sekalian tempat ibadah, Bukan Benar. Usul yang disampaikan dalam rapat dengan Komisi III DPR pada Senin (4/9) itu dapat melahirkan diktarorisme gaya baru.

Memang, dalam rapat tersebut, Rycko yang merupakan perwira bintang tiga dan juga polisi berprestasi dalam soal terorisme, sebenarnya menjawab keluhan Member Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Safaruddin, soal adanya masjid BUMN yang isi ceramahnya selalu menyebarkan kebencian terhadap pemerintah. Sekali Kembali, fenomena ini juga bukan hal baru.

Cek Artikel:  Nestapa Pahlawan Terlilit Pinjol

Rycko kemudian berkaca pada negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, juga negara-negara Timur Tengah yang Mempunyai mekanisme kontrol tempat-tempat ibadah.

Pendapat itu pun disambut oleh pengamat terorisme Al Chaidar. Menurutnya, tanpa kontrol maka ‘pembajakan’ rumah ibadah dapat terjadi.

Meski mungkin cocok di luar negeri, kontrol rumah ibadah sebenarnya ibarat pepatah membakar lumbung demi membunuh tikus. Sudah begitu, Dampak bagi ‘tikus-tikus’ teroris/radikal tadi, Pandai jadi hanya sekadar membatasi ruang gerak sementara. Dengan kelihaian gerak dan militansi sel yang mereka punyai, hanya soal waktu Tiba orang-orang berpaham teroris/radikal ini menemukan Sasaran rumah ibadah berikutnya.

Alasan itu, alih-alih mengontrol rumah ibadah, usul yang diberikan semestinya yang langsung menyasar penganut paham radikal atau teroris. Apalagi, sebagai pimpinan lembaga semacam BNPT, Rycko semestinya Pandai mengajukan usul yang Mempunyai mekanisme deteksi Pagi. Hal itu pula yang menjadi tanggung jawab BNPT.

Cek Artikel:  Mitigasi Akibat Perang Iran-Israel

Kalaupun negeri ini memaklumi Metode-Metode kontrol terkait kegiatan keagamaan, lembaga keagamaanlah yang paling berhak merumuskan maupun menjalankannya. Tetapi, berkaca pada program sertifikasi ulama MUI, Metode kontrol oleh komunitas intrakeagamaan pun tetap sulit.

Sempat berlangsung pada 2019 program sertifikasi ulama MUI, tapi kini tak terdengar Kembali. Kala itu, gelombang pertama diikuti 75 ulama. Dikatakan, dai yang lulus bukan saja berkualitas, tapi juga nonradikal.

MUI menyatakan akan bertanggung jawab terhadap kiprah dakwah mereka dan akan menegur apabila melenceng dari pakta integritas. Akan tetapi, program sertifikasi itu juga banyak ditentang kalangan ulama sendiri, termasuk dari Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia.

Lebih mendasar Kembali, Metode-Metode penanggulangan terorisme/radikalisme Bukan boleh bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945, Bagus soal kebebasan beribadah maupun kebebasan berpendapat. Apabila itu dilakukan, sama saja dengan langkah mundur dalam demokrasi dan penegakan HAM. Sudah semestinya Metode-Metode dialog dan deteksi Pagi menjadi garda depan dalam penanggulangan terorisme/radikalisme.

Cek Artikel:  Kembali Berdaulat di Sektor Pangan

Apabila memang rumah ibadah itu menjadi basis penyebaran radikalisme/terorisme, Semestinya BNPT bekerja sama dengan Dewan Masjid Indonesia merumuskan Metode-Metode pencegahan paham-paham yang menggoyahkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara tersebut. Bukan upaya sporadis mengawasi rumah ibadah.

Mungkin Anda Menyukai