Potret Usang Pembangunan di Pulau Rempang

BENTROK masyarakat adat Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, dengan aparat keamanan gabungan pada Kamis (7/9) Lewat menjadi bukti miskinnya pendekatan sosiologis rencana pembangunan kepada masyarakat. Rencana pemerintah membangun Rempang Eco-City, salah satu dari proyek strategis nasional (PSN), telah menempatkan masyarakat sebagai objek, bahkan hanya menjadi penonton dari atraksi yang menamakan diri pembangunan.

Berawal dari minimnya dialog akan rencana pembangunan, pemerintah langsung main ukur tanah dan pasang patok di sana, yang ujungnya meminta masyarakat Demi angkat kaki dari kampung Natalis mereka.

Sebuah praktik usang yang kerap terjadi di masa Orde Baru, pembangunan menjadi mantra sakti Demi membenarkan penggusuran permukiman Anggota.

Pembangunan proyek infrastruktur yang berujung pada konflik pemerintah dengan masyarakat setempat sejatinya bukan baru kali ini terjadi. Setiap tahun, selalu Eksis pengaduan Anggota yang masuk ke Komnas HAM perihal itu.

Cek Artikel:  Politik Aroma Dua Kaki Jokowi

Pemerintah, Berkualitas pusat maupun daerah, mestinya Giat membaca aturan perundangan yang telah dibuat dalam membangun negeri ini agar tak sering Terperosok ke lubang yang sama berkali-kali.

Perserikatan Bangsa-Bangsa, lewat Resolusi Komisi Hak Asasi Orang 1993/77, telah menempatkan penggusuran paksa sebagai bentuk pelanggaran hak asasi Orang dengan Pengelompokkan gross violation of human rights atau pelanggaran HAM kategori berat.

Sejak negeri ini dirintis pada 1945, ‘bapak pendiri bangsa’ menolak keras perbuatan apa pun yang melanggar peri kemanusiaan dan peri keadilan. Semangat itu tertuang Terang di pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Semangat itu kembali dipertegas di masa reformasi lewat Pasal 28E UUD 1945 hasil amendemen, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak menentukan di mana ia tinggal, Ingin meninggalkan tempatnya, dan berhak Demi kembali Tengah. Semakin dipertegas oleh Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang Berkualitas, sehat, dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Cek Artikel:  Anies Maju Suarakan Ketimpangan

Kalau begitu, menjadi pertanyaan besar Kalau pemerintah melaksanakan pembangunan dengan mengorbankan rakyatnya. Apa bedanya kelakuan seperti itu dengan praktik kolonial Belanda semasa menjajah Indonesia?

Pemerintah besama DPR sejatinya telah Membikin UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Demi Kepentingan Biasa. Semangat Istimewa dari UU Itu ialah pengadaan tanah dengan memberi ganti rugi yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.

Secara rinci UU itu memerintahkan pemberian ganti rugi itu dalam bentuk Duit, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, dan bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Sayangnya, Enggak Eksis ketentuan pidana yang secara Tertentu diatur dalam UU 2/2012 yang dapat menjerat pemerintah Kalau Enggak menaati ketentuan itu.

Cek Artikel:  Kebangkitan Sepak Bola Indonesia

Berkaca dari bentrok di Pulau Rempang, Terang sekali rencana mulia pembangunan dibuat tanpa melibatkan Anggota setempat sejak awal. Sejumlah Anggota yang berusaha mempertahankan hak mereka Bahkan ditahan penegak hukum.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pun telah meminta agar aparat penegak hukum dapat mengedepankan HAM dalam proses hukumnya.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur, kemarahan masyarakat sudah telanjur mengemuka di Pulau Rempang. Pemerintah mesti segera mengambil langkah Segera dalam meredam amarah masyarakat di sana.

Kalau Enggak, rencana membangun Pulau Rempang Demi menjadi destinasi investasi yang ditaksir mencapai Rp381 triliun dan dapat menyerap hingga 306.000 tenaga kerja hingga 2080 bakal terhenti. Jadikan rakyat Pulau Rempang sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Hakikat pembangunan ialah menyejahterakan rakyat, bukan menyengsarakan rakyat.

Mungkin Anda Menyukai