Muslihat Ganjar di Seruan Adzan

MEMANFAATKAN kekosongan hukum, mengeksploitasi celah aturan, Demi Pandai mencuri start kampanye Jernih-Jernih sebuah bentuk penerabasan prinsip berkeadilan dalam kontestasi demokrasi. Para kandidat semestinya menjunjung tinggi fatsun politik.

Kemunculan bakal capres yang diusung PDI Perjuangan Ganjar Pranowo dalam video azan magrib yang disiarkan televisi publik memicu polemik. Enggak hanya soal etika, tetapi juga persoalan Pendayagunaan politik identitas.

Di video itu Ganjar yang menjadi model tengah berwudu kemudian salat berjemaah di sebuah masjid dengan mengenakan baju koko putih, peci hitam, dan sarung.

Mulanya video azan itu dibuka dengan pemandangan alam Indonesia. Ganjar Lewat muncul menyambut jemaah yang akan salat.

Dia lantas menyalami dan mempersilakan jemaah yang datang Demi masuk ke masjid. Rangkaian video berikutnya Ganjar terlihat berwudu dan setelahnya duduk di saf depan sebagai makmum.

Cek Artikel:  Rekor Bukan baik Impor Beras

Bentuk tayangan yang Enggak patut semacam itu semestinya Enggak ditayangkan. Apalagi siaran TV tersebut menggunakan frekuensi publik yang Enggak boleh dipakai Demi di luar kepentingan publik.

Aksi Ganjar mendompleng tayangan azan tersebut Jernih merupakan bentuk kampanye. Padahal, semestinya tayangan azan semacam itu harus bebas dari kepentingan segelintir pihak, termasuk dari unsur politik.

Jangan hanya karena pemilik stasiun TV merupakan ketua Lazim parpol pendukung Ganjar, malah seenaknya menyajikan tayangan yang Enggak mengedepankan etika dan fatsun politik.

Tetapi, kekosongan hukum menjadi hambatan bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Demi menindak Ganjar. Pasalnya, Ganjar kini belum ditetapkan sebagai calon presiden, belum menjadi peserta pemilu. Ganjar baru menjadi kandidat yang bakal diusung dan belum terikat aturan pemilu.

Penindakan sulit dilakukan lantaran regulasi pemilu antara sosialisasi dan kampanye dinilai lemah. Pasal 79 Peraturan Komisi Pemilihan Lazim (KPU) No 15 Tahun 2023 tentang kampanye pemilihan Lazim menyatakan partai politik peserta pemilu dapat melakukan sosialisasi dan pendidikan politik di internal partai politik sebelum masa kampanye.

Cek Artikel:  Antiklimaks Menhan Prabowo

Dengan aturan kampanye yang absurd tersebut, sulit membedakan antara sosialisasi dan kampanye. Dalam aturan, sosialisasi hanya Demi partai politik peserta pemilu, sedangkan Demi para kontestan bakal capres-cawapres Enggak diatur.

Hal itulah yang Membangun atmosfer pertarungan bakal capres-cawapres di masa sosialisasi ibarat tarung bebas dan terjadi ketidaksetaraan antara satu kandidat dan kandidat lain.

Karena itulah, publik tentu berharap persoalan ketidaksetaraan dalam kontestasi demokrasi harus diakhiri. Apabila memang Bawaslu Enggak punya taring Demi menindak Ganjar, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mestinya mengambil langkah tegas terhadap stasiun TV Punya Ketua Lazim Perindo tersebut.

Apalagi Jernih dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Pasal 296 disebutkan bahwa KPI atau Dewan Pers melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu yang dilakukan lembaga penyiaran atau media massa cetak.

Cek Artikel:  Harlah Pancasila bukan cuma Upacara

Tanpa penindakan yang progresif dan berefek jera, perilaku tersebut Niscaya bakal diikuti kandidat lain. Bahkan, Enggak hanya capres-cawapres, mungkin juga oleh para calon Member legislatif. Penyelenggara pemilu pun harus menjadikan aksi Ganjar itu bahan Pengkajian Demi menyempurnakan aturan.

Tentu, bagi para kandidat lain agar dapat melakukan pengelolaan Imej diri secara etis, bermoral, dan beradab, termasuk di media dengan Enggak menampilkan sosialisasi politik primitif. Jangan mengakali ketiadaan aturan demi sekadar elektabilitas.

Mungkin Anda Menyukai