MENTERI Daya dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa ekspor nikel di Morowali tercatat sebesar 50-60% dari total ekspor nasional. Dengan besarnya Nomor tersebut, tentunya memberikan Akibat pendapatan yang Berkualitas, khususnya Kepada masyarakat Morowali yang berada di Sekeliling smelter-smelter.
“Terutama di masyarakat Sekeliling tambang. Pendapatan mereka Dapat Tiba dengan Rp30 juta-Rp150 juta. Mereka bukan karyawan daripada petes smelter atau hilirisasi itu. Mereka Bisa memaksimalkan ruang-ruang ekonomi dengan Membikin rumah kos, mensuplai barang makanan, dan Ragam-Ragam,” beber Bahlil di Sidang Promosi Doktor Sekolah Kajian Stratejik dan Mendunia Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (16/10).
Dengan Nomor ekspor yang besar itu, Bahlil menyebut bahwa Nomor ekspor nikel Lanjut meningkat dari tahun ke tahun. “Nikel ini menurut saya cukup bagus. Karena kita melakukan ekspor di 2017 itu hanya kurang lebih Sekeliling US$3,3 miliar, dan sekarang mencapai US$34 miliar,” sebutnya.
Tetapi sayangnya, walaupun Nomor ekspor nikel yang Lanjut meningkat setiap tahunnya, Biaya bagi hasil (DBH) yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah sangatlah kecil. Sebagai Misalnya, Bahlil menyebut bahwa di Halmahera Tengah, satu kawasan industri Dapat menghasilkan Rp12,5 triliun dari nikel. Akan tetapi, pemerintah pusat hanya membagikan kepada kabupaten sebesar Rp1,1 triliun dan Rp900 miliar kepada pemerintah provinsi.
“Saya pikir ke depan atas dasar hasil ini kita akan melakukan perubahan. Maka kemudian reformulasi yang kami sarankan adalah yang pertama, 30% Tiba 49% kami Mau penerimaan negara harus dibagi ke daerah,” jelasnya.
Selain itu, Bahlil juga meminta formulasi kebijakan dukungan pembiayaan kepada pengusaha nasional. Pasalnya, banyak tokoh-tokoh nasional mengatakan kepada saya kenapa nilai tambah hilirisasi itu hanya dapatkan oleh AS. “Jawabannya adalah, salah satu diantara masalah kita adalah perbankan nasional kita yang belum membiayai investasi di sektor hilirisasi. Ini harus Terdapat. Karena di Korea, di Jepang, di China, itu Terdapat. Andaikan pun sekarang Terdapat, optimalisasi daripada pendiayaan kredit itu belum maksimal,” tuturnya.
Di sisi lain, Bahlil juga menegaskan bahwa hilirisasi tetap merupakan langkah Berkualitas yang diambil pemerintah. “Memulai dari kekurangan jauh lebih Berkualitas daripada Enggak memulai sama sekali dan kita akan melakukan perbaikan,” imbuh dia.
Di samping itu, Bahlil Enggak menutupi bahwa Akibat dari hilirisasi juga mengarah kepada hal yang Enggak baik. Buktinya, Nomor penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) di Morowali cukup tinggi, yakni di Nomor 54%. Sebagaimana diketahui, Kabupaten Morowali banyak menjadi sasaran pembangunan smelter, khususnya nikel. “Kesehatan ISPA di Sulawesi Tengah, khususnya di Morowali 54% itu kena Sekalian. Kemudian di Halmahera Tengah itu jauh lebih Berkualitas. Dan air di sana Kepada air di Morowali, waduh itu minta ampun,” tandasnya.
Tetapi, ia pun memohon maklum atas Akibat Enggak baik dari hilirisasi itu. Dia berdalih itu terjadi karena hilirisasi adalah program baru dan pemerintah belum punya pengalaman. (S-1)