Buruh Industri Hasil Tembakau Waswas dengan Kebijakan PP 282024 dan RPMK

Buruh Industri Hasil Tembakau Waswas dengan Kebijakan PP 28/2024 dan RPMK
Ilustrasi(Antara)

Ketua Lumrah PP FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, menyebut Peraturan Pemerintah 28 tahun 2024 tentang Peraturan Penyelenggaraan UU nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik terhadap Industri Hasil Tembakau secara Konkret dapat mematikan keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) nasional. 

Ia mengungkapkan, Demi ini, Terdapat 143 ribu Personil FSP RTMM-SPSI yang menggantungkan nasib pada sektor industri tembakau sebagai tenaga kerja pabrikan.

“Kebijakan ini secara terang-terangan akan mematikan industri hasil tembakau nasional. Terdapat kurang lebih 226 ribu tenaga kerja Personil organisasi dari industri terkait yang akan terkena Akibat dari regulasi tersebut,” kata Sudarto dalam keterangan resminya, Rabu (16/10).

Dirinya menyesalkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang Enggak pernah melibatkan RTMM-SPSI dalam pembahasan pasal tembakau RPP Kesehatan.

“Padahal, produk tembakau adalah produk Absah yang diakui negara. Dan sektor IHT juga telah menjadi sumber pendapatan besar bagi negara dan menyerap jutaan tenaga kerja,” ungkapnya.

Cek Artikel:  30 Perusahaan Antre IPO hingga Akhir Mengertin

Oleh karena itu, dirinya meminta Kemenkes mengeluarkan aturan produk tembakau dari RPP Kesehatan. Menurutnya, banyaknya Embargo terhadap produk tembakau dalam RPP Kesehatan dinilai telah mengkhianati amanah UU Kesehatan yang sama sekali Enggak melarang produk tembakau.

Sudarto menilai, aturan produk yang telah berlaku Demi ini, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) sudah komprehensif mengatur pengendalian produk tembakau. 

“Aturan tersebut sebaiknya dipertahankan dan diperkuat implementasinya, bukan diganti tanpa Terdapat Pengkajian secara komprehensif,” ucap dia.

Hal yang sama juga diungkapkan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad. Ia menilai kebijakan terkait industri rokok sehubungan dengan aturan-aturan yang tertera pada PP 28/2024 dan RPMK, Yakni kemasan rokok polos tanpa merek, Embargo berjualan di Kurang Lebih satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dan Restriksi iklan luar ruang, berpotensi memberikan Akibat ekonomi yang signifikan. 

Cek Artikel:  Strategi Pupuk Indonesia Figurkan Ketahanan Pangan Nasional

Menurutnya, Apabila aturan ini dilaksanakan maka Akibat ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp308 triliun atau setara dengan 1,5% dari PDB. 

Selain itu, Akibat terhadap penerimaan perpajakan diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun yang setara dengan 7% dari total penerimaan perpajakan nasional. 

“Kebijakan ini juga berpotensi mempengaruhi Kurang Lebih 2,3 juta tenaga kerja di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) dan produk turunannya atau 1,6% dari total penduduk bekerja,” ujar Tauhid.

Kebijakan PP 28/2024 serta RPMK, sambung dia, perlu melibatkan setiap pemangku kepentingan dalam ekosistem Industri Hasil Tembakau (IHT), bukan hanya pelaku usaha, Tetapi juga kementerian dan lembaga yang terlibat. 

Cek Artikel:  International Flooring Technology Indonesia Pamerkan Kesempatan di Industri Dasar

“Hal ini dikarenakan Indonesia Mempunyai ekosistem IHT yang kompleks dan berbeda dari negara lain yang telah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana negara-negara tersebut bukan merupakan negara penghasil tembakau maupun produk hasil tembakau serta Mempunyai kontribusi pajak rokok yang relatif rendah,” bebernya.

Tauhid mengungkapkan bahwa INDEF telah memberikan rekomendasi agar pemerintah melakukan revisi PP 28/2024 dan membatalkan RPMK terutama pada pasal-pasal yang berpotensi berdampak negatif terhadap penerimaan dan perekonomian negara. 

Selain itu, INDEF juga mendorong terjadinya dialog antar Kementerian dan Lembaga (K/L) yang berkepentingan dengan IHT, seperti Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pertanian. 

“Apabila kebijakan dan regulasi tersebut tetap diberlakukan, pemerintah diharapkan dapat mencari sumber alternatif penerimaan negara yang hilang serta menyiapkan lapangan pekerjaan baru bagi tenaga kerja yang terdampak,” pungkasnya. (Z-11)

 

Mungkin Anda Menyukai