Puasa Ramadan dan Evidence Based Medicine

Puasa Ramadan dan Evidence Based Medicine
Ilustrasi MI(MI/Seno)

DALAM fikih atau hukum Islam, berpuasa selama bulan Ramadan ialah kewajiban bagi umat muslim. Dasar perintah itu tertulis di Surah Al-Baqarah ayat 183 yang diturunkan sekitar 1.400 tahun yang lalu, pada tahun kedua Hijriah. Demikianlah, selama 14 abad umat muslim menjalankan kewajiban berpuasa Ramadan dalam kerangka fikih. Tetapi, puasa sebagai budaya berusia jauh lebih tua daripada umur agama Islam. Beberapa bangsa kuno yang berperadaban tinggi, seperti Romawi, Mesir, atau Tiongkok, memiliki kebiasaan berpuasa untuk beragam tujuan, antara lain sebagai bentuk ritual budaya atau kepercayaan.

Pada abad ke-20, mulai banyak penelitian yang dilakukan para ilmuwan kedokteran dan kesehatan yang menunjukkan puasa setidaknya membawa manfaat menyehatkan tubuh. Banyak penelitian medis yang menunjukkan manfaat puasa pada Kesehatan. Itu mengarah pada apa yang disebut sebagai evidence based medicine (EBM) atau pengobatan berbasis bukti.

EBM menggunakan metode ilmiah, berbasis penelitian, menggunakan data terbaru, dan menggunakannya untuk praktik klinik atau layanan perawatan kesehatan. Dengan demikian, ilmu pengetahuan terbaru yang dipadukan dengan pengalaman klinis digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan medis.

Banyak sekali hasil riset medis yang meneliti hubungan antara puasa dan kesehatan tubuh. Misalnya, studi kohort (sumber data dari layanan ibu hamil, melahirkan, bayi, dan balita) yang dilakukan 81 mahasiswa University Teheran of Medical Science menunjukkan, berpuasa selama Ramadan dapat menurunkan glukosa dan berat badan.

Studi itu melakukan evaluasi berat badan, indeks massa tubuh (BMI), glukosa, trigliserida (TG), kolesterol, lipoprotein, low density lipoprotein (LDL), high density lipoprotein (HDL), dan very low density lipoprotein (VLDL), sebelum dan sesudah Ramadan. Hasilnya menunjukkan, melakukan puasa Ramadan dapat menyebabkan menurunnya kadar glukosa dan berat badan sehingga akan mencegah dari potensi diabetes dan obesitas.

Terdapat juga kumpulan hasil penelitian mengenai puasa, yang kemudian dijadikan dasar panduan berpuasa yang aman untuk pasien penderita penyakit kronis, seperti diabetes melitus, gagal ginjal kronis, dan penyakit jantung koroner. Itulah yang akan memandu pasien penderita penyakit kronis, kapan boleh berpuasa, kapan tidak boleh. Misal pada pasien yang berisiko rendah atau sedang (seperti pada angina stabil), boleh berpuasa asalkan tetap menjalani pengobatan dan kondisi klinisnya memungkinkan. Pada pasien yang berisiko tinggi seperti gagal jantung berat, di sarankan untuk tidak usah berpuasa.

Terdapat juga riset yang meneliti penggunaan energi untuk bahan bakar metabolisme. Begitu berpuasa, tubuh otomatis akan menghemat energi karena aktivitas fisiknya berkurang. Konsumsi energinya berkurang dan kecepatan metabolismenya menurun. Meskipun tidak ada asupan kalori protein, kebutuhan energi untuk metabolisme bisa tetap terpenuhi selama periode berpuasa. Itu karena tubuh memiliki sistem peringatan yang melibatkan respons saraf dan hormonal. Mekanisme itu dapat mendeteksi kekurangan kalori dengan rentang waktu 24 jam dan kemudian meresponsnya sebagai bentuk kompensasi tubuh melalui proses yang disebut katabolik.

Cek Artikel:  Tolak Pemilu Basa-basi

Tubuh akan mencari cara untuk mengatasi persoalan tidak masuknya nutrisi dan mengurangi akibat kelaparan. Dalam 24 jam pertama puasa, persediaan glukosa-asam lemak darah dan glikogen hati-otot akan digunakan sebagai sumber energi tubuh. Tetapi, jumlahnya masih kurang jika dibandingkan dengan kebutuhan untuk metabolisme sehari-hari saat tidak berpuasa.

Apabila belum ada asupan nutrisi lagi, trigliserida (dari jaringan lemak) akan dipecah menjadi asam lemak dan keton yang dipakai jaringan nonotak sebagai sumber energi tubuh. Otak akan memperoleh energi hanya melalui jalur yang menghasilkan glukosa. Dalam keadaan biasa, otak menggunakan 5 gram glukosa/jam sebagai sumber energi, baik puasa maupun tidak. Otak juga mampu menggunakan keton sebagai sumber energi, baik ketika bangun, tidur, maupun ketika sedang berpikir.

Spesialis saraf pada Fakultas Topengteran Universitas Johns Hopkins, Mark P Mattson, menjelaskan berikut. Dalam kondisi biasa, hati menyimpan glukosa yang digunakan sebagai energi oleh tubuh (terutama otak), sebelum kemudian berubah menjadi pembakaran lemak tubuh. Dibutuhkan 10 jam hingga 12 jam untuk menghabiskan kalori di hati, sebelum kemudian bergeser menggunakan lemak yang tersimpan sebagai energi untuk metabolisme.

Setelah makan, glukosa akan digunakan sebagai energi dan sisa kelebihannya akan di simpan di hati serta unsur lemaknya akan disimpan di jaringan lemak. Tetapi, selama berpuasa, begitu glukosa habis digunakan sebagai energi, timbunan lemak akan dipecah dan digunakan sebagai energi, meskipun dengan kecepatan metabolisme yang lebih lambat.

Orang yang yang akan menurunkan berat badan, harus melakukan diet agar selama 16 jam terbebas dari penambahan kalori. Tetapi, Mattson menyarankan cara yang lebih mudah, yaitu dengan berhenti makan pada pukul 19.00, kemudian dilanjutkan dengan tidak sarapan esok harinya, dan baru makan lagi pada pukul 11.00 menjelang siang. Itulah yang disebut metode diet 7:11, seperti ditulis di The New England Journal of Medicine. Singkatnya, pola itu terbentuk dari makan dengan waktu terbatas setiap hari, dengan memperpendek rentang waktu makan menjadi 8 jam per harinya.

Bagaimana dengan perempuan hamil dan menyusui yang berpuasa? Dalam fikih, demi menjaga kondisinya dan kondisi janin atau bayinya, ibu hamil dan menyusui tidak diwajibkan berpuasa saat bulan Ramadan, tetapi wajib menggantinya dengan berpuasa pada waktu yang lain.

Tetapi, di luar soal fikih, ada riset medis dengan responden perempuan tidak hamil, perempuan hamil, dan ibu menyusui di Afrika Barat yang menunjukkan temuan menarik. Rupanya, hasil penelitian menunjukkan, tidak terdapat perbedaan kadar glukosa serum, asam lemak bebas, trigliserol, keton, beta hidrosit butirat, alanin, insulin, glucagon, dan hormon tiroksin, di antara ketiga kategori responden itu. Maksudnya, berpuasa tidak memunculkan perbedaan yang bermakna pada kelompok perempuan hamil dan menyusui.

Cek Artikel:  Pertemuan SBY-Prabowo Menuju 2019

Riset lain juga menunjukkan, berpuasa akan mendorong terjadinya keseimbangan anabolisme dan katabolisme. Itu sehingga asam amino dan zat lainnya tetap membantu proses peremajaan sel dan komponennya, dengan cara memproduksi glukosa darah dan menyuplai asam amino dalam darah sepanjang hari. Dalam kondisi berpuasa, asam amino akan teroksidasi dengan pelan dan zat keton tidak meningkat dalam darah sehingga tidak akan mengakibatkan kondisi asam dalam darah.

Berpuasa di bulan Ramadan juga tidak memengaruhi fungsi kelenjar gondok manusia. Berdasarkan penelitian, terlihat tidak terdapat perbedaan kadar plasma tiroksin (TS), tiroksin bebas, tironin triyodium, dan hormon perangsang gondok (TSH) pada responden penderita laki-laki yang berpuasa. Berpuasa di bulan Ramadan juga tidak memberikan pengaruh pada hormon virgisteron. Tetapi, 80% responden penelitian menunjukkan terdapat penurunan hormon prolaktin yang berguna dan sebagai harapan baru bagi penderita infertilitas atau kemandulan wanita yang disebabkan hormon prolaktin. Berpuasa Ramadan juga bisa meningkatkan HDL dan apoprotein alfa 1 serta menurunkan LDL yang sangat bermanfaat bagi kesehatan jantung dan pembuluh darah.

 

Topengteran berbasis bukti dan bucailleisme

Banyaknya hasil riset medis yang menunjukkan hubungan yang positif antara puasa Ramadan (yang tertulis di Al-Qur’an) dan kesehatan itu lantas memunculkan rasa penasaran dan keinginan untuk meneliti lebih lanjut. Apakah ada ayat-ayat lainnya yang juga bisa dijelaskan dengan sains modern?

 

Dalam hal manfaat berpuasa bagi kesehatan yang sudah dibuktikan sains modern, ini menjadi dasar apa yang disebut sebagai evidence based medicine (kedokteran berbasis bukti). Bagi umat muslim, hal itu tentu akan semakin menguatkan keimanan seseorang. Dalam perkembangannya, penelitian tentang kesesuaian ayat-ayat Al-Qur’an dengan sains tidak terbatas pada topik kesehatan saja. Banyak ahli yang meneliti ayat dengan topik lain untuk mencari tahu apakah ada kesesuaian dengan sains modern.

Salah seorang di antaranya Maurice Bucaille, ahli bedah spesialis gastroenterologi dan penulis banyak buku dari Prancis. Pada 1973, Bucaille diangkat sebagai dokter keluarga Raja Faisal dari Arab Saudi. Bucaille telah menghasilkan banyak buku dan tulisan lainnya tentang hubungan antara ayat kitab suci dan sains modern. Karyanya yang terkenal ialah La Bible, le Coran et la Science (The Bible, The Qur’an, and Science), diterbitkan 1976.

Edisi Indonesianya diterbitkan dengan judul Bibel, Quran dan Sains Modern. Disusul dengan buku lainnya, antara lain Qur’an and Modern Science, dan buku lain yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Asal-usul Mahluk Menurut Bibel, Al-Qur’an dan Sains. Bucaille juga menulis buku lain, Les Momies des Pharaons et la Medecine, atau Mummies of the Pharaohs: Modern Medical Investigations by Maurice Bucaille, yang menyelidiki kebenaran kisah Firaun yang tenggelam di Laut Merah saat mengejar Musa dengan cara penyelidikan secara medis pada muminya.

Cek Artikel:  Meninggikan Substansi, Menghempaskan Gimik

Di kemudian hari, riset-riset Bucaille itu menarik banyak pengikut sehingga muncul apa yang disebut Bucaillesme, yaitu mereka yang meyakini pendapat bahwa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang bisa dijelaskan dengan kaidah sains modern. Dapat dikatakan, itu ialah proses pencarian akademis sekaligus religius Bucaille, atau sederhananya ijtihad, yang di kemudian hari menjadi mualaf.

Dalam konteks fikih, jika ijtihadnya benar dan mendatangkan manfaat bagi umat, akan mendapatkan pahala. Apabila ijtihadnya salah, baik sebagian maupun keseluruhan, dia tidak akan mendapatkan poin positif alias dosa. Hal itu perlu dijelaskan karena sebagaimana kelaziman dalam dunia akademis, sangat dimungkinkan munculnya perbedaan pendapat, temuan yang lebih baru menggantikan temuan sebelumnya, sintesis direspons dengan antitesis, sehingga melahirkan sintesis dan seterusnya. Demikian juga riset-risetnya Bucaille itu yang kemudian memunculkan respons dari ilmuwan lain yang tidak sependapat.

Misalnya, Daniel Golden menganggap riset-riset Bucaille seperti mengikuti teori kreasionisme Kristen. Yang intinya ialah setiap kelahiran atau kemunculan makhluk hidup di alam ini ada campur tangan Ilahiah. Bedanya, kreasionisme itu menolak peran sains modern, sementara Bucailleisme justru meyakininya (Daniel Golden, Strange Bedfellows: Western Scholars Play Key Role in Touting ‘Science’ of the Qur’an, Wall Street Journal, 23/1/22). Sementara itu, kritikus sastra Sameer Rahim mengatakan klaim klaim Bucaille dianggap sebagai lelucon oleh para ilmuwan lain dan teolog (Sameer Rahim, Pathfinders: The Golden Age of Arabic Science by Jim al-Khalili: review, The Telegraph, 8/10/2010).

Akan tetapi, pada artikel ini kita tidak akan mengupas lebih jauh tentang pro-kontra teori Bucaille yang mengupas ayat-ayat Al-Qur’an dengan beragam topik. Balik ke pokok bahasan awal, itu ialah tentang manfaat berpuasa pada kesehatan yang dibuktikan berbagai riset medis berdasar kaidah sains modern.

Dengan menjalankan puasa Ramadan dan berbagai ibadah sunahnya, umat muslim sudah memenuhi kewajiban beragamanya, sebagaimana tertulis pada surat Al-Baqarah ayat 183. Dengan berpuasa, ternyata kita juga mendapatkan banyak manfaat Kesehatan. Hal itu kita syukuri sebagai barokah di bulan suci Ramadan. Mari kita tuntaskan ibadah puasa Ramadan yang penuh barokah ini.

 

 

Mungkin Anda Menyukai