Dedolarisasi

PETA ekonomi dunia terus berubah. Banyak negara bergegas memutar haluan untuk melepaskan diri dari berbagai ketergantungan. Terkini, banyak negara perlahan mulai meninggalkan dolar Amerika Perkumpulan (AS) dan memilih mata uang lain untuk transaksi perdagangan.

Arus besar dedolarisasi terus bergerak tanpa bisa dibendung lagi. Mata uang lokal pun semakin ‘merdeka’ dan banyak digunakan dalam perdagangan antarnegara. Sejumlah negara mulai ‘memerdekakan’ mata uang mereka dari simpul dolar AS seperti Tiongkok, Brasil, India, Meksiko, Arab Saudi, juga Indonesia.

Selain itu, ada juga negara tetangga terdekat AS mulai Peru, Bolivia, Paraguay, hingga Argentina yang sudah sejak tahun 2000-an memulai ‘diet’ terhadap dolar AS. Akibatnya, permintaan terhadap dolar AS terus menurun.

Pada Mei 2021, lembaga keuangan dunia, IMF, mencatat permintaan atas dolar AS oleh bank sentral dunia anjlok ke level terendah dalam 25 tahun. Komposisi dolar AS dalam cadangan devisa global menurun, dari 71% pada 1990-an menjadi 59% pada Mei 2021.

Pada akhir Maret 2023, Tiongkok dan Brasil membuat kesepakatan untuk ‘mengesampingkan’ dolar AS dalam transaksi perdagangan mereka. Kesepakatan tersebut bernilai sangat besar mengingat total perdagangan kedua negara itu mencapai US$171,49 miliar. Artinya, ada permintaan dolar sebesar US$171 miliar yang hilang dalam perdagangan global.

Cek Artikel:  Jokowi Lupa Jalan Pulang

Tiongkok juga tengah merayu Arab Saudi untuk menggunakan mata uang yuan untuk membeli minyak. Menurut analisis The Wall Street Journal, pembicaraan soal itu sebenarnya sudah terjadi selama enam tahun terakhir. Tetapi, ketidaksenangan ‘Negeri Raja Salman’ pada komitmen keamanan AS pada kerajaan beberapa tahun terakhir ini membuat pembicaraan dengan Beijing kian gencar.

Kalau kerja sama itu disepakati, diperkirakan bisa menggerus permintaan dolar AS lebih dari US$10 miliar. Kontrak Saudi Aramco dengan perusahaan Tiongkok terkait dengan penjualan minyak diperkirakan mencapai US$10 miliar. Maka, petrodolar pun sedikit lagi berubah menjadi petroyuan.

Indonesia juga telah melakukan upaya memutus ketergantungan terhadap dolar AS. Perdagangan Indonesia dengan sejumlah negara mitra kini diupayakan menggunakan pola local currency settlement (LCS). Lampau, apa untungnya bagi Indonesia? Pertama, upaya dedolarisasi ini diharapkan bisa meningkatkan stabilitas nilai tukar rupiah.

Cek Artikel:  Mengobral Duta

Selama ini, banyak faktor membuat naik turunnya dolar AS sulit dikendalikan oleh otoritas moneter. Kalau suku bunga bank sentral AS, The Fed, naik, rupiah melemah. Hal tersebut terus-menerus terjadi. Begitu ada pengurangan porsi dolar AS terhadap total transaksi internasional, meskipun saat ini masih kecil, punya andil pada terjaganya kurs rupiah.

Kedua, upaya dedolarisasi juga diharapkan membuat hubungan dagang dengan negara mitra Indonesia, khususnya di ASEAN, bisa lebih erat. Ketika ekonomi domestik AS terguncang, pengalihan minat ekspor ke negara ASEAN dan negara alternatif lainnya lebih mudah. Alhasil, kinerja ekspor kita akan relatif terjaga.

Manfaat ketiga dedolarisasi kita ialah munculnya efisiensi dalam perdagangan. Asal Mula, para eksportir dan importir akan diuntungkan ketika menggunakan mata uang lokal tanpa perlu menukar dulu ke dolar AS. Bayangkan, selama ini, misalnya, ada eksportir sawit Indonesia menjual sawitnya ke Malaysia.

Sang eksportir sawit menerima pembayaran menggunakan mata uang ringgit. Lampau, mata uang ringgit itu dikonversi ke dolar AS. Dari dolar AS baru dikonversi ke rupiah. Ribet, bukan? Dengan kerja sama LCS Indonesia dengan Malaysia, eksportir RI tak perlu mengonversi ringgit yang telah diterima ke dolar AS terlebih dahulu.

Cek Artikel:  Humor Rawat Pikiran Waras

Jalan dedolarisasi sedang dirintis. Tinggal bagaimana otoritas di Republik ini juga bergegas memperluas kerja sama LCS dengan banyak negara di dunia.

Sejauh ini, Bank Indonesia membukukan realisasi LCS sebesar US$957 juta atau sekitar Rp14,2 triliun per Februari 2023. Eksis peningkatan, tapi angkanya masih kecil bila dibandingkan dengan skala perdagangan kita.

Maka, porsi transaksi menggunakan LCS seyogianya terus digas agar lebih besar. Sejauh ini masih minim. Dengan Thailand, misalnya, baru 4% dari total ekspor. Apabila porsinya bisa naik hingga 30% dari total ekspor, kata sejumlah analis, bisa menjadikan stabilitas rupiah efektif.

Kalau itu tercapai, cita-cita menjadikan rupiah digdaya bukan isapan jempol belaka. Seperti Rhoma Irama dalam penggalan bait lagu Rupiah: ‘Memang sungguh luar biasa, itu pengaruhnya rupiah’.

Mungkin Anda Menyukai