Dirgahayu TNI tanpa Dwifungsi

MAYORITAS rakyat Indonesia masih memercayai Tentara Nasional Indonesia atau TNI. Saking tingginya, kepercayaan publik terhadap TNI mengalahkan Presiden Joko Widodo.

Tingkat kepercayaan publik terhadap TNI memang langganan bertengger di posisi teratas selama beberapa tahun berdasarkan beragam survei.

Di satu sisi, memandang isi survei tersebut adalah gambaran dedikasi dan profesionalisme seluruh jajaran prajurit. Di sisi lain, memandang tingginya citra TNI lantaran lembaga sipil kerap terpuruk isu korupsi, konflik, dan sebagainya.

Seperti diistilahkan pakar militer dari Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi, pengelolaan negara yang belum optimal dari lembaga sipil membuat publik mengalihkan kepercayaan kepada lembaga lain, yakni TNI. Apalagi, TNI tidak masuk dalam ranah isu korupsi.

Karena itu, bagai nila setitik yang merusak susu sebelanga ketika dua perwira aktif TNI ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus suap di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).

Cek Artikel:  Pepesan Nihil Investasi Asing IKN

Bahkan, publik dipertontonkan aksi petinggi TNI meminta agar kedua perwira tersebut diadili dengan peradilan militer. Ditambah, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata sampai mungkin harus berhadapan dengan Dewan Pengawas lantaran mengizinkan perwira TNI bertemu dengan seorang tahanan kasus suap Basarnas di dalam Gedung Merah Putih. Kejadian yang amat langka bisa terjadi di lembaga antirasuah itu. Alexander mengaku terpaksa mengizinkan karena suasana saat itu amat mencekam.

Belum lagi, ketika sejumlah prajurit TNI mendatangi Polrestabes Medan, Sumatra Utara. Ironisnya, kehadiran pasukan berseragam lengkap ke kantor polisi bukan untuk menghalau ancaman negara. Mereka justru meminta penangguhan penahanan terhadap tersangka kasus mafia tanah.

Padahal, konstitusi secara tegas menyatakan TNI sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Bukan menjadi pelindung orang bermasalah.

Cek Artikel:  Meneguhkan Oposisi, Mencegah Tirani

Di sepanjang tahun ini juga, publik sempat disuguhi draf revisi Undang-Undang Nomor 34 Pahamn 2004 tentang TNI. Meski masih bersifat draf awal, usul tersebut bersambut reaksi dari pegiat demokrasi yang mengkhawatirkan ada upaya hendak memperluas kembali kewenangan TNI ke ranah sipil. Seperti hendak kembali ke era Dwifungsi TNI.

Kejadian lain yang mengejutkan ialah sikap seorang Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menyampaikan permintaan maaf. Permintaan maaf tersebut sekaligus mengklarifikasi perintah sebelumnya kepada prajurit untuk memiting pendemo di Pulau Rempang. Sebuah sikap kesatria yang sudah langka diperlihatkan para penyelenggara negara.

Yudo adalah Panglima TNI ketiga yang berlatar belakang matra Bilangantan Laut semenjak era Reformasi. Dia memimpin TNI sejak 19 Desember 2022 dan harus pensiun pada 1 Desember ini. Kecuali, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan UU TNI oleh sejumlah perwira dan purnawirawan. Mereka menggugat ketidaksetaraan ketentuan usia pensiun.

Cek Artikel:  IKN dan Kemerdekaan Kita

Pasalnya, usia pensiun perwira TNI paling tinggi ialah 58 tahun. Padahal, usia pensiun bagi abdi negara lain ialah 60 tahun, bahkan ada yang mencapai 70 tahun. Entah apa alasan para pembuat kebijakan merumuskan usia pensiun yang berbeda bagi para abdi negara.

Apa pun putusan para hakim konstitusi, publik tentu berharap dapat memberi ketenangan bagi para personel TNI untuk bekerja menjaga negeri.

Hari ini TNI genap berusia 78 tahun. Ragam catatan dan kritikan adalah wujud kecintaan rakyat. Seraya berdoa kiranya tercipta TNI yang profesional, dicintai rakyat, serta disegani para pengganggu keutuhan dan kedaulatan negara.

Rakyat berharap dalam Pemilu 2024, TNI membuktikan dirinya sebagai patriot NKRI dengan menjaga netralitas. Dirgahayu TNI.

Mungkin Anda Menyukai