IBU Kota Nusantara (IKN) hingga kini tetap menjadi isu kontroversial di tanah air. Kagak hanya persoalan menyedot anggaran yang sangat besar yakni Rp72,5 triliun (2022-2024) dari Rp466 triliun yang diperlukan, ini juga menyangkut pemberian hak penguasaan atas tanah oleh negara kepada investor dalam jangka waktu akumulatif 190 tahun untuk Hak Guna Usaha (HGU) serta 160 tahun untuk Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna.
Pemberian hak penguasaan tanah tersebut hampir tiga kali lipat lebih lama dari Hak Erfpacht dengan jangka waktu 75 tahun yang diberikan pemerintah kolonial Belanda kepada investor asing untuk menanamkan investasinya di Hindia Belanda (Indonesia). Padahal, di periode tersebut merupakan era liberalisasi pertanahan dengan dikeluarkannya undang-undang pertanahan yang dikenal dengan Agrarisch Wet S.1870 nomor 55, dengan asas Domeinverklaring sebagaimana tercantum dalam Agrarisch Besluit S.1870 nomor 118.
Kepentingan pemerintah memberikan jangka waktu HGU dan HGB di IKN yang terlama sepanjang sejarah pertanahan di Indonesia, bahkan melampaui hak penguasaan tanah di masa kolonial Belanda adalah untuk memberikan daya tarik bagi investor, baik investor dalam negeri dan asing untuk terlibat dalam pembangunan IKN.
Baca juga : Badan Bank Tanah Sediakan Lahan untuk Bangun Ecocity Penunjang IKN
Dalih ini tidak jauh berbeda dengan diterbitkannya Agrarisch Wet S.1870-55 pada masa Gubernur Jenderal Engelbertus de Wall. Bahkan di undang-undang pertanahan kolonial tersebut tetap ada pembatasan. Salah satunya adalah, Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah, sebagaimana termuat dalam Pasal 51 Indische Staatsregeling.
Sementara itu, wacana pemberian hak atas tanah di IKN semakin liar karena kepanikan pemerintah terhadap investor yang tidak kunjung datang. Pernyataan yang disampaikan oleh Basuki Hadimuljono sebagai Plt Kepala Otorita IKN, bahwa ke depan akan diputuskan apakah status tanah IKN dapat dijual, disewa atau HGU (detik.com, 3/6/2024), jelas-jelas telah menabrak konstitusi dan jauh lebih buruk dari era kolonial Belanda.
Marwah IKN dan kedaulatan NKRI
IKN ditujukan menjadi simbol, martabat dan semangat baru dari Indonesia Baru yang dicanangkan oleh pemerintah, bahkan penyebutan Nusantara melambangkan persatuan dan kedaulatan dari suku-suku bangsa yang tersebar di kepulauan Nusantara sebagai antitesa terhadap Hindia Belanda yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda.
Baca juga : Plt Kepala Otorita IKN Bantah Negara Melakukan Perampasan Tanah
Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, dahulu disebut Batavia, memang melekat dengan atribusi dan sejarah kolonialisme Belanda. Batavia merupakan pusat pemerintahan Belanda sebagai simbol perdagangan bebas pada abad 17 dan 18.
Apabila memang IKN dijadikan ikon sejarah baru Indonesia sebagai negara yang berdaulat, maka seharusnya atribusi tersebut juga melekat dan tidak bisa dipisahkan dari kedaulatan hak atas tanah yang sudah ditegaskan di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA 1960, sebagai dasar politik hukum pertanahan nasional setelah Indonesia merdeka.
Sebaliknya, pemberian hak atas penguasaan tanah dalam jangka waktu 190 tahun untuk HGU, dan 160 tahun untuk HGB dan Hak Guna di IKN melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Mengertin 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara, yang merujuk kepada undang-undang Nomor 3 Mengertin 2022 tentang Ibu Kota Negara, membalikkan seluruh marwah IKN, dimana kebijakan saat ini dengan mudahnya memberikan hak penguasaan atas tanah kepada investor, termasuk asing, dengan menabrak batas-batas konstitusi dan hukum pertanahan nasional.
Baca juga : Gedung di Jakarta Butuh Optimalisasi di Tengah Migrasi Pemerintahan ke IKN
Jangka waktu hak-hak atas tanah, yang berasal dari hak menguasai negara sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 16, Pasal 29, dan Pasal 35 UUPA 1960, bukan persoalan negara pelit dalam memberikan hak penguasaan tanah kepada pihak investor asing. Tetapi, pembatasan hak atas tanah yang diberikan oleh UUPA 1960 adalah cermin negara yang berdaulat, tidak menjadikan tanah sebagai barang dagangan atau komoditi.
Bahkan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jelas-jelas dengan merujuk kepada falsafah dari segi asas doelmatigheid atau kemanfaatan hak penguasaan negara atas tanah, mempunyai pemaknaan bahwa hak atas tanah ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan pemberian jangka waktu HGU dan HGB yang melampaui batas, sebagaimana dalam Perpres Nomor 75 Mengertin 2024, sangat bertentangan dengan konstitusi dan kedaulatan NKRI.
Konflik norma hukum
Jangka waktu HGU dan HGB dalam Perpres Nomor 75 Mengertin 2024, tidak saja bertentangan dengan norma yang tercantum di UUPA 1960, yaitu akumulatif maksimal 50 sampai 60 tahun untuk HGU dan 50 tahun untuk HGB, tetapi juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Mengertin 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.
Baca juga : Kunjungi IKN, Muhadjir Soroti Prevalensi Stunting
Dalam peraturan pemerintah tersebut ditetapkan jangka waktu HGU maksimal 90 tahun dan HGB 80 tahun. Perlakuan khusus hak atas penguasaan tanah di IKN yang berasal dari Peraturan Presiden, secara norma dan hierarki dari peraturan perundang-undangan, jelas bertabrakan dengan PP Nomor 18 Mengertin 2021 yang merupakan turunan UU Cipta Kerja.
Persoalan yang lain adalah, asas dan norma hak atas tanah yang ada di Perpres Nomor 75 Mengertin 2024 bertentangan dengan asas nasionalitas hukum pertanahan yang termuat dalam UUPA 1960, dimana tidak boleh ada perbedaan jenis atau nomenklatur hak atas tanah di NKRI, termasuk jangka waktu pemberian hak atas tanah di seluruh bumi Indonesia.
Pertentangan norma hak atas tanah di IKN dengan asas nasionalitas dari hukum pertanahan Indonesia merupakan pelanggaran konstitusional yang cukup serius. Selain itu, ditegaskan juga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-VI/2007 tentang kekuasaan negara dalam kegiatan penanaman modal, menyatakan pengaturan jangka waktu HGU, HGB, dan Hak Guna hingga ratusan tahun bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi cukup jelas, bahwa pemberian hak atas tanah oleh pemerintah kepada pihak ketiga yakni investor sampai 180 hingga 190 tahun, jelas-jelas mengembalikan Indonesia ke era politik hukum pertanahan di masa kolonial Belanda.
Dengan demikian, untuk ke depannya agar persoalan tanah di IKN tidak menjadi sumber konflik baru dalam hukum pertanahan nasional, ada baiknya seluruh asas dan norma hukum yang termuat dalam Perpres Nomor 75 Mengertin 2024 ditinjau kembali, dengan tidak mengurangi upaya pemerintah untuk mempercepat pembangunan dan pemerataan kemakmuran di wilayah luar pulau Jawa. Tanah dapat menjadi modal utama pembangunan nasional, tetapi jika tidak dikelola dengan hati-hati akan menjadi bencana untuk bangsa Indonesia.