Eksis dan Tiada

AKHIR pekan lalu, muncul kabar baik dari dunia kesehatan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) resmi mencabut public health emergency of international concern atau kedaruratan kesehatan global terkait wabah covid-19. Pengumuman itu disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Jumat, 5 Mei 2023.

Ya, baru sebatas itu, WHO baru mencabut status kedaduratannya, belum secara tegas mencopot status pandemi covid-19 secara global. Definisinya, secara de jure dunia masih dalam kungkungan status pandemi meskipun secara de facto, di mana-mana pandemi hampir sudah tidak dianggap lagi.

Kalau boleh jujur, covid-19 saat ini seperti antara ada dan tiada. Mau dianggap tidak ada, tapi faktanya ada, bahkan varian baru virusnya masih bermunculan. Mau dianggap ada, faktanya kehidupan masyarakat sudah berjalan normal, tidak lagi sekadar new normal. Meski pandemi masih ada, kehidupan telah kembali pada kenormalan sebelum pandemi.

Dalam konteks Indonesia, pencabutan kedaruratan kesehatan global itu sebetulnya hampir sama maknanya dengan keputusan pemerintah mencabut kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) terkait pandemi covid-19 pada 30 Desember 2022 lalu. Spirit pencabutan status kedaruratan global oleh WHO itu pun kiranya sama.

Cek Artikel:  Sakralitas Azan

Dengan pertimbangan bahwa pandemi covid-19 makin terkendali merujuk pada sejumlah indikator yang bergerak positif, juga tingkat imunitas masyarakat yang kian tinggi, maka status darurat dicabut, pembatasan-pembatasan mulai dilonggarkan. Dengan begitu, aktivitas sosial dan ekonomi punya keleluasaan bergerak kembali.

Tetapi, memang tak segampang itu memutuskan pencabutan kedaruratan pagebluk yang telah memorakporandakan kehidupan. Sejak dinyatakan menjadi darurat kesehatan pada 30 Januari 2020, data dashboard WHO menunjukkan 765.222.932 orang di seluruh dunia telah tertular virus covid-19 dan 6.921.614 orang di antaranya meninggal dunia. Itu baru yang terdata, boleh jadi jumlah sesungguhnya lebih dari itu.

Dalam konferensi di internal WHO, sehari sebelum pengumuman pencabutan status darurat pun kabarnya terjadi perdebatan di antara anggota WHO. Bagaimanapun, sangat tidak mudah bagi siapa pun melupakan tragedi selama tiga tahun terakhir, terutama di satu-dua tahun awal pandemi, ketika hantaman covid-19 meluluhlantakkan semuanya nyaris tanpa kendali.

“Kita tidak bisa melupakan tumpukan api itu, kita tidak bisa melupakan kuburan yang telah digali. Kagak satu pun di sini akan melupakannya,” kata Maria van Kerkhove yang merupakan pemimpin teknis WHO untuk covid-19. Ucapannya tentu saja ditujukan untuk para korban yang berguguran akibat ganasnya virus covid-19.

Cek Artikel:  Menahan Laju Despotisme Baru

Tetapi, tidak melupakan tragedi bukan berarti kita berhenti dan tidak melangkah maju. “Ini belum berakhir, masih banyak yang harus dilakukan. Kami butuh kemauan dan stamina. Keadaan darurat sudah berakhir, tapi covid-19 belum,” imbuh Maria via akun Twitter pribadinya.

Seorang kawan bertanya kepada saya, kenapa sih WHO enggak sekalian saja akhiri status pandemi covid-19? Saya menjawab pertanyaan itu meniru jawaban seorang pejabat publik yang kerap dilontarkannya saat ditanya wartawan, “Ya ndak tahu, kok tanya saya.”

Tetapi, kalau boleh menerka-nerka jawabannya, barangkali WHO juga tidak mau membuat masyarakat dunia, termasuk pemerintah semua negara, lengah. Jangan belum apa-apa sudah lengah dan buru-buru menganggap covid-19 sudah mati. Padahal, seperti kata Maria, virus covid-19 masih ada di sini, mereka tak pergi ke mana-mana.

Cek Artikel:  Menyembelih Kemunafikan

Tedros pun menyampaikan pengumuman pencabutan kedaruratan covid-19 ialah penanda untuk beralih dari mode darurat ke mode penanganan covid-19 bersama penyakit menular lainnya. Bukan untuk membuat lengah. Bukan pula untuk dijadikan alasan negara merombak, apalagi membongkar sistem penanganan pandemi yang telah mereka bangun.

Pembangunan sistem dan infrastruktur untuk menghadapi pandemi itulah yang mahal. Ketika covid-19 menyerang pertama kali, banyak negara kelabakan melawannya karena sektor kesehatan mereka tak siap secara sistem, infrastruktur, ataupun sumber saya manusia. Pandemi covid-19 seperti membuka mata dunia bahwa hampir semua negara abai membangun sistem kesehatan yang kuat menghadapi pandemi yang berlevel dahsyat.

Itulah mungkin alasan WHO tak buru-buru mengakhiri pandemi. Di satu sisi mereka tidak mau membuat negara dan masyarakat dunia lengah. Di sisi lain mereka memberi kesempatan tiap negara untuk menyempurnakan sistem infrastruktur kesehatan sekaligus membangun skema respons dan pembiayaan yang mumpuni. Dengan begitu, negara akan berdaya saat harus berhadapan dengan pandemi yang kita tak tahu bakal datang kapan lagi.

Mungkin Anda Menyukai