“FRANCIS is one of us. He has made liberation theology the common property of the church and he has, moreover, extended it,” demikian kata Leonardo Boff, salah seorang teolog pembebasan terbesar yang pernah dicabut hak mengajarnya oleh Vatikan (Loland, OJ, 2021).
Pernyataan Leonardo Boff itu tentu saja mengguncang Vatikan dan hierarki gereja Katolik sejagat. Mengapa? Karena kontestasi makna dan pengaruh antara para teolog pembebasan dari Amerika Latin dan Vatikan merupakan salah satu konflik global terbesar di dalam gereja Katolik pada abad ke-20.
Vatikan berusaha untuk melarang penyebaran sejumlah ajaran yang kontroversial di dalam teologi pembebasan lewat ‘notifikasi‘ publik dari Kongregasi untuk Dokrin Iman, penyensoran buku-buku berhaluan teologi pembebasan di seminari-seminari, dan halangan bagi para teolog pembebasan dalam promosi menjadi uskup.
Baca juga : Kedatangan Paus Fransiskus ke Tanah Air Ditunggu Seluruh Keyakinan
Keberpihakan pada kaum miskin
Kedekatan dengan teologi pembebasan terus berlanjut ketika Bergoglio menyandang nama Paus Fransiskus. Kedekatan tersebut pada tempat pertama tidak ditunjukkan lewat rumusan-rumusan teologi konseptual, tapi lewat sejumlah tindakan simbolis yang menggambarkan keberpihakan Paus Fransiskus terhadap orang miskin.
Baca juga : Kunjungan Paus Fransiskus Momentum Tumbuhkan Kepedulian Pada Golongan Marginal
Tindakan-tindakan simbolis tersebut terungkap lewat sikap menolak tinggal di istana kepausan, membasuh kaki para tahanan di penjara pada Kamis Putih, mengunjungi para pengungsi di Pulau Lampedusa di Italia.
Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa keberpihakan kepada orang miskin yang ditunjukkan oleh Paus Fransiskus tidak begitu saja diklaim sebagai hasil dari pengaruh teologi pembebasan. ‘Option for the poor‘ adalah sikap etis yang dapat dimiliki, baik oleh pendukung maupun penentang teologi pembebasan.
Itu disebabkan ‘option for the poor‘ dapat dimengerti secara sangat luas yang terungkap dalam tindakan karitatif yang dipraktikkan dalam tradisi gereja hingga advokasi dan gerakan politik kiri dalam masyarakat modern. Keberpihakan kepada orang miskin juga mendapat perhatian dari dokumen-dokumen kepausan sebelumnya seperti Mater et Magistra (1961) dan Evangelii Nuntiandi (1975). Paus Fransiskus bahkan mengapresiasi Evangelii Nuntiandi sebagai dokumen pastoral pasca–Konsili Vatikan II terbesar (Loland, OJ, 2021).
Baca juga : Organisasi Anak Muda Antusias Sambut Kedatangan Paus Fransiskus
Rekonsiliasi
Kendatipun secara konseptual Paus Fransiskus tidak menyatakan kepada publik persetujuannya dengan teologi pembebasan, ia telah berjasa membangun rekonsiliasi antara Vatikan dan teologi pembebasan. Hal itu ditunjukkan lewat usahanya untuk mengundang salah seorang tokoh teologi pembebasan, Gustavo Gutierrez, ke Vatikan hanya beberapa bulan setelah ia diangkat menjadi Paus.
Baca juga : Presiden akan Berdialog Perdamaian di Timur Tengah dengan Paus
Pada 2019, Komisi Pontifikal untuk Amerika Latin juga mengundang Gustavo Gutierrez sebagai pembicara utama dalam konferensi teologi internasional untuk memperingati 40 tahun Konferensi Puebla. Dalam konferensi tersebut, hadir pula sebagai pembicara sejumlah teolog yang sangat dekat dengan Paus Fransiskus seperti Guzman Carriquiry Lecour, Juan Carlos Scannone, dan Carlo Maria Galli.
Tanda rekonsiliasi Vatikan dengan teologi pembebasan juga nampak dalam usaha Paus Fransiskus untuk mempercepat proses kanonisasi Uskup Mulia Oscar Romero yang merupakan ikon teologi pembebasan. Sebuah proses yang dipersulit dan bahkan dihentikan oleh para pendahulu Paus Fransiskus dengan alasan untuk menghindari konflik di dalam gereja Katolik.
Idiolatria ekonomi
Kedekatan Paus Fransiskus dengan teologi pembebasan tampak jelas dalam seruan apostolik Evangelii Gaudium. Dalam seruan apostolik itu, sikap antikapitalisme dalam tradisi gereja Katolik yang pernah diungkapkan oleh para pendahulu Paus Fransiskus kini mendapat polesan teologi pembebasan.
Dalam dokumen itu, Paus Fransiskus menarik benang merah antara realitas ketimpangan ekonomi dan kematian orang-orang miskin di satu sisi, dan idolatria uang serta logika ekonomi pasar yang menciptakan kematian dalam pengertian harfiah di sisi lain.
Ekonomi pasar kontemporer berkembang menjadi absolut dan membunuh secara efektif lewat proses eksklusi sosial terhadap kelompok miskin. Hal itu sejalan dengan pandangan teologi pembebasan bahwa ekonomi pasar bebas membunuh orang miskin sebelum waktunya. Apabila Paus Fransiskus mengatakan bahwa tantangan kita dewasa ini bukan ateisme ketika memberikan tanggapan atas rasa dahaga umat manusia atas Allah, kemiripan dengan pandangan teologi pembebasan menjadi terang benderang.
Teolog pembebasan, Jon Sobrino, menyerukan agar gereja lebih menaruh perhatian pada idolatria ekonomi pasar dan bukan ateisme sebagai ancaman riil bagi orang miskin dan gereja. Bagi Sobrino, kritik terhadap idolatria jauh lebih biblis dan relevan bagi kondisi dunia kita yang penuh dosa.
Dengan merujuk pada seruan apostolik Evangelii Gaudium, kita dapat merumuskan sekurang-kurangnya tiga persamaan antara teologi pembebasan dan pandangan teologi Paus Fransiskus. Pertama, persamaan pemahaman tentang Kerajaan Allah. Berkualitas Paus Fransiskus maupun teologi, pembebasan menggarisbawahi makna aktual dan praktis Kerajaan Allah tanpa menolak aspek eskatologisnya.
Kedua, urgensi tentang perubahan struktural dalam melakukan perubahan sosial. Situasi ketimpangan sosial dan kondisi orang miskin pada tingkat global membutuhkan perubahan sosial yang radikal. Ketiga, pandangan tentang orang miskin. Karya misi gereja hendaknya bergerak menuju kaum miskin dan usaha membawa kaum miskin ke dalam gereja.