Presiden terpilih, Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi meningkat hingga 8% di masa pemerintahannya. Merespon hal tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang percepatan transisi energi melalui pengembangan energi terbarukan dapat mendukung pencapaian target tersebut.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengungkapkan, untuk memenuhi komitmen Indonesia yang telah meratifikasi Persetujuan Paris demi mitigasi kenaikan suhu bumi di 1,5 derajat celsius, percepatan transisi energi sangat diperlukan. Menurutnya, peluang pertumbuhan ekonomi dari transisi energi dapat dicapai melalui tiga jalur pengembangan energi terbarukan.
“Demi mendorong pertumbuhan ekonomi dengan transisi energi, dapat dilakukan dengan, pertama, diversifikasi industri energi bersih. Pengembangan industri energi terbarukan akan merangsang sektor industri kita dengan menciptakan peluang rantai pasok dan manufaktur energi terbarukan, seperti sel dan modul surya, turbin angin dan komponen mobil listrik dan industri rantai pasoknya. Kedua, pengembangan infrastruktur hijau yang dapat menarik investasi seperti pembangunan transmisi, jaringan pintar, dan penyimpanan energi,” kata Febby melalui keterangan tertulis, Sabtu (12/10).
Baca juga : Transisi Kekuatan yang Pelan Ancam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Ketiga, sambung dia, pembangunan ekowisata yang ramah lingkungan, seperti inisiatif Bali Net Zero Emission (NZE) 2045. Kalau berhasil menjadikan Bali sebagai Pulau Kekuatan Terbarukan, itu akan memberikan nilai tambah bagi pariwisata Pulau Dewata.
Fabby mendorong pemerintah untuk melakukan setidaknya tiga reformasi kebijakan untuk membuka peluang investasi di energi terbarukan. Pertama, reformasi subsidi energi fosil dan penetapan harga karbon, dengan menghapus subsidi energi fosil yang mendistorsi pasar dan menyulitkan energi terbarukan bersaing dan menetapkan kebijakan harga karbon yang efektif.
Kedua, reformasi pembiayaan infrastruktur, melalui penggunaan instrumen dana publik untuk menarik investasi, dan mengembangkan blended finance dan instrumen pendanaan hijau seperti green bond untuk mendukung proyek energi terbarukan dan efisiensi energi, serta mengoptimalkan dana iklim seperti pemanfaatan pajak karbon (carbon tax) untuk mendanai transisi energi.
Baca juga : Transisi ke Kekuatan Rendah Karbon jadi Satu Keharusan
“Ketiga, membangun kemitraan dan kerja sama internasional. Menurutnya, sebagai negara ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia perlu memposisikan diri sebagai pemimpin dalam kemitraan energi bersih secara global maupun Asia Tenggara dan bekerja sama dengan negara-negara yang menguasai teknologi energi bersih untuk mendorong alih teknologi dan pendanaan proyek energi bersih,” terang Fabby.
Lebih lanjut, IESR menekankan bahwa proses transisi energi harus adil dan inklusif sehingga mempersempit kesenjangan pendapatan. Selain itu, manfaat transisi energi harus dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Di kesempatan yang sama, Koordinator Riset Sosial Kebijakan dan Ekonomi, IESR, Martha Jesica menegaskan pemerintah perlu merumuskan kebijakan fiskal yang mendukung ekonomi rendah karbon dan bermanfaat bagi perekonomian daerah, misalnya melalui alokasi belanja pemerintah untuk program penyertaan modal badan usaha terkait energi terbarukan dan ekonomi hijau.
“Transisi energi yang adil erat kaitannya dengan partisipasi dan pelibatan masyarakat dengan program pembangunan ekonomi dan energi di sekitar mereka,” imbuh Martha.
Sementara itu, anggota Dewan Ahli Prabowo-Gibran, Ali Mundakir mengungkapkan fokus pembangunan ekonomi indonesia saat ini lebih kepada sektor pertambangan dan pariwisata yang kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masing-masing hanya 8% dan 5,8%. Sementara, pemasukan terbesar Indonesia berasal dari sektor industri dan sektor pertanian yang menyumbang sekitar total 30 persen pada PDB.
Baca juga : Potensi 60 GW Listrik Tersimpan di 17 Titik Laut Indonesia
“Pemerintahan Prabowo-Gibran akan memperbaiki kondisi industri nasional, termasuk dengan membangun mesin ekonomi baru di bidang digital, semikonduktor dan ekonomi hijau,” beber Ali.
Pemanfaatan energi terbarukan, sambung Ali memiliki potensi besar untuk mencapai swasembada energi di Indonesia. Optimasi energi terbarukan dapat secara signifikan mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) dan Liquified Petroleum Gas (LPG). Demi ini, pemanfaatan energi terbarukan masih relatif kecil, namun hal tersebut memberikan peluang besar untuk dieksplorasi dan dikembangkan lebih lanjut.
“Salah satu langkah yang perlu diambil adalah memperbaiki iklim investasi di sektor ini, sehingga semakin menarik bagi para pemangku kepentingan untuk berinvestasi. Kemudian, pengembangan smart grid juga menjadi target penting dalam lima tahun ke depan, guna mengoptimalkan produksi energi surya dan angin. Selain itu, meningkatkan pasokan listrik dari energi terbarukan memerlukan terobosan yang lebih bersih dan bebas emisi karbon dioksida, serta bisa dikembangkan dalam skala besar dengan biaya yang terjangkau,” tandas Ali. (Z-11)