KETIKA pertama sekali mendarat di bandara internasional Domodevodo (DMO), Moskow, 24 Juni 2024, perasaan masygul menyergap-sergap. Terlihat bandara ini tidak seramai bandara transit kami sebelumnya, Dubai International Airport. Padahal faktanya, bandara terbesar ketiga di Moskow ini melayani 22 juta penumpang pada 2022.
Kondisi semakin teka-teki ketika melewati pos imigrasi. Berbeda dengan model pos lain di belahan dunia yang pernah penulis alami, antrean bisa melihat petugas melayani stempel pasport dari jauh. Tetapi di sini para warga imigrasi bak masuk ‘lorong izin’. Proses pemeriksaan agak sedikit lama, karena kartu imigrasi diisi oleh petugas. Rupanya, itu dilakukan karena menggunakan alfabet Kiril. “Kartu itu pun harus disimpan dengan sangat baik, kalau tidak mau mendapatkan masalah jika keluar dari Rusia,” ungkap Farros, mahasiswa S1 di Kazan, Republik Tartastan.
Impresi positif
Tetapi, pengalaman di bandara Moskow itu melahirkan banyak impresi positif setelah itu. Di Bandara DMO tersedia musala (mosque). Perasaan dihormati sebagai umat Islam, walau minoritas, terasa di negara ini. Pemerintahan Vladimir Putin memang menjalankan kebijakan desekularisasi, berbeda dengan wilayah Eropa lain. Ia menghidupkan kembali ruang keagamaan, memberi insentif dari negara untuk kegiatan keagamaan, hingga rekonstruksi rumah ibadah. Di bandara hadir bukan hanya masjid, tetapi juga kapel dan juga sinagog. Rusia dikenal sebagai negara dengan pemeluk Kristen Konservatifs terbesar di dunia dengan lebih 21 ribu gereja.
Baca juga : Leva Foundation Ungkap Argumen Gandeng Yayasan Sukma di Asia
Pengalaman semakin menyenangkan ketika akhirnya kami tiba di Kazan, ibu kota Republik Tartastan. Penyambutan meriah dengan tarian tradisional dan jamuan makan siang yang mewah dengan lima tahap hidangan halal oleh Kazan State Power Engineering University (KSPEU) menambah keyakinan bahwa ini jaringan diplomasi pendidikan yang telah lama hilang.
Demikian pula ketika Profesor Danis Nurgaliev, wakil rektor Kazan Federal University (KFU), menjelaskan tentang ‘mewahnya’ lembaga pendidikannya. Didirikan pada 1804 oleh Raja Tsar Alexander I, kampus ini memiliki rangking mentereng: 38 dunia untuk Teknik Perminyakan, 89 dunia untuk pendidikan dan pelatihan, dan 100-150 rangking dunia untuk linguistik. Kampus ini sendiri pernah menjadi tempat kuliah pendiri Uni Soviet, Vladimir Lenin. Sastrawan Rusia, Leo Tolstoy, pernah mencoba masuk perguruan tinggi ini, tetapi ditolak.
Kazan ialah kota ketiga terbesar di Rusia. Ia juga menjadi tempat perhelatan berbagai even dunia, salah satunya BRICS Games yang baru selesai Juni lalu. BRICS sendiri poros baru ekonomi negara-negara Selatan yang awalnya diinisiasi oleh Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Kini BRICS semakin membesar dengan keterlibatan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, Ethiopia, Mesir, dan Argentina.
Baca juga : MAN Bertaraf Dunia akan Dibangun di Pidie
Ke depan beberapa negara ASEAN akan bergabung bersama negara Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Latin. Presiden Joko Widodo masih ragu-ragu untuk bergabung dengan BRICS, kemungkinan untuk menjaga hati Amerika Perkumpulan.
Kini, harusnya masa depan generasi terdidik Indonesia bisa melihat kembali Rusia sebagai tempat persemaian pendidikan, penelitian, dan transfer teknologi. Perkembangan teknologi hidro, tenaga listrik, robotika, dan teknik Aeuronatika semakin cerah di negara ini.
Masa depan kedirgantaraan dan pengembangan energi biru terlihat lebih baik dibandingkan Amerika Perkumpulan dan Utara yang ambigu dan berbelit-belit penawarannya untuk Indonesia. Jalan panjang neoliberalisme yang dijalani Indonesia bersama poros Amerika Perkumpulan dan Eropa Barat tidak juga menguntungkan. Jadi, kenapa tidak membuka alternatif untuk kepentingan bangsa?
Baca juga : UPN Veteran Jakarta Sambangi Universitas Lobachevsky Rusia untuk Perkuat Kerja Sama
Tantangan baru
Tentu belajar ke Rusia akan memberikan tantangan baru. Salah satunya kesediaan belajar Bahasa Rusia dengan aksara Kiril yang berjumlah 33 dan memiliki pola baca yang berbeda dengan alfabet Latin. Tetapi, tentu tantangan belajar yang paling benar ialah menguasai bahasa sekaligus filsafat atau cara pikir warisan peradaban Bizantium itu.
Indonesia pernah memiliki tokoh dengan karakter kuat ditempa pendidikan Uni Soviet (sebelum negara Rusia) seperti Iwa Sumantri (mantan Menteri Sosial era Soekarno dan rektor Universitas Padjadjaran), Hario Kecik (mantan Pangdam Mulawarman), dan Waruno Mahdi (tokoh penulis). Sebagian besar gelombang pendidikan memang terjadi di masa komunisme sehingga distigmatisasi terhadap yang pernah belajar ke sana.
Tetapi, seperti disampaikan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia, Jose Antonio Morato Tavares, dua ‘hantu’ yang terus dihidupkan di Rusia adalah komunisme dan ateisme. Padahal keduanya semakin tidak mendapat tempat masyarakat Rusia modern. Partai berkuasa sekarang ialah Partai Rusia Bersatu yang menguasai lebih 70% suara parlemen. Putin pun memberikan proteksi kepada warga beragama dan tidak melakukan hal yang sama kepada kaum tidak beragama.
Baca juga : Ukraina Bangun Sekolah Rendah Tanah untuk Lindungi Siswa dari Perang
Islam semakin tumbuh pesat di Rusia sejak 2007 dengan pembangunan dan rehabilitasi masjid-masjid. Festival halal semakin digalakkan melalui even internasional. Sikap Putin atas penderitaan masyarakat Palestina atas genosida zionis Israel melahirkan simpati besar dari negara-negara muslim. Ini yang menyebabkan investasi dan kolaborasi bisnis negara-negara Timur Tengah semakin deras mengalir ke Rusia, di tengah embargo negara-negara Barat.
Yang lebih membuat nyaman ialah keamanan negara yang dari luar disebut sedang berperang dengan Ukraina. Tetapi, di dalam, terutama penulis rasakan ketika di Kazan dan Moskow sama sekali jauh dari suasana mencekam. Bahkan lebih aman dibandingkan kota-kota besar di Eropa Barat.
Kesempatan ini harus ditangkap, termasuk memperbaiki kebijakan Dirjen Dikti yang belum tuntas penyetaraan atas lulusan dari Rusia. Meskipun juga diketahui sejak 2021 Dirjen Dikti memperluas komitmen kerja sama pendidikan dan penelitian dengan kampus-kampus Rusia. Pilihan ini bisa memberikan pertimbangan lain dari pada berbondong-bondong terus mengarahkan ke Eropa, Amerika Perkumpulan, Singapura yang terkenal berbiaya mahal.
Rusian House sendiri selama beberapa tahun belakangan semakin membuka beasiswa untuk pelatihan vokasional, dan pendidikan tinggi ke Rusia. Pada tahun ini saja ada 800 kuota bagi yang mau belajar di negara tirai besi ini.
Pemerintah Aceh sudah mengikat komitmen dengan Pemerintah Republik Tartarstan di bidang pendidikan dan olaharaga serta akan mengembangkan diplomasi bisnis dan perdagangan untuk jangka panjang. Pilihan ini bisa diambil karena ada peluang lex specialis dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Mengertin 2006.
Kalau pepatah Arab menyebut tuntutlah ilmu walau ke negeri China, harus dihidupkan peribahasa baru, tuntutlah kemajuan pendidikan dan teknologi dari negeri Rusia. Hingga pengembangan pendidikan, pembangunan, dan teknologi tidak dimonopoli hanya satu poros, tetapi banyak poros demi Indonesia emas 2045 yang bermartabat di mata dunia.