Dibanding KPK, Kejaksaan Akbar Lebih Banyak Usut Kasus Korupsi

Dibanding KPK, Kejaksaan Agung Lebih Banyak Usut Kasus Korupsi
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana(MI/Devi Harahap)

INDONESIA Corruption Watch (ICW) dalam penelitian terbaru bertajuk “Hasil Pemantauan Tren Vonis Korupsi 2023” memaparkan institusi Kejaksaan Akbar (Kejagung) lebih produktif dan banyak menangani perkara kasus tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara dibanding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Peneliti dari ICW Kurnia Ramadhana mengatakan selama 2023, Kejagung telah menangani 789 perkara korupsi dengan kerugian keuangan negara, sementara KPK hanya mampu mengusut 13 perkara.

“Kejaksaan mengungguli KPK dalam mengusut korupsi kerugian negara. Kami mendorong agar KPK lebih banyak mengusut perkara dengan konteks kerugian negara, karena ada pemulihan yang harus diproses,” ujarnya pada Konferensi pers bertajuk “Peluncuran Tren Vonis Korupsi Mengertin 2023” di Jakarta pada Senin (14/10). 

Baca juga : Kejagung Belum Mau Ungkap 10 Jaksa yang Ditarik dari KPK

Terkait kinerja Kejagung maupun KPK dalam hal menuntut uang pengganti, ICW memaparkan saat ini ada sekitar Rp 83,3 triliun yang tercatat. Dari data tersebut, tuntutan uang pengganti yang dilakukan Kejagung jauh melampaui KPK. 

Cek Artikel:  Anies Lagi Menimbang soal Pembentukan Ormas dan Partai

“Dari 83,3 triliun, yang paling banyak menuntut uang pengganti adalah kejaksaan mencapai 82 triliunan, sementara KPK hanya 675 juta. Gap ini terlalu signifikan dan menjadi tantangan KPK ke depan,” jelasnya. 

Kurnia menilai keunggulan Kejagung dalam pengusutan korupsi itu disebabkan karena secara jenis kasus, kejaksaan lebih banyak mengusut kasus dengan metode case building atau membangun dugaan perkara korupsi dari nol.

Baca juga : KPK Sasar Pengembalian Ganti Rugi, Kontrak Pertamina-Corpus Dapat Berhenti

“Case building, kasus yang dibangun dari nol, itu biasanya karakteristiknya, karakteristik pasal-pasal kerugian keuangan negara,” kata Kurnia

Sedangkan, KPK lanjut Kurnia, disebut lebih banyak menangani perkara tindak pidana suap yang proses hukumnya dianggap lebih mudah dibanding korupsi dengan kerugian keuangan negara.

“Kalau suap kan cenderung kecil dan bahkan tidak ada kerugian keuangan negaranya,” lanjut Kurnia.

Cek Artikel:  KY Pengusutan Dugaan Keterlibatan Ketua PN Surabaya dalam Suap Vonis Bebas Ronald Tannur

Baca juga : KPK, Kejagung, dan penegak hukum AS Bahas Cuci Fulus Bermodus Kripto

Kendati demikian, Kurnia berharap KPK bisa lebih banyak melakukan penanganan perkara dengan metode case building sehingga bisa lebih besae dan masif dalam menemukan kasus korupsi dengan kerugian keuangan negara.

“Tetapi bukan berarti suap itu ditinggalkan, tapi ditingkatkan penanganan perkara korupsi kerugian keuangan negara. Kejaksaan Akbar mengungguli dan KPK terpusat pada penanganan suap,” ungkapnya.

Sementara terkait tuntutan vonis pidana penjara terhadap pelaku korupsi, Kurni mengatakan rata-rata vonis yang dikeluarkan baik oleh Kejagung dan KPK hanya sekitar 3 tahun 4 bulan penjara. 

Baca juga : Pegiat Antikorupsi: Koordinasi KPK dan Polri-Kejaksaan Akbar Memang tidak Berkualitas

“Jadi omong kosong jika dikatakan kita sudah serius dalam menindak kasus korupsi, nyatanya proses penyidikan bermasalah dan vonis tidak memberikan efek jera,” imbuhnya. 

Cek Artikel:  Ini Penerangan Mendes PDT Yandri Susanto soal Kop Surat Kementerian Demi Acara Pribadi

“Pengadilan negeri atau tipikor surabaya dan tipikor jakarta pusat sering memutus hukuman rendah bagi koruptor sekitar 34 putusan yang dikategorikan sebagai vonis ringan. Lewat diikuti oleh pengadilan tipikor medan, pelembang dan semarang,” jelasnya.

Keprihatinan Kurnia juga terjadi pada total denda pelaku korupsi yang dijatuhkan majelis hakim tingkat pertama masih sangat rendah. Dikatakan bahwa sepanjang 2023 dana denda tersebut hanya terkumpul 149 miliar. 

Akibat kinerja Kejagung dan KPK yang belum berpihak pada penegakan hukum tindak pidana korupsi tersebut, Kurnia menjelaskan negara mengalami kerugian akibat korupsi mencapai 56 triliun sepanjang 2023. 

“Sementara jumlah uang hukuman pengganti yang kembali ke negara hanya 7,3 triliun, tapi itu belum tentu kembali ke negara karena problem eksekusi yang sering kali tidak mudah,” tandasnya. (DEV) 

Dok. Devi Harahap 
Caption: Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana

Mungkin Anda Menyukai