Jokowi Lawan Jokowi

DALAM ilmu anatomi dan fisiologi, tubuh itu merupakan satu kesatuan. Karena itu, perintah otak akan diterjemahkan sama oleh bagian tubuh lainnya. Otak memerintahkan kaki ke utara, ya ke utara. Disuruh ke selatan, akan manut saja ke selatan. Seluruh begitu, tanpa ada yang mbalelo.

Maka, ketika ada yang berbeda antara perintah otak dan apa yang disampaikan secara verbal, gestur tubuh akan ‘mengoreksinya’. Ketika otak bilang cawe-cawe, tapi mulut berkata tidak, anggota tubuh lain akan gelisah dan tidak bisa tenang. Hanya soal waktu akan muncul penyangkalan.

Begitulah kiranya yang terjadi pada Presiden Joko Widodo dalam kurun sebulan ini. Di awal bulan ini, saat mengumpulkan enam ketua umum partai politik di Istana Merdeka, Jokowi sempat membantah anggapan dirinya ikut campur dalam persiapan Pemilu 2024. Menurut dia, pertemuan itu hanya dilakukan untuk berdiskusi.

“Cawe-cawe? Bukan cawe-cawe. Wong itu diskusi saja kok (disebut) cawe-cawe. Percakapan,” kata Jokowi memberikan tanggapannya sambil tertawa, di Sarinah, Jakarta Pusat, dua hari setelah persamuhan dengan enam ketum parpol itu.

Cek Artikel:  Ribut itu Bagus

Jokowi pun mengatakan, dirinya juga merupakan seorang pejabat politik. Tetapi, urusan capres dan cawapres merupakan urusan partai atau gabungan partai. “Saya tadi sampaikan, saya ini juga pejabat politik. Saya bukan cawe-cawe. Urusan capres, cawapres itu urusannya partai atau gabungan partai,” Jokowi menegaskan.

Tetapi, karena sepertinya perintah yang sebenarnya dari anggota tubuh pemberi perintah ialah ikut cawe-cawe dalam urusan capres-cawapres, selang empat pekan kemudian Jokowi membantah pernyataannya sendiri di awal bulan. Jadilah Jokowi membantah Jokowi. Jokowi versus Jokowi.

Ketika mengundang sejumlah pemimpin redaksi di Istana Kepresidenan, awal pekan ini, Jokowi secara terbuka mengatakan ia memang cawe-cawe. Ia mengeklaim bahwa dirinya boleh cawe-cawe dalam politik demi kepentingan bangsa dan negara. Menurut Jokowi, cawe-cawe yang dilakukannya tidak menyimpang dari konstitusi.

Ia juga mengeklaim langkah itu ditempuh agar pembangunan tetap berlanjut meskipun ada transisi kepemimpinan. “Cawe-cawe untuk negara, untuk kepentingan nasional. Saya memilih cawe-cawe dalam arti yang positif, masa tidak boleh? Masa tidak boleh berpolitik? Kagak ada konstitusi yang dilanggar. Kepada negara ini, saya bisa cawe-cawe,” kata Jokowi.

Cek Artikel:  Sang Wasit Kehilangan Peluit

Jokowi mengatakan Indonesia butuh keberlanjutan pembangunan untuk menjadi negara maju. Oleh karena itu, kata dia, diperlukan sosok pemimpin yang melanjutkan berbagai pembangunan saat ini.

Jokowi mengaku tak ingin penerusnya di kursi kepresidenan kelak justru menghentikan berbagai upaya pembangunan yang saat ini sudah berjalan. “Kepemimpinan itu jangan maju-mundur. Siapa pun yang memimpin harus mengerti apa yang dikerjakan, mikro, makro, situasi global,” kata Jokowi.

Jadi, atas nama janji ‘menuju negara maju’ sesuai versi Kepala Negara (yang belum sepenuhnya ditunaikan), Jokowi boleh cawe-cawe, merasa sah mendikte siapa yang akan menggantikannya tahun depan. Saya kok jadi ingat suasana kebatinan Presiden Soeharto di era Orde Baru, saban menjelang pemilu dulu.

Pak Harto selalu mengatakan bahwa demi keberlangsungan pembangunan, demi suksesnya Repelita, demi stabilitas politik yang terjaga, Orde Baru harus selalu tegak. Demi klaim itu semua, Pak Harto pun rela ikut cawe-cawe memenangkan Golkar dengan persentase kemenangan yang sudah ditentukan (biasanya menang 70%).

Apakah klaim demi meneruskan pembangunan era Orde Baru itu telah sejalan dengan amanat hati nurani rakyat, bukan hal utama. Yang penting kekuasaan harus tetap digenggam. Yang pasti, semua kroni harus tetap mendapat asupan gizi. Itulah yang akhirnya dikoreksi oleh gerakan reformasi.

Cek Artikel:  Brankas Narkoba

Begitu juga situasi hari ini, saat Presiden yang juga Kepala Negara terus-menerus ikut cawe-cawe soal siapa yang mesti menggantikannya pada Pilpres 2024. Banyak yang mulai mengkritik, baik secara institusi maupun perorangan. Mereka dulu penyokong dan pendukung Jokowi. Para pengkritik umumnya menyebutkan konstitusi kita mengamanatkan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat.

Kedaulatan itu dilaksanakan berdasarkan undang-undang, termasuk ketika memilih presiden dan wakil presiden yang merupakan orang-orang yang dicalonkan parpol atau gabungan parpol. Jadi, bukan calon yang disarankan, direkomendasikan, dibisikkan, apalagi distigma sebagai anjuran.

Pada akhirnya, kita tinggal menunggu, apakah akan ada lagi perintah dari anggota tubuh pemberi perintah untuk kembali ke jalur konstitusi? Apakah akan ada lagi episode Jokowi versus Jokowi lagi? Seperti petikan syair lagu Rhoma Irama berjudul Kegagalan Asmara: ‘Kau yang mulai, kau yang mengakhiri’.

Mungkin Anda Menyukai