Inflasi Lembaga Negara

NEGARA ini mengalami inflasi lembaga sejak reformasi 1998. Sedikitnya terdapat 113 lembaga dengan nomenklatur bermacam-macam seperti komisi, komite, konsil, mahkamah, dewan, majelis, unit, otorita, atau badan.

Lembaga-lembaga itu dibentuk berdasarkan konstitusi, undang-undang, dan peraturan lainnya. Mereka tumbuh bak cendawan di musim hujan tanpa manfaatnya dirasakan rakyat sehingga ada dan tiadanya sama saja.

Daftar lembaga-lembaga itu bisa ditemukan di situs web menpan.go.id hasil update per 16 April 2021. Di antaranya terdapat lembaga pemerintah nonkementerian seperti Badan Kepegawaian Negara dan Badan Narkotika Nasional. Jumlahnya mencapai 30 lembaga.

Terdapat pula lembaga nonstruktural berjumlah 83 lembaga. Di antaranya ialah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Hak Asasi Insan, Komisi Pemilihan Lumrah, Lembaga Sensor Gambar hidup, dan Komisi Nasional Disabilitas. Tetap ada lembaga yang belum dibentuk seperti komisi khusus untuk menangani isu data pribadi sebagaimana diperintahkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.

Cek Artikel:  Demokrasi dan Kemakmuran

Tujuan pembentukan lembaga-lembaga itu lebih sebagai cara berbagi kekuasaan di antara para elite. Kehadiran mereka sama sekali tidak mengurangi problem kebangsaan, malah menambah beban. Tugas dan fungsi mereka cenderung tumpang-tindih. Konflik antarlembaga pun tak terhindarkan.

Konflik teranyar terjadi antara Ombudsman dan KPK. Ombudsman mempertimbangkan untuk memanggil paksa Ketua KPK Firli Bahuri dan sejumlah pejabat KPK karena tidak memenuhi panggilan dalam pemeriksaan dugaan malaadministrasi pemberhentian Endar Priantoro dari Direktur Penyelidikan KPK.

Satu yang pasti, keberadaan lembaga-lembaga itu sangat membebani keuangan negara. Triliunan rupiah uang negara yang bersumber dari utang dan pajak setiap bulan dipakai untuk menggaji anggota dan membiayai operasional lembaga-lembaga tersebut.

Standar gaji bulanan dan tunjangan pun berbeda-beda. Sama-sama pejabat negara, angkanya bisa berbeda-beda sesuai dengan selera. Ambil contoh perbedaan penghasilan pejabat Ombudsman dengan KPK.

Pendapatan jajaran Ombudsman Republik Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Pahamn 2021. Pasal 3 menyebutkan besaran penghasilan per bulan untuk ketua Rp29.940.000, wakil ketua Rp27.694.000, dan anggota Rp25.449.000.

Cek Artikel:  Merinding JIS

Pimpinan Ombudsman mendapatkan hak-hak lain berupa tunjangan perumahan, tunjangan transportasi, dan tunjangan asuransi kesehatan dan jiwa. Besarannya ditetapkan oleh Ketua Ombudsman setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.

Eksispun besaran penghasilan pimpinan KPK diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Pahamn 2015. Pasal 3 menyebutkan pimpinan KPK diberikan penghasilan yang meliputi gaji pokok, tunjangan jabatan, dan tunjangan kehormatan setiap bulan.

Gaji pokok Ketua KPK Rp5.040.000. Tunjangan bulanan jauh lebih besar lagi. Ketua KPK mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp24.818.000, tunjangan kehormatan Rp2.396.000, tunjangan perumahan Rp37.750.000, tunjangan transportasi Rp29.546.000, tunjangan asuransi kesehatan dan jiwa Rp16.325.000, dan tunjangan hari tua Rp8.063.500. Total penghasilan Ketua KPK ialah Rp123.938.500 per bulan.

Bukan cuma persoalan ketimpangan pendapatan antarlembaga. Ketimpangan lain, misalnya, terkait ketentuan masa jabatan yang tidak seragam dalam pengaturannya. Misalnyanya anggota Komisi Informasi Pusat dengan masa jabatan 4 tahun, masa jabatan anggota Komnas HAM selama 5 tahun, dan masa jabatan anggota Komisi Penyiaran Indonesia hanya 3 tahun.

Cek Artikel:  Kepercayaan

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah masa jabatan komisioner KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun sangat menarik. MK memutuskan masa jabatan 4 tahun itu bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK itu bisa memantik lembaga negara lainnya untuk meminta kesetaraan dengan KPK.

Sudah waktunya mendesain ulang konstitusi untuk menjadi payung hukum lembaga-lembaga negara. Konstitusi harus mengatur secara jelas dan tegas kewenangan, status, mekanisme pengisian jabatan, sampai hubungan kelembagaan semua lembaga negara.

Eloknya lagi, perlu dilakukan penilaian secara menyeluruh terhadap semua lembaga negara yang ada. Kalau tidak berguna, bubarkan saja. Toh, sejak memimpin pemerintahan, Presiden Jokowi sudah membubarkan 53 lembaga. Lembaga-lembaga itu tiadanya tidak mengganjilkan dan adanya pun tidak menggenapkan.

Mungkin Anda Menyukai