ADA rumusan penting dari ahli ekonomi Amartya Sen soal tolok ukur kemiskinan yang amat relevan dengan kondisi kita saat ini. Kata peraih Hadiah Nobel Ekonomi 1998 itu, kemiskinan bukan hanya tentang rendahnya pendapatan, melainkan juga ketidakberdayaan secara umum.
Orang yang memiliki banyak uang, tapi mengidap sakit yang akut bisa disebut sebagai orang yang tidak sejahtera karena ia memiliki tingkat keberdayaan yang relatif rendah. Ia tidak memiliki kualitas hidup yang baik. Seturut dengan itu, Sen mengusulkan tolok ukur kualitas hidup sebagai ukuran untuk melihat apakah pembangunan di sebuah negara berhasil atau tidak.
Dengan demikian, ia menganggap ukuran produk domestik bruto (PDB) yang selama ini dipakai tidak terlalu memadai. Bagi Sen, pembangunan di sebuah negara masih dinilai belum berhasil jika hak-hak dan kebebasan sipil tidak terjamin meskipun PDB-nya tinggi. Bagi Sen, pembangunan ialah pembebasan yang menyangkut bukan hanya kesejahteraan (wellbeing freedom), melainkan juga kebebasan individu (agency freedom).
Eksis yang menganalogikan rumusan Sen itu dengan orang yang sedang berpuasa. Eksis kesamaan antara orang yang berpuasa dan yang kelaparan karena miskin: sama-sama tidak mengonsumsi makanan dan minuman. Tetapi, ada perbedaan tajam di antara keduanya. Mereka yang berpuasa sebenarnya memiliki kebebasan untuk makan dan minum, tetapi memilih berpuasa. Sebaliknya, mereka yang kelaparan tidak memiliki kebebasan untuk makan karena memang tidak ada yang bisa dimakan.
Itulah kenapa Sen amat serius menanggapi munculnya ketimpangan ekonomi. Ketika membahas pemulihan ekonomi pascapandemi covid-19, ia menyeru bahwa pemulihan ekonomi pascapandemi menuntut pembangunan yang semakin inklusif karena ada sejumlah persoalan besar menanti. Apa itu? Ketimpangan pendapatan, risiko memburuknya kualitas modal manusia (pendidikan dan kesehatan), dan ketimpangan gender.
Perekonomian memang berangsur membaik, tetapi ada risiko pemulihan yang timpang. Eksis yang naik dan ada yang turun. Perusahaan di bidang teknologi digital, kesehatan, atau mereka yang memiliki tabungan akan mudah bangkit. Tetapi, usaha mikro, pekerja sektor informal, dan mereka yang tidak punya tabungan akan terpuruk.
Pembangunan pascapandemi harus memberikan akses untuk masyarakat luas. Itu hanya bisa terwujud jika ia tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pembangunan institusi, termasuk akses kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender. Itu membutuhkan institusi hukum dan bekerjanya demokrasi.
Sejurus dengan peringatan Sen soal pembangunan inklusif itu, pas kiranya kita menengok data yang disampaikan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), awal pekan ini. Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebut ada 16 provinsi di Indonesia yang masih dalam kategori miskin hingga 2024. Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Lampung, dan Aceh termasuk dalam 16 provinsi dengan tingkat kemiskinan warga masih tinggi hingga tahun depan.
Apabila mengacu data Bappenas, tingkat kemiskinan di Jawa Tengah, misalnya, masih mencapai 9,5% sampai 10%. Kemudian, tingkat pengangguran masih sebesar 4,26% hingga 4,96%.
Itu berbeda dengan Provinsi DKI Jakarta dan Bali serta Kalimantan, yang punya angka kemiskinan warga relatif kecil. Pada September 2022, angka kemiskinan Jakarta 4,61%, turun sebanyak 0,08% ketimbang posisi Maret 2022. Di antara seluruh provinsi di Indonesia, proporsi penduduk miskin DKI Jakarta hanya kalah dari Provinsi Bali yang menjadi provinsi dengan proporsi penduduk miskin terkecil (4,53%) pada September 2022.
Data itu menunjukkan para pemegang kebijakan di Republik ini wajib cawe-cawe demi memastikan daerah-daerah yang dilanda kemiskinan itu bisa segera bangkit. Bukan cawe-cawe yang justru membahayakan demokrasi, yang ujung-ujungnya membuat kemiskinan kian seperti kerak nasi yang sulit diangkat. Sebagaimana rumus Sen tadi, ada korelasi amat erat antara kemiskinan dan kebebasan yang merupakan inti demokrasi.
Kalau ingin kemiskinan segera hilang, negara justru harus memastikan demokrasi berlangsung tegak. Orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, karena ruang kapabilitasnya kecil, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Dengan logika itu, kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, melainkan karena aktivitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut.
Di sini elemen kebebasan menjadi penting. Apabila orang dibatasi hak politiknya, dibungkam, terbatas aksesnya untuk pendidikan, kesehatan, ruang kapabilitasnya menjadi kecil. Menjadi terbatas. Ia tidak bisa mengembangkan dirinya. Itu sebabnya Sen melihat pentingnya kebebasan dalam pembangunan.
Bukan sebaliknya, ruang artikulasi dibatasi, pilihan alternatif dijegal, perubahan menuju perbaikan dicurigai, keberlanjutan jadi mantra suci yang seolah tidak boleh diusik walau masih menyisakan masalah di sana-sini. Kalau itu yang terus dilakukan, sampai kapan kemiskinan akan berakhir?
Seperti penggalan lirik lagu Blowing in the Wind karya Bob Dylan: ‘How many deaths will it take till he knows, that too many people have died’ (Berapa banyak kematian yang dibutuhkan, sampai dia tahu, itu terlalu banyak).