Pemimpin Baperan

SIAPA bilang menjadi pemimpin itu gampang? Ia harus punya mata yang panjang, telinga yang lebar, dada yang lapang, tapi muka tak boleh tebal. Jangan sebaliknya: matanya pendek, telinganya kecil, dadanya sempit, tetapi mukanya justru tebal setebal-tebalnya alias tidak tahu malu.

Mata yang panjang menyiratkan ia punya visi jauh ke depan. Kata orang, lahirnya pemimpin hebat berawal dari visi yang hebat pula. Tanpa visi atau pandangan yang jelas, si pemimpin dan yang dipimpin tak punya arah pedoman yang pasti untuk menggapai tujuan. Seluruhnya tampak buram, seburam pandangan pemimpinnya.

Telinga lebar. Definisinya, dia harus mau dan mampu mendengarkan setiap aspirasi. Mendengarkan dengan saksama, tidak sekadar membiarkan suara itu lewat begitu saja, seperti ungkapan zaman dulu ‘masuk telinga kanan, keluar telinga kiri’. Pun tak memilih-milih suara yang ingin didengar. Bunyi semua lapisan mesti didengar, selembut atau sekencang apa pun suara itu.

Dada lapang menandakan sebuah hati yang terbuka. Seorang pemimpin hendaknya selalu lapang dada mendengarkan segala bentuk keluhan, kritik, hujatan, bahkan caci maki. Jangan mudah panas telinga dan panas hati, apalagi kalau bahasa anak sekarang, gampang baper (terbawa perasaan) alias baperan.

Cek Artikel:  Genderang Menkeu

Betapa repotnya kita kalau dipimpin orang yang baperan. Apalagi, yang kinerjanya minimal, tapi bapernya maksimal. Dikasih keluhan sedikit, ngambek. Diberi kritik, marah, tersinggung, lalu mengintimidasi, melaporkan si pengkritik ke polisi karena dianggap telah menghina atau mencemarkan nama baik. Rasa-rasanya, mereka yang baperan cenderung menjelma menjadi pemimpin yang antikritik.

Celakanya, pemimpin-pemimpin model seperti itu ternyata banyak di Indonesia. Tempo hari ada Gubernur Lampung yang ‘berseteru’ dengan Bima Yudho Saputro, seorang Tiktoker warga Lampung yang tengah kuliah di Australia, gara-gara kritikan Bima perihal jalan-jalan rusak yang tersebar di provinsi yang letaknya di ujung bawah Pulau Sumatra itu.

Padahal, kritikannya benar, jalan di Lampung memang banyak yang kondisinya parah. Tapi memang dasar dadanya tidak lapang, reaksi pertama yang ditunjukkan Sang Gubernur ialah emosi. Alih-alih meminta anak buahnya untuk memperbaiki jalan-jalan rusak itu, ia malah mengintimidasi orangtua Bima. Maka, habislah ia di hadapan publik. Tamat kapan pun ia bakal dikenang sebagai Gubernur baperan, Gubernur antikritik.

Cek Artikel:  Jokowi dan Kita

Belakangan terjadi lagi kejadian serupa di Kota Jambi. Ini bahkan lebih parah. Kalau di Lampung, Gubernur melawan mahasiswa; di Jambi, Wali Kota melawan pelajar SMP. Bukan hanya itu, sudahlah anak SMP, dilaporkan pula ke polisi. Sungguh aneh, dikritik ‘anak kecil’ saja sebegitu paniknya. Sudah kehilangan kewarasankah pemimpin-pemimpin kita ini?

Awalnya, Syarifah Fadiyah Alkaff, nama pelajar SMPN 1 Kota Jambi itu, membuat empat video kritik yang ditujukan kepada Pemkot Jambi, dalam hal ini Wali Kota Jambi Syarif Fasha, dan perusahaan Tiongkok. Kritiknya sederhana. Menurut Syarifah, selama 10 tahun rumah neneknya terkena dampak aktivitas mobil bertonase melebihi kapasitas jalan yang berlalu lalang di jalan dekat rumah itu. Ia meminta Wali Kota, pemkot, dan perusahaan bertanggung jawab.

Tetapi, kritik yang sederhana itu ternyata sudah cukup membuat Wali Kota dan para ASN di Pemkot Jambi (katanya) panas telinga, baper dan tersinggung. Kebaperan si pemimpin itu kali ini rupanya tidak main-main. Lewat Kabag Humas Pemkot Jambi, Gempa Alwajon, Syarifah dilaporkan ke polisi atas dugaan pelanggaran UU ITE.

Cek Artikel:  Duka Paskibraka

Menurut pelapor, video Syarifah yang viral di media sosial bukan kritikan, melainkan pelanggaran SARA karena ada kata Firaun dan iblis yang dikaitkan dengan Pemkot Jambi. Tampaknya mereka tersinggung disamakan dengan iblis. Karena itu, mereka melaporkan Syarifah.

Kembali-lagi ini sebuah contoh reaksi yang berlebihan, lebai dari pemimpin yang baperan alias antikritik. Jangankan mencari solusi, substansi kritikan pun mereka tak sentuh. Dalam pikiran mereka hanya satu, segera bungkam si pelontar kritik. Mereka tidak sadar, di era media sosial yang memungkinkan semua kejadian bisa viral, pikiran dan perilaku seperti itu justru akan menggali kubur mereka sendiri.

Filsuf besar Yunani, Aristoteles pernah berpesan, “Hanya ada satu cara untuk menghindari kritik: tidak melakukan apa-apa, tidak mengatakan apa-apa, dan tidak menjadi apa-apa.”

Eksis baiknya, orang-orang baperan dan antikritik itu berpikir ulang lagi perihal kepantasan mereka menjadi pemimpin. Mungkin sepantasnya mereka tidak menjadi apa-apa.

Mungkin Anda Menyukai