KATA para cerdik pandai, konsistensi adalah salah satu kriteria seorang pemimpin sejati. Penulis Daniel Transon pun bilang, “Konsistensi adalah elemen kunci, tanpanya seorang pemimpin tidak akan mampu mendapatkan rasa hormat, kesuksesan, atau bahkan mengembangkan kepercayaan kepada orang lain.”
Dalam Engkaus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsistensi antara lain berarti ketetapan dan kemantapan (dalam bertindak) atau ketaatasasan. Kebalikannya, inkonsistensi punya arti tidak taat asas, suka berubah-ubah (tentang sikap atau pendirian seseorang, pemakaian atau pengejaan kata, dan sebagainya). Ia juga dapat diartikan tidak bersesuaian, bertentangan, kontradiktif, tidak serasi, tidak sesuai, tidak cocok.
Pertanyaannya, sudahkah pucuk pimpinan di negeri ini memenuhi kriteria sebagai pemimpin sejati, pemimpin yang konsisten? Pertanyaan itu sebenarnya barang lama, tetapi terus saja menemui kebaruan. Belakangan ini, pertanyaan serupa kembali mengemuka, kembali dicuatkan oleh publik seiring dengan sikap dan tindakan Presiden Jokowi perihal urusan Pemilihan Presiden 2024.
Banyak yang menilai Pak Jokowi menunjukkan inkonsistensi terkait posisinya di pilpres. Dia pernah menegaskan tak cawe-cawe karena urusan pilpres adalah urusan partai politik. Penegasan yang sebenarnya mengundang banyak keraguan karena faktanya dia mengurusi koalisi pengusung capres yang bahkan dilakukan di Istana Kepresidenan.
Tak lama kemudian, sikap Pak Jokowi berubah. Di depan sejumlah pemimpin redaksi media massa dan content creator, dia bilang cawe-cawe di pilpres demi kepentingan nasional. Seminggu berselang, saat menerima KAHMI di Istana, Presiden mengaku cawe-cawe untuk menyampaikan kepada siapa pun yang menjadi presiden nanti harus mempunyai persepsi yang sama dalam menghadapi realitas yang tidak gampang.
Tak butuh waktu terlalu lama, alasan Jokowi berubah lagi, beda lagi, tak konsisten lagi. Dalam konferensi pers Pembukaan Rakernas PDIP, Selasa (6/6), dia mengatakan cawe-cawe karena ada potensi riak-riak gangguan di pilpres.
Tak dia jelaskan riak-riak yang dimaksud. Tak dijabarkan segenting apa gangguan itu hingga dia perlu cawe-cawe. Yang pasti pada momentum itu, dia semakin terang-terangan cawe-cawe. Dia ikut mengacungkan simbol nomor partai politik tertentu. Juga secara lebih eksplisit menyebut pemimpin yang berani dan bernyali dengan merujuk pada salah satu capres. Tak lagi sekadar kode, tak cuma simbol, tak hanya sinyal.
Mustahil Pak Jokowi punya hobi inkonsistensi. Tetapi, tak berlebihan kiranya jika kita menyebut terlalu sering dia inkonsisten. Dulu, di awal periode pertama, dia melarang menteri rangkap jabatan di partai politik. Kita angkat topi tinggi-tinggi.
Sayang, ketegasan Jokowi itu pendek umur. Pada 2017, dia mulai mengizinkan menteri rangkap jabatan. Lantas di periode kedua, dia membuka kebebasan seluas-luasnya bagi anggota kabinet untuk tetap pegang kuasa di partai.
Teladan lain, Jokowi sempat menjanjikan kabinet yang ramping agar bisa berlari cepat, gesit bergerak. Tapi, faktanya kemudian, pemerintahan yang dia bangun begitu tambun, gemuk. Posisi jabatan wakil menteri diobral. Tak kurang dari 24 kursi wakil menteri dihamparkan, berlipat-lipat ketimbang periode 2014-2019 yang cuma tiga wakil menteri.
Inkonsistensi juga mewarnai beberapa kebijakan. Ambil amsal pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara. Jokowi pernah menyebut pembangunan ibu kota baru negara itu tidak akan membebani APBN. Tapi lain dulu beda kemudian. Unggahan di situs ikn.go.id tertanggal 17 Januari 2022 bahkan menyebut porsi dana APBN untuk pembangunan IKN mencapai 53,3% atau Rp250 triliun lebih. Meski sehari setelahnya dihapus, kendati Istana ramai-ramai membantah, publik kadung meyakini ada inkonsistensi di proyek mercusuar itu.
Presiden bukan malaikat yang luput dari salah dan dosa. Presiden juga manusia. Wajar, sangat wajar, jika sekali-dua kali berubah sikap, mengubah kebijakan. Tetapi, jika ketidakkonsistenan dilakukan berulang-ulang, itu bisa berabe. Terlebih jika inkonsistensi menyangkut masa depan salah satu masterpiece reformasi bernama demokrasi.
Tak usahlah belajar dari literasi luar negeri akan pentingnya konsistensi. Para leluhur kita sudah lama mengajarkan bagaimana seorang pemimpin mesti satu kata dan perbuatan, harus teguh pada pendirian yang baik. Bukan plin-plan.
Pitutur Jawa menyebutkan sabdo pandhito ratu tan keno wola wali, yang kira-kira berarti penguasa dilarang mencla-mencle kalau ingin dihormati. Pepatah Bugis menarasikan taro ada taro gadu. Pemimpin yang tidak konsisten bukanlah pemimpin yang baik. Dah gitu aja.