Memangkas Ketimpangan

SEKITAR dua tahun lalu, ekonom Muhammad Chatib Basri mengingatkan pemerintah untuk tidak alergi terhadap kritik, apalagi sampai membungkamnya. Ia meyakini, dengan tumbuhnya ruang kritis, kapabilitas orang akan meningkat dan lebih mudah mewujudkan kesejahteraan.

Sebaliknya, represi terhadap sikap kritis dan pembatasan pilihan untuk berbeda pendapat membuat kapabilitas seseorang menciut. Alhasil, kemampuan orang untuk menjadikan hidupnya sejahtera kian mengempis. Orang miskin pun susah naik kelas, bahkan boleh jadi makin miskin.

Chatib sejalan dengan pemikiran ekonom Amartya Sen yang menyebut orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu–karena ruang kapabilitasnya kecil–bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Dengan logika itu, kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, melainkan karena aktivitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut.

Di sini elemen kebebasan menjadi penting. Kalau orang dibatasi hak politiknya, dibungkam, terbatas aksesnya untuk pendidikan, kesehatan, tandas Chatib Basri, ruang kapabilitasnya menjadi kecil. Ia tidak bisa mengembangkan dirinya. Itu sebabnya Sen melihat pentingnya kebebasan dalam pembangunan.

Cek Artikel:  Etika yang kian Langka

Sen memperluas dimensi pembangunan dengan meletakkan aspek ekonomi, sosial, dan politik pada proporsi seimbang. Selama ini, dalam perspektif yang sempit, pembangunan kerap dititikberatkan pada kepentingan ekonomi. Demi ekonomi, aspek sosial politik dimarginalkan, represi dibenarkan, kritik dibungkam atas nama pembangunan.

Orde Baru di Indonesia, atau pemerintahan Cile di bawah Pinochet, ialah contoh bagaimana represi dibenarkan demi kepentingan pembangunan ekonomi. “Kita tak boleh mengulang kesalahan ini lagi. Saya ingat Sen memuji Indonesia karena memilih jalan demokrasi,” mantan menteri keuangan itu mengingatkan.

Karena itu, ketika ramai orang mengkritik keras soal utang negara yang terus bertambah, proyek ambisius Ibu Kota Nusantara, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang anggarannya membebani keuangan negara, insentif mobil listrik triliunan rupiah yang lebih menguntungkan orang kaya, hingga kesenjangan yang tak kunjung tuntas diatasi, itu semua bagian dari ikhtiar menaikkan kapabilitas untuk meraih kesejahteraan. Jangan dipandang sebagai ancaman atas keberlanjutan pembangunan.

Sikap kritis jangan dihalang-halangi, apalagi dijegal. Amat tidak bagus bila iklim politik cuma diisi sendika dhawuh (turut perintah), tegak lurus bahkan untuk hal-hal yang melenceng, dan cap antipembangunan terhadap mereka yang kritis. Kalau seperti itu, apa bedanya dengan Orde Baru yang isinya monolitik, serbaseragam, dan penuh ‘kebulatan tekad’?

Cek Artikel:  Jogetan Harga Pangan

Apalagi kini, pemulihan ekonomi pascapandemi mutlak membutuhkan pembangunan yang lebih inklusif. Itu disebabkan ketimpangan pendapatan, risiko memburuknya kualitas modal manusia (pendidikan dan kesehatan), dan ketimpangan gender muncul di mana-mana. Perekonomian memang berangsur membaik, tetapi pemulihannya timpang. Eksis yang naik dan ada yang turun seperti huruf K.

Mereka yang memiliki tabungan unggul. Mereka yang tidak punya tabungan terpuruk. Data dari Survei Konsumen Bank Indonesia kuartal I 2023 menunjukkan penurunan terdalam porsi tabungan terhadap total pendapatan terjadi pada kelompok pengeluaran Rp3 juta ke bawah. Sebaliknya, tabungan untuk kelompok menengah atas (pengeluaran Rp5 juta ke atas) justru meningkat.

Secara umum, proporsi pendapatan konsumen yang disimpan turun 2,1%, dari 17,7% pada April 2023 menjadi 15,6% pada Mei 2023. Seturut dengan itu, porsi utang terhadap pendapatan membengkak, dari 6,7% menjadi 7,6%. Itu artinya tabungan mengempis, utang mengembang.

Cek Artikel:  Teladan Pengorbanan

Kondisi sebaliknya, upaya pemulihan ekonomi sejauh ini lebih banyak menguntungkan orang kaya. Data Lembaga Penjamin Simpanan mengonfirmasikan jumlah simpanan rekening di atas Rp5 miliar mencapai lebih dari Rp4.000 triliun. Tabungan orang kaya itu tumbuh 9,6% secara tahunan per Maret 2023. Sebaliknya, simpanan di bawah Rp100 juta hanya tumbuh 3,6%.

Nomor-angka statistik itu kiranya jadi panduan utama untuk menentukan mana pembangunan prioritas dan mana proyek-proyek yang bisa ditunda. Soal kemiskinan dan ketimpangan jelas problem ‘hari ini’ yang mesti diselesaikan ‘hari ini’. Bukan cukup banyak waktu untuk membereskannya.

Kalau para pemangku kepentingan tidak bergegas, hingga kapan ketimpangan akan berakhir? Seperti penggalan lirik lagu Blowing in the Wind karya Bob Dylan: ‘How many deaths will it take till he knows, that too many people have died’ (Berapa banyak kematian yang dibutuhkan, sampai dia tahu, itu terlalu banyak).

Mungkin Anda Menyukai