Masyarakat Diminta Ikuti BPOM soal Wadah Air Isi Ulang

Masyarakat Diminta Ikuti BPOM soal Wadah Air Isi Ulang
Pekerja memindahkan air minum dalam kemasan (amdk) di pabrik air mineral(Dok.MI)

DOKTER gizi klinis Karin Wiradarma M.Gizi, SpGK memastikan bahwa mengonsumsi air dari kemasan wadah polikarbonat tidak berdampak negatif terhadap kesehatan. Ia juga meminta masyarakat mengikuti BPOM terkait keamanan pangan.

Hal tersebut dia tegaskan menyusul kabar terkait bahaya meminum air dari galon guna ulang karena terpapar Bisphenol A (BPA).

“BPA kalau berdiri sendiri itu berbahaya, tapi kalau sudah dijadikan plastik itu aman karena sudah melalui serangkaian proses sehingga dia lebih stabil,” katanya sebuah podcast di media sosial.

Dia menegaskan bahwa meminum air dari kemasan galon guna ulang masih aman untuk diminum. Dia melanjutkan, kalaupun ada BPA yang masuk ke dalam tubuh maka 90 persen itu akan dinetralisir oleh hati dan diubah menjadi bahan tidak aktif dan tidak berbahaya untuk selanjutnya dikeluarkan melalui urine atau feses.

Cek Artikel:  7 September Hari Tenun Nasional, Yuk, Mengenal Lebih Dekat Ragam Tenun Nusantara dan Tantangannya

“Nah sisa 10 persen yang aktif di badan itu masih dalam kadar dan ambang batas aman menurut penelitian,” katanya.

Dokter lulusan Universitas Indonesia itu mengungkapkan bahwa BPA sebenarnya bukan hanya ada di galon. Dia mengatakan, zat tersebut juga ada di kemasan makanan dan minuman lain seperti kaleng, kertas termal atau kertas print tagihan dan sebagainya hingga barang-barang elektronik.

BPA merupakan precursor (pendahulu) yang digunakan dalam pembentukan plastik polikarbonat. Dia melanjutkan, BPA digunakan karena sifatnya yang tahan panas, asam, minyak dan dia bentuknya bening sehingga dipilih sebagai kemasan pangan.

Cek Artikel:  Langkah Membikin Peta Dunia dan Pembahasannya

“Jadi BPA sangat berguna dalam kehidupan kita sehari-hari dan biasanya digunakan sebagai galon atau kayak bahan wadah makanan dan minuman,” jelasnya.

Dokter Karin juga meminta masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam mencerna informasi terkait BPA. Publik diminta untuk lebih teliti dan tidak menelan secara utuh informasi yang didapat dari satu sumber sehingga harus mencari kebenaran lebih jauh.

“Kita harus berpegang pada ilmu pengetahuan, harus mereview jurnal ilmiah dan jangan sampai cuma dengan dari sosmed yang asal sumbernya bisa dipertanyakan,” katanya merujuk pada buku berjudul How to Understand BPA Information Correctly yang diterbitkan Esensial Koperasi Ikatan Dokter Indonesia (Primkop IDI).

Cek Artikel:  Metode Membikin Api Unggun untuk Pramuka dan Camping yang Terjamin serta tidak Mudah Tewas

Paparan BPA dalam kemasan pangan sudah diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) nomor 20 tahun 2019. Dokter Karin mengatakan bahwa hingga saat ini paparan BPA masih di bawah ambang batas yang ditetapkan BPOM yakni 0,6 mg/kg. 

“Jadi kalau untuk migrasi dari wadah ke makanan dan minuman dan diteliti kandungan BPA dalam tubuh, masih jauh dari ambang batas aman yang ditentukan BPOM,” katanya. 

Dia meminta publik untuk mempercayakan keamanan pangan pada ahli di bidangnya untuk batas aman dan standar kelayakan sebuah produk kemasan yakni BPOM. (M-4)

Mungkin Anda Menyukai