DALAM sebuah acara gelar wicara di salah satu stasiun televisi nasional pekan lalu, budayawan Sujiwo Tejo melontarkan pertanyaan yang menggelitik. Pertanyaan itu terkait Anies Baswedan jelang kompetisi Pilpres 2024.
”Mana yang hoaks, penjegalan Anies atau Anies selalu di urutan nomor tiga di survei? Karena kalau Anies betul-betul memang nomor tiga, kan enggak perlu dijegal?” begitu Mbah Tejo mengungkapkan keingintahuannya.
”Nah, makanya yang hoaks ini berita penjegalan atau sebetulnya yang hoaks itu adalah survei sehingga Anies di atas. Sebenarnya Anies itu di mana posisinya?” lanjut sastrawan, dalang, dan juga wartawan itu.
Mbah Tejo rupanya sedang bingung atau pura-pura bingung. Kebingungan yang sejatinya sudah cukup lama juga ada pada diri sebagian masyarakat terkait posisi Anies sebagai bakal capres. Hasil sigi semua lembaga survei belakangan ini, Anies memang selalu di posisi buncit.
Elektabilitas Anies timpang betul ketimbang dua kandidat lainnya, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Bahkan ada yang meliris tingkat keterpilihannya di bawah 20%. Bandingkan dengan Prabowo dan Ganjar yang melejit di atas 30%.
Pertanyaannya, benarkah hasil survei tersebut? Pendukung Anies tentu meragukan. Sebaliknya, pendukung Prabowo dan terutama suporter Ganjar cenderung mengamini, bahkan mensyukurinya. Yang jelas, tidak semua lembaga survei profesional, kredibel, meski tidak semua pula brengsek.
Pertanyaan berikutnya, kalau elektabilitas Anies begitu rendah, kenapa dia mesti diganggu, dihalang-halangi, dijegal? Betulkah memang ada penjegalan? Atau jangan-jangan ia sekadar siasat untuk menumbuhkan simpati kepada Anies? Jangan-jangan kubu Anies sedang playing victim?
Dirasakan, nyata, tapi sulit dibuktikan. Penjegalan bukanlah hoaks, tapi benar adanya. Begitulah pengakuan kubu Anies. Juru bicara Anies, Sudirman Said, dengan fasih membeberkan model-model penjegalan dari atas, dari bawah, dari samping.
Anies, misalnya, disebutkan terus diganggu kasus Formula E melalui tangan KPK. Koalisi pengusung Anies tiada henti direcoki. Dengan beragam cara, lewat berbagai kiat, Koalisi Persatuan untuk Perubahan coba dipecah. Terakhir, godaan datang pada Partai Demokrat.
Dulu, PDIP menegaskan tak mungkin bekerja sama dengan Demokrat dan PKS. Tapi kini mereka malah menginisiasi pertemuan antara Puan Maharani dan AHY. Demi apa? Rasanya kok terlalu naif kalau memotret rencana pertemuan di tahun politik itu hanya bicara soal bangsa.
Rival Anies paham benar, satu partai saja yang tergoda dan keluar dari KPP, karamlah perahu bagi Anies untuk berlayar menuju pilpres. Dan, jika itu terjadi, sangat mungkin pilpres hanya diikuti dua pasangan.
Dalam sepak bola, pertandingan derby dua tim satu atap selalu ditunggu karena digaransi seru. Di Italia ada Derby Della Capitale yang mempertemukan dua klub ibu kota, SS Lazio dan AS Roma. Terdapat pula Derby Della Madonnina, Inter Milan kontra AC Milan.
Di Inggris, Derby Manchester tak mungkin dilewatkan penggemar si kulit bundar. Duel Manchester City versus Manchester United selalu menyajikan rivalitas sengit. Atau Derby North London di saat Arsenal bertemu Tottenham Hotspur.
Di Spanyol ada El Derbi Madrileno, Real Madrid lawan Atletico Madrid. Pertandingan selalu memikat karena kedua tim pasti tanding habis-habisan demi unjuk bukti sebagai raja Madrid sejati. Derby Catalan antara Barca kontra Espanyol pun tak kalah menegangkan.
Derby memang seru, tapi tidak untuk pilpres. Prabowo dan Ganjar sama-sama president man. Keduanya sudah lama berusaha mendapatkan restu Jokowi, bersemangat memperoleh dukungan Jokowi, gigih agar di-endorse Jokowi. Kalau nanti cuma diikuti oleh keduanya karena Anies tumbang duluan, berarti pilpres akan menjadi derby orangnya Jokowi. Apa serunya kalau begitu?
Kembali ke pertanyaan Mbah Tejo, juga pertanyaan banyak orang, benarkah elektabilitas Anies remuk, benarkah ada upaya penjegalan terhadap dirinya? Anggaplah hasil survei Anies memang buruk, tapi bukan berarti dia tak lagi punya peluang. Nomor swing voters masih cukup besar dan itu bisa menjadi ancaman bagi mereka yang tak menyukainya.
Filsuf dan ahli strategi perang Tiongkok Sun Tzu bilang, ”Apabila Anda mengenal musuh dan mengenal diri Anda sendiri, Anda tidak perlu takut akan hasil dari ratusan pertempuran.” Apabila benar elektabilitasnya seuprit seperti dalam hasil survei, Anies tak perlu ditakuti.
Biarkan dia ikut bertarung agar pilpres tak cuma derby orangnya Jokowi, agar demokrasi lebih berarti. Bukankah demokrasi mensyaratkan adanya kontestasi yang genuine, yang apa adanya, bukan yang direkayasa dengan melibatkan tangan-tangan penguasa?