Jahatnya Perundungan

SELEMBAR kertas putih yang masih halus diremas-remas. Sedikit demi sedikit, sampai akhirnya seluruh bagian kertas itu teremas dan tergulung seperti bentuk bola. Sesaat kemudian, remasan atau gulungan kertas itu dibuka, coba dikembalikan ke bentuk awalnya, yaitu lembaran kertas.

Bisakah kertas itu kembali menjadi bentuk lembaran? Bisa. Akan tetapi, apakah lembaran itu dapat kembali putih mulus seperti semula? Tentu saja tidak. Jejak-jejak remasan akan tetap tertinggal. Bukan segampang itu dihilangkan. Bahkan dengan usaha maksimal pun, misalnya dengan menyetrika kertas tersebut, hasilnya tidak akan semulus kondisi awal. Bekas kotoran dan kerutannya akan tetap tampak.

Peragaan dengan medium kertas itu sering dipakai untuk menggambarkan betapa jahatnya perundungan (bullying), terutama terhadap anak-anak di bawah umur. Akibat dan akibatnya, tanpa kita sadari, sangat dahsyat. Sekali, apalagi kalau berkali-kali, anak jadi korban perundungan, jejak lukanya akan terus membekas.

Luka itulah yang pada akhirnya akan memunculkan beragam reaksi. Yang paling minimal, si anak akan kehilangan kepercayaan diri, minder, dan kemudian memilih untuk menjauh dari pergaulan, menyendiri. Akibat terparahnya, jika luka itu sudah begitu dalam dan terus terakumulasi dalam waktu yang lama, yang bakal muncul ialah rasa dendam.

Cek Artikel:  Timbunan Kegelisahan

Ketika sudah timbul rasa dendam, apa pun bisa terjadi karena dendam berjarak sangat dekat dengan kekerasan dan kejahatan. Seperti dikatakan filsuf asal Inggris, Simon Critchley (2011). “Balas dendam adalah suatu hasrat untuk membalas suatu luka ataupun kesalahan yang diciptakan orang lain, dan seringkali dengan jalan kekerasan.”

Apa yang dialami R, anak berusia 13 tahun siswa kelas VII sebuah SMP negeri di Pringsurat, Kabupaten Kolegaggung, Jawa Tengah, ialah contoh nyata bagaimana dampak yang menumpuk karena perundungan bisa berakibat sangat fatal. R sepertinya memupuk dendam karena selama ini ia kerap dirundung teman-teman sekolahnya.

Ia marah, sakit hati, karena apa yang dia alami tidak mendapat empati dan dukungan dari sekolah. Bahkan, menurut pengakuannya, gurunya pun tak jarang ikut memojokkan dan mempermalukannya saat ia mengadukan kelakuan teman-temannya. Karena itu, menumpuklah rasa marah itu menjadi dendam kesumat.

Puncaknya terjadi pada Selasa (27/6), sekitar pukul 02.00 WIB, ia datang ke sekolahnya dengan membawa tiga botol molotov. Tujuannya satu, membakar sekolahnya sendiri. Dendamnya meletup bersama molotov yang akhirnya menghanguskan bangunan tempat ia selama ini menimba ilmu. Bisa dibayangkan betapa besar amarah dan dendam R sehingga ia bisa melakukan tindakan yang bahkan oleh orang dewasa sekalipun mungkin tidak pernah terpikirkan.

Cek Artikel:  Mengakhiri Parade Dusta

Saya tidak ingin mengatakan apa yang dilakukan R itu benar. Bagaimanapun membakar sekolah tetaplah sebuah kekerasan. Silakan saja polisi memprosesnya, tentu dengan batasan-batasan perlakuan terhadap pelaku yang masih di bawah umur. Terdapat Undang-Undang Nomor 11 Mengertin 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).

Sayangnya, di awal penanganan kasus itu saja polisi sudah bertindak berlebihan sekaligus memalukan. Tanpa segan mereka memboyong R ke konferensi pers dengan mengenakan penutup kepala sembari dikawal polisi bersenjata laras panjang. Anak itu bukan teroris, bukan bandar narkoba, bukan pula penggarong uang rakyat. Umur dia bahkan masih 13 tahun, tapi kenapa diperlakukan seperti itu?

Tragis benar nasib R. Meskipun Kapolda Jawa Tengah telah meminta maaf atas perlakuan Polres Kolegaggung terhadap R dalam konferensi pers tersebut, itu sudah kadung menunjukkan ketidakadilan sepertinya memang akrab dengan R. Sudah tak mendapat empati dari lingkungan sekolah terkait dengan perundungan yang menimpanya, kini polisi pun memperlakukannya dengan nirempati.

Cek Artikel:  Lebaran Menuju Bersih Sampah 2025

Jangan lupa, R pada sisi yang lain sesungguhnya ialah korban. Ia mungkin patut dihukum atas kejahatannya, tapi semestinya ia juga layak mendapat perlindungan sebagai korban di kejahatan yang lain. Sekarang ia memang jadi pelaku kejahatan (pembakaran), tapi sebelumnya, bahkan jauh sebelumnya, ia korban perundungan. Boleh jadi kalau ia tidak jadi korban perundungan, ia juga tidak akan membakar sekolahnya sendiri. Maksudnya, hulu persoalan inilah yang mesti diselesaikan.

Kolaborasi negara dan masyarakat kiranya menjadi penting untuk menciptakan ruang-ruang pencegahan sekaligus perlindungan bagi korban perundungan. Sedari sekarang. Jangan ditunda-tunda lagi.

Menunda-nunda aksi hanya akan membuat perundungan semakin merajalela, yang dampaknya tidak saja berpotensi memunculkan kekerasan baru seperti yang dilakukan R, tapi juga yang lebih tragis, seperti bunuh diri atau depresi yang berujung kematian.

Mungkin Anda Menyukai