Kisah Klise Berburu Harun Masiku

SAYA mencoba menghitung-hitung, sudah berapa lama Harun Masiku, mantan politikus PDIP itu, buron dari kejaran KPK. Hasilnya ketemu, sudah 1.273 hari sejak Harun dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) oleh KPK pada 12 Januari 2020.

Bukan terasa, sudah 43 purnama KPK bak memburu angin. Pengejaran Harun, hingga detik ini, tidak kunjung menemukan titik terang. Kalaupun ada yang muncul, itu hanyalah informasi spekulatif tentang titik lokasi di mana ia berada.

Tapi, KPK tak lelah membagikan informasi spekulatif seperti itu. Spekulasi terbaru informasi keberadaan Harun kembali dikemukakan Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu. Pada Kamis (6/7), atau hari ke-1.271 masa pelarian Harun, Pak Plt Deputi menerangkan KPK telah mendapatkan informasi bahwa bulan lalu Harun bersembunyi di sebuah masjid di negara tetangga.

KPK pun, kata Asep, sempat mengirim tim pada bulan lalu ke negara tetangga setelah mendapat informasi keberadaan mantan caleg PDIP itu. Asep tidak menyebutkan secara benderang, di masjid negara tetangga yang mana Harun sempat singgah. Pokoknya, setelah diburu ke lokasi yang disebut-sebut itu, hasilnya lagi-lagi nihil.

Cek Artikel:  Menerima dengan Kritis

Awal tahun ini, Asep juga mengemukakan informasi bahwa keberadaan Harun sudah terendus KPK. Pahamn lalu, kisah serupa juga beberapa kali dikemukakan oleh lembaga antirasuah itu. KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri mungkin gerah, atau malah sudah kena mental, terus-menerus ditanya ihwal keberadaan Harun. Akibatnya, institusi pemberantasan korupsi itu memiliki semacam kewajiban menyampaikan progress report yang tidak ada progres-progresnya itu.

Pernah suatu waktu, dalam sebuah forum diskusi, juru bicara KPK Ali Fikri merasa jengkel kepada aktivis antikorupsi ICW Kurnia Ramadhana yang terus-terusan menyoal belum tertangkapnya Harun, padahal ada DPO lain yang sudah empat tahun buron, yakni Izil Azhar, akhirnya bisa ditangkap juga. Waktu itu, Harun baru buron dua tahun.

Jawaban sang aktivis antikorupsi itu amat pas, mewakili keingintahuan publik. “Kenapa kami fokus di isu (Harun Masiku) itu? Karena banyak kejanggalan saat proses penanganan perkaranya,” kata Kurnia.

Kejanggalan penanganan kasus yang dimaksudkan ICW di antaranya upaya mengembalikan penyidik Rossa Purbo Bekti ke instansi asal yakni kepolisian hingga kegagalan KPK menggeledah kantor PDIP. Padahal, selama ini, untuk penanganan perkara lain di tempat lain, KPK amat tegak lurus pada prinsip ‘tidak pandang bulu’. Bahkan kendati hanya ‘berhasil’ membawa flashdisk setelah berjam-jam menggeledah sebuah kantor gubernur yang kebetulan saat maju pilkada diusung partai lain.

Cek Artikel:  Serdadu Liar

KPK mungkin merasa kasus Harun seperti kerikil dalam sepatu: kecil tapi mengganggu. Tetapi, publik dan para aktivis antikorupsi melihat kasus itu sebagai duri dalam daging yang tidak kunjung bisa dicabut. Pelan-lama, daging bisa bernanah dan busuk. Kalau Harun gagal ditangkap, institusi KPK yang kian kehilangan kepercayaan akan makin tidak dipercaya masyarakat.

Kasus Harun Masiku sejatinya amat terang benderang. Ia pun ditangkap tangan oleh KPK beserta tiga orang lainnya. Harun harus berhadapan dengan hukum lantaran diduga menyuap mantan komisioner KPU Wahyu Taatwan agar bisa ditetapkan sebagai pengganti Nazarudin Kiemas yang lolos ke DPR tapi meninggal dunia. Ia diduga menyiapkan uang sekitar Rp850 juta untuk pelicin agar bisa melenggang ke Senayan.

Suap diberikan agar ia ditetapkan sebagai anggota DPR dari Daerah Pemilihan I Sumatra Selatan menggantikan Nazarudin Kiemas, peraih suara terbanyak dari PDIP untuk dapil tersebut, yang meninggal dunia. Hasil Pemilu 2019 menyatakan Harun hanya mengantongi 5.878 suara dan ada di posisi keenam. Padahal, aturan menyebutkan bila ada anggota dewan diganti antarwaktu, penggantinya harus meraih suara terbanyak di bawah anggota yang diganti tersebut.

Cek Artikel:  Menghentikan Ketamakan

KPU kemudian memutuskan mengalihkan suara kepada Riezky Aprilia, caleg PDIP dengan perolehan suara terbanyak kedua di Dapil I Sumatra Selatan. Akan tetapi, PDIP melalui rapat pleno menginginkan Harun yang menggantikan Nazarudin. Bahkan, PDIP sempat mengajukan fatwa ke Mahkamah Akbar dan menyurati KPU agar melantik Harun. Tetapi, KPU tetap dengan keputusannya melantik Riezky.

Sedemikian terangnya kasus itu justru membuat KPK seperti tidak kunjung bisa melihat. Episode ‘drama’ pelarian Harun Masiku seperti opera sabun: berputar di kisah itu-itu saja. Terendus lagi, terdeteksi lagi, ada informasi baru lagi, eh hasilnya pepesan kosong lagi. Tamat kapan opera sabun itu berakhir? Nanti, barangkali saat sabun sudah menipis dan tidak berbusa lagi.

Mungkin Anda Menyukai