Beda Singapura Lain Indonesia

PUBLIK Singapura baru saja dibikin geger. Bukan karena pesta nikah sepasang anjing dengan biaya hingga Rp200 juta tentu saja, melainkan lantaran sejumlah skandal yang melibatkan pejabat negeri mereka.

Skandal pertama terjadi Mei lalu. Pelakunya ialah Menteri Luar Negeri Vivian Balakrishnan serta Menteri Hukum dan Dalam Negeri K Shanmugam. Keduanya disorot karena menyewa dua bungalo di kawasan mewah Ridout Road di bawah harga pasar.

Saking hebohnya, PM Lee Hsien Loong memerintahkan penanganan khusus masalah itu, termasuk melibatkan lembaga antikorupsi. Tetapi, tak ditemukan potensi penyalahgunaan kekuasaan, tak didapati konflik kepentingan di sana. Kedua menteri aman.

Setelah kasus bungalo, ada skandal lebih besar, lebih serius, lebih jelas dugaan korupsinya. Pelakunya ialah Menteri Transportasi S Iswaran dan menyeret taipan properti Malaysia yang berbasis di Singapura, Ong Beng Seng. Iswaran bahkan sudah ditangkap pada 11 Juli, tapi dibebaskan sehari berselang dengan jaminan. Lampau, PM Lee Hsien Loong memintanya cuti.

Skandal yang tak kalah menghebohkan datang dari rumah legislatif. Pada Senin (17/7), Ketua Parlemen Singapura Tan Chuan Jin mundur setelah perselingkuhannya dengan sesama anggota parlemen, Cheng Li Hui, terkuak. Keduanya berasal dari partai yang sama, People’s Action Party. Tan, 54, punya dua anak, sedangkan Cheng, 47, masih single.

Sehari berikutnya, video yang memperlihatkan ‘kedekatan’ anggota parlemen dari Partai Buruh bernama Leon Perera dan sesama anggota partai, Nicole Seah, tersebar. Perera dan Seah mengundurkan diri, dan kasus itu tengah diselidiki.

Cek Artikel:  Racun Demokrasi

Singapura negara sekuler. Tetapi, mereka menjunjung amat tinggi moral. Mereka mengedepankan kepantasan, kepatutan sikap dan perilaku, terlebih buat para pejabatnya. Berselingkuh dan korupsi bertentangan dengan moral dan kepantasan. Karena itu, tak aneh jika kasus-kasus tersebut menjadi sorotan tajam rakyat Singapura.

Dari empat skandal, kiranya perkara korupsi Menteri Transportasi yang paling mendapatkan atensi. Tak cuma publik negeri jiran, masyarakat dunia mencermati. Media internasional semisal The Guardian, Nikkei, CNN, hingga Time merasa perlu mewartakannya.

Korupsi di Singapura memang langka. Time membuat judul A Singapore Cabinet Minister Faces the Country’s Most Serious Graft Probe Since 1986. Ya, kasus korupsi yang melibatkan menteri ‘Negeri Singa’ ini kali pertama terjadi dalam 37 tahun terakhir. Nyaris empat dekade.

Cek Artikel:  Judi itu Racun

Singapura adalah termasuk negara paling bersih dari korupsi di dunia. Di sana, kasus korupsi hal yang aneh. Di sana, memangsa uang rakyat benar-benar perbuatan laknat. Di sana, korupsi adalah musuh utama dalam arti sebenarnya. Bukan seolah-olah, bukan katanya.

Singapura adalah tetangga dekat Indonesia. Jarak dari Batam bahkan hanya sepelemparan batu. Tetapi, soal penegakan moral, kepatuhan pada kepantasan, perihal memandang korupsi, mereka terlalu jauh di depan. Di sana, korupsi disikapi secara luar biasa. Di sini, di negeri yang katanya religius ini, korupsi yang konon kejahatan luar biasa disikapi dengan biasa saja.

Ibarat bumi dan langit. Bak kutub utara dan selatan. Itulah perbedaan Singapura dan Indonesia dalam menghadapi korupsi. Ketimpangan tecermin pada peringkat indeks persepsi korupsi. Kepada 2022, dengan 34 poin Indonesia tercecer di urutan 110 dari 180 negara, sedangkan Singapura di peringkat 5 dengan poin 83. Jauh sangat, bukan?

Soal ketegasan terhadap korupsi, Indonesia juga terpontal-pontal. Meminjam data ICW, meski naik, rata-rata tuntutan terdakwa korupsi masih saja ringan. Hanya 5 tahun 2 bulan. Rerata vonisnya sami mawon, hanya 3 tahun 4 bulan. Diskon hukuman diobral.

Cek Artikel:  Gendari

Di penjara, koruptor diistimewakan. Remisi pun bisa mereka dapat dengan gampang. KPK yang semestinya diperkuat malah dilemahkan. Sungguh membingungkan, apa sebenarnya maunya negara dalam head to head dengan korupsi.

Di sana, di Singapura, satu pejabat saja yang ketahuan korupsi hebohnya setengah mati. Di sini, pejabat silih berganti korupsi, tiada henti korupsi, santai-santai saja, cuek-cuek saja. Korupsi seolah telah menjadi hal yang lumrah. “Kenapa orang Indonesia selalu mempromosikan batik, reog? Kok korupsi enggak? Padahal korupsilah budaya kita yang paling mahal.” Begitu nyinyiran budayawan Sujiwo Tejo.

Lebih celaka lagi, mantan koruptor dipuja-puji. Mereka diglorifikasi, diberi kehormatan, dipercaya sebagai petinggi partai politik, bahkan ketua umum partai. Kurang keblinger apa coba?

Tak usah jauh-jauh untuk belajar bagaimana menyikapi korupsi, bagaimana mengimani moral dan kepatutan. Ke Singapura saja cukup. Tentu kita tak perlu pindah menjadi warga negara sana. Kita hanya perlu mencontoh mereka dan tetap setia kepada tumpah darah Indonesia.

Mungkin Anda Menyukai