Nano Riantiarno, Legenda Teater Indonesia yang Melekat Kuat dalam ‘Teater Koma’

Liputanindo.id JAKARTA – Aktor lawas sekaligus Pendiri Teater Koma, Nobertus Riantiarno menghembuskan nafas terakhirnya pada Jumat (20/1/2023) di Jakarta. 

Nano, sapaan akrabnya, meninggal dunia di usia 73 tahun pasca dirawat di Rumah Linu Kanker Dharmais sejak 27 Desember 2022. Tak hanya itu, pada November tahun lalu, ia juga dikabarkan melakukan operasi pengangkatan tumor di paha kirinya.

 

Baca Juga:
Aktor dan Pendiri Teater Koma Nano Riantiarno Tutup Usia

 

“Telah berpulang ke rumah Bapa di Surga, suami, ayah, kakak, guru kami tercinta, Norbertus Riantiarno, di rumah beliau, pada pagi hari, Jumat, 20 Januari 2023 pukul 06.58 WIB,” tulis pesan siaran yang diterima, Jumat.

Rencananya, Nano Riantiarno bakal dimakamkan di Taman Makam Giri Tama, Tonjong, Bogor, Sabtu (21/1/2023).

Doa dan ucapan turut berdukacita mengalir deras kepada salah satu legenda teater di Indonesia itu. Sejumlah rangkaian bunga berdukacita tersusun rapi di depan halaman rumah duka, Jalan Cempaka No. 15, Jakarta Selatan.

Legenda Teater yang Pernah Jadi Pengumumanwan

Nano Ririantiarno merupakan seorang aktor, penulis, sutradara, wartawan dan pendiri Teater Koma. Dia lahir di Cirebon pada tanggal 6 Juni 1949.

Kecintaan Nano pada dunia teater itu diketahui sejak duduk di bangku sekolah di kota kelahirannya, Cirebon pada 1965-an. Kemudian pada 1967, atau setamatnya menempuh sekolah menengah umum (SMU), Nano memutuskan untuk melanjutkan pendidikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) Jakarta. 

Begitu berkuliah, dia bergabung dengan Tegar Karya dan turut serta mendirikan Teater Terkenal pada 1968. Tetapi, dua tahun berselang, Teater Terkenal berubah haluan ke ranah film. Karena merasa sudah tak sejalan dengan mimpinya di jalur teater, dia meminta izin untuk mundur. 

Perjalanan kariernya di dunia hiburan berlanjut hingga jenjang pendidikan selanjutnya. Pada tahun 1971, dia masuk Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara dan mendirikan Teater Koma pada tahun 1977.

Selama menggeluti dunia teater, Nano berkeliling Indonesia untuk mengamati teater rakyat dan kesenian tradisi pada 1975. Kagak hanya di tanah air, ia juga sempat berkeliling Negeri Sakura, Jepang untuk menghadiri undangan dari Japan Foundation pada 1987 dan 1997. 

Cek Artikel:  Kareena Kapoor Kecam Kasus Mortalitas Dokter Moumita Debnath

Pada sekitar tahun 1986 hingga 1999, Eks Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta ini juga mengunjungi beberapa negara di dunia seperti Skandinavia, Inggris, Perancis, Belanda, Italia, Afrika Utara, Turki, Yunani, Spanyol, Jerman, dan Cina.

Di tengah kesibukannya di dunia teater itu, Nano juga diketahui pernah bekerja di ranah jurnalistik. Dia ikut mendirikan Majalah Era pada 1979 dan menjabat sebagai redaktur. Sementara di Majalah Matra, ia menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) mulai tahun 1986. Dia pensiun sebagai wartawan pada tahun 2004 di usianya ke 55 tahun. 

Bangun Teater Koma Serempak Istrinya

“Teater bukan obat batuk ‘ampuh’ yang langsung menyembuhkan. Teater juga bukan kamus yang serba tahu. Dapatjadi, teater cuma kumpulan pertanyaan yang jawabannya harus dicari bersama. Teater adalah investasi kultural jangka panjang. Apabila apa yang disajikan teater tidak dimengerti oleh masyarakat, jangan masyarakat yang disalahkan,” tulis Nano di laman resmi Teater Koma.

Perjalanan panjang yang ditempuh Nano saat berkeliling Nusantara tahun 1975 seperti menciptakan inspirasi bagi dirinya untuk menciptakan ruang kreasi bersama di dunia teater. Teater Koma dilahirkan 12 pekerja seni, termasuk Nano dan Ratna Karya Madjid pada 1 Maret 1977. Perempuan kelahiran 23 April 1952 itu lantas menjadi pendamping hidup Nano. 

Tak hanya berbagi peran di biduk rumah tangga, pasangan yang menikah Juli 1978 itu berbagi peran di ”kapal besar” bernama Teater Koma. Nano menjadi sang kreator seni dan Ratna mengurus dapur produksi; mulai dari urusan mencari uang modal pentas, mengurus makan, poster, biaya properti, mencari sponsor, mengurus gedung, menjual tiket, dan hal-hal kecil lain (Harian Kompas, 3 April 2011).

“Koma merupakan sebuah metafora yang mengartikan gerak berkelanjutan, tiada henti dan tak pernah mengenal titik. Inilah harapan yang disandang kala itu, memiliki nafas panjang dalam ruang kreatifitas dan terus berupaya menemukan hal-hal yang bermakna,” papar Nano dalam buku Membaca Teater Koma 1997-2017.

Cek Artikel:  Adele Kembali Ungkap Rencana untuk Rehat dari Bermusik dalam Waktu Panjang

Debut Teater Koma kemudian ditandai dengan pementasan Rumah Kertas di Teater Tertutup di Pusat kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 3-5 Agustus 1977. 

Teater Koma lantas melekat kuat dalam sosok Nano. Di mana mayoritas pementasan berasal dari karyanya. Selain Rumah Kertas, karya tersohor lainyya yang pernah dipanggungkan ialah J Atawa Jian Juhro, Ampun.Ampun.Ampun, Kontes 1980, Trilogi Opera Kecoa (Bom Waktu, Opera Kecoa, dan Opera Julini), Konglomerat Burisrawa, Pialang Segitiga Emas, Suksesi hingga Opera Primadona.

Tak hanya itu, anak dari pasangan Albertus Sumardi dan Agnes Artini ini sering memanggungkan karya-karya penulis kelas dunia. Mulai dari The Threepenny Opera dan The Good Person of Schechzwan karya Bertolt Brecht, The Comedy of Error dan Romeo Juliet karya William Shakespeare, Women in Parliament karya Aristophanes, dan lainnya.

Tanda khas atau warna tersendiri dalam  Teater Koma adalah selalu mementaskan lakon-lakon yang memihak pada masyarakat kelas bawah. Adalah dengan menggarap masalah gelandangan, pelacur, waria, hingga pencoleng. Hal ini dapat disimak dari karya-karya seperti , Bom Waktu (1982), Penggali Intan (2009), Opera Sembelit (1998), Semar Gugat (1995) dan masih banyak lagi.

Hingga Oktober 2022 lalu, melalui pentas “Roro Jonggrang” Teater Koma telah memproduksi 225 pertunjukan. Sebuah angka yang terbilang panjang. Dan produksi ke 225 itu masih disutradrai oleh Nano yang sudah memasuki usia 73. Kiprah kreatifitasnya biasa digelar di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki dan Gedung Kesenian Jakarta.

Nano, bersama Teater Koma mendapat sejumlah penghargaan seperti meraih lima hadiah sayembara Penulisan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta dan hadiah Sayembara Naskah Drama Anak-anak dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1978.

Di tahun 1998, Nano juga menerima penghargaan Sastra 1998 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Sekaligus meraih Sea Write Award 1998 dari Raja Thailand di Bangkok untuk karyanya Semar Gugat.

Cek Artikel:  Gambar hidup Para Perasuk Wregas Bhanuteja Terseleksi di Asian Project Market 2024 Busan

Dari beberapa banyak karyanya, Opera Kecoa yang dipentaskan pada Juli-Agustus 1992 oleh Belvoir Theater dipertontonkan di Sydney, Australia. Grup teater ini adalah salah satu grup teater garda depan di negara tersebut. Berkat karya-karya dan berbagai penghargaan nasional maupun multinasional yang diperolehnya, Nano Riantiarno memperoleh piagam penghargaan dari Menteri Pariwisata Seni dan Budaya sebagai seniman dan budayawan berprestasi pada 1999.

Kendati karir Nano dan Teater Koma cemerlang, mereka sempat mendapat hambatan dan cengkraman kuat dari pihak-pihak yang tidak suka dengan dirinya. Dalam laporan Bunyi Pembaruan, Nano Ririantiarno: Jangan Mudah Menyerah, 2010, Nano pernah menghadapi interogasi, pencekalan dan pelarangan, kecurigaan serta ancaman bom, ketika akan mementaskan pertunjukannya, tetapi semua itu dihadapi sebagai sebuah dinamika perjalanan hidup. 

Beberapa karyanya bersama Teater Koma, batal pentas karena masalah perizinan dengan pihak yang berwajib. Antara lain: Ampun.Ampun.Ampun. (1978), Sampek Engtay (1989) di Medan, Sumatra Utara, Suksesi, dan Opera Kecoa (1990), keduanya di Jakarta.

Dari sisi penampilan, Teater Koma selalu sukses bernaung di hati penonton. Nano dan kolega kerap tampil lebih dari satu malam dengan penonton yang selalu penuh. Cerita yang renyah, menghibur, dengan dialog menyentil menjadi salah satu kekuatan Teater Koma. 

Terdapatpun bagi Nano, dia masih terlibat aktif di Sanggar yang telah melambungkan namanya itu jelang akhir hayatnya. Dia masih menyempatkan hadir dan duduk di kursi roda bersama penonton dalam pertunjukan Roro Jonggrang pada 14 Oktober 2022 di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Kiprah dan karya-karyanya bakal terus abadi. Sumbangsihnya di dunia hiburan yang telah dia perjuangkan, akan terus menjadi bayangan yang melekat hebat bagi penggemarnya. Selamat jalan Mas Nano…. (RMA)

Mungkin Anda Menyukai