Mitigasi Bencana Letusan Gunung Berapi, BRIN Lakukan Riset Infrasound

Mitigasi Bencana Letusan Gunung Berapi, BRIN Lakukan Riset Infrasound
ilustrasi(freepik.com)

INFRASOUND merupakan bunyi dengan frekuensi sangat rendah untuk bisa didengar manusia. Infrasound memiliki rentang frekuensi antara 20 Hz sampai 0,001 Hz.Kajian riset infrasound telah dilakukan sejak lima tahun terakhir. Selain digunakan dalam beberapa aplikasi militer, pemanfaatan infrasound digunakan dalam pengamatan vulkanisme.

Peneliti Spesialis Madya Pusat Riset Antariksa, Badan Riset dan Ciptaan Nasional (BRIN), Mario Batubara mengatakan, pemanfaatan hasil riset infrasound berpeluang sebagai pendukung dalam mitigasi bencana, khususnya pengukuran ketinggian asap dari sebuah letusan gunung berapi. Pusat perhatian riset infrasound di Indonesia berkaitan dengan banyaknya fenomena vulkanisme. Salah satunya, fenomena letusan gunung Krakatau.

“Infrasound dikenal sejak fenomena letusan Gunung Krakatau pada abad ke-18. Para scientific engineer mendeteksi dari instrumentasi sederhana. Barometer di beberapa lokasi mengindikasikan adanya fluktuasi tekanan udara akibat dari letusan gunung,” kata Mario, dalam keterangan resmi, Senin (14/10). 

Cek Artikel:  8 Bahaya Terlalu Sering Minum Air Dingin

Baca juga : Gunung Raung Alami Kenaikan Status jadi Level 2

Selebihnya, berkenaan dengan fenomena seperti meteor, tsunami, dan gempa bumi. Di mana, peristiwa itu menjadi sumber pembangkit alami terhadap gelombang infrasound. Lebih lanjut Mario menjelaskan, dalam satu tahun terakhir, pihaknya masih melakukan uji coba aplikasi dalam dinamika atmosfer, terkait propagasi subsonic dan supersonic speed.

Menurutnya, studi infrasound dalam kaitannya pada dinamika atmosfer saat ini cukup berpeluang besar untuk pemanfaatannya. Salah satu topik yang sedang dikembangkan adalah gravity wave activity, atmospheric tides, dan sudden stratospheric warming.

Penelitian infrasound dilakukan untuk spesifikasi parameter atmosfer, khususnya di lapisan atmosfer rendah sampai region tengah. Di mana, parameter ini umumnya banyak diperoleh dari pemodelan matematis, semisal, numerical weather prediction.

Cek Artikel:  Perpusnas Buat 100 Komik Hasil Alih Visual dari Naskah Klasik Nusantara

Baca juga : Gunung Marapi Erupsi Tengah, Tinggi Serbuk Vulkanik hingga 700 Meter

Sedangkan terkait kegiatan pengamatan, Mario menyebut hasil pengamatan dari radiosonde diklaim sebagai pengukur temperatur dan angin yang akurat. Tetapi, lapisan yang diamati masih sebatas sampai dengan lapisan stratosfer bawah pada ketinggian sekitar 30 kilometer.

Sedangkan pengamatan parameter atmosfer berbasis satelit dilakukan pengukuran indirect terhadap temperatur dan horizontal wind dengan cakupan pengamatan sekitar 50 kilometer.

“Aspek pengukuran gelombang radio masih terbatas. Pengukuran secara langsung masih sedikit, khususnya untuk ketinggian atmosfer di atas 30 kilometer. Sehingga, numerical weather prediction digunakan untuk mendapatkan parameter tersebut,” jelasnya.

Mario menambahkan, untuk pengukuran parameter atmosfer menggunakan satelit, faktor bias masih menjadi faktor penting, terlebih di wilayah stratosfer. (Ata) 

Cek Artikel:  Promo Menarik Rayakan Hari Batik Nasional 2024

Published By Denny Parsaulian Sinaga (14/10/2024, 17.21.00)

Mungkin Anda Menyukai