KRISIS kemanusiaan Palestina seolah tak pernah berakhir. Ketika berkesempatan belajar di Nottingham University, saya dan ribuan mahasiswa berdemo menentang serangan Israel terhadap penduduk sipil ke jalur Gaza. Kami menyasar gerai Starbucks yang terletak di kampus. Absaham gerai itu memiliki keterkaitan dengan bisnis yang menopang kekuatan militer Israel. Ketika kantor nasional Amnesty International baru berdiri di Jakarta, kami memilih kampanye Palestina sebagai prioritas isu global pada tahun pertama.
Bertahun kemudian, krisis kemanusiaan di Palestina belum juga berakhir. Apa yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia? Izinkan saya mengajukan tiga langkah strategis Indonesia untuk menyikapi krisis Palestina. Pertama, mengoptimalkan peran RI di Sidang Majelis Standar PBB. Kedua, mengoptimalkan keanggotaan Indonesia dalam Dewan HAM PBB agar mendukung pelaksanaan prosedur-prosedur khusus, seperti pelapor khusus dan komisi penyelidik. Ketiga, memperkuat posisi dan kedudukan Indonesia di PBB dengan meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional yang relevan dengan krisis kemanusiaan di Palestina.
Baca juga : Kemenkes Gaza: Israel Bunuh 146 Dokter sejak Genosida Dimulai
MI/Seno
Optimalisasi sidang Majelis Standar PBB
Baca juga : Muhammadiyah Imbau Dunia Kutuk Israel Bunuh Ismail Haniyeh
Sidang Majelis Standar PBB ialah forum pertemuan terpenting di PBB. Sekadar menyebut contoh, pada 18 September, Majelis Standar PBB mengadopsi sebuah resolusi yang menuntut Israel untuk mengakhiri kehadiran mereka yang melanggar hukum di wilayah Palestina yang diduduki (OPT) dalam waktu 12 bulan, sesuai dengan pendapat penasihat Mahkamah Global (ICJ) pada Juli.
Resolusi Majelis Standar PBB disahkan dengan 124 suara mendukung (termasuk negara anggota DK PBB seperti Prancis, Tiongkok, dan Rusia), 43 abstain, dan 14 suara menentang, termasuk AS dan Israel. Resolusi yang diajukan negara Palestina didasarkan pada pendapat penasihat ICJ pada Juli yang menyatakan bahwa keberadaan Israel yang berkelanjutan di OPT ialah ilegal dan bahwa permukiman harus disingkirkan secepat mungkin. Kita tentu mengapresiasi sikap pemerintah Indonesia.
Dalam majelis umum tersebut, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan negaranya berada di jantung krisis dan perang di kawasan tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir PBB telah menjadi tidak berfungsi, ‘dunia lebih besar dari lima’. Erdogan menyeru PBB untuk membangun mekanisme perlindungan bagi warga sipil Palestina.
Baca juga : Perhimpunan Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah Gelar Aksi Bela Palestina Kutuk Israel
Perhimpunan sepenting itu memang kerap menjadi forum penyampaian solusi oleh kepala negara. Pemimpin negara Indonesia pada masa lalu, khususnya pada awal kemerdekaan, juga kerap menyampaikan pidato kenegaraan terkait dengan situasi perang dunia. Sayangnya, kita tidak mendengar seruan Presiden Indonesia di forum tertinggi tersebut.
Selama sepuluh tahun terakhir, Presiden Republik Indonesia nyaris selalu absen dari sidang itu. Mengertin kesatu absen, tahun kedua absen, demikian pula tahun-tahun setelahnya. Hanya satu kali hadir, yaitu pada 2020. Itu pun secara online, yaitu pada waktu pandemi. Kehadiran tersebut kerap kali diwakili Wakil Presiden. Nah, ke depan, apabila presiden masih tidak hadir, saya tidak membayangkan bagaimana jika ke depan Republik Indonesia diwakili Fufufafa.
Di forum tertinggi PBB itu pula, disampaikan bagaimana otoritas Israel melarang sebagian besar jurnalis internasional memasuki Jalur Gaza yang diduduki untuk meliput perang yang sedang berlangsung, sekarang mereka memperluas tindakan keras mereka terhadap media ke Tepi Barat. Pada 23 September lalu, otoritas Israel menyerbu kantor Al Jazeera di Ramallah dan mengeluarkan perintah pengadilan yang mengamanatkan penutupan kantor tersebut selama 45 hari.
Baca juga : Ribuan Tewas, Ini Asikan PP Muhammadiyah Sikapi Perang Israel-Palestina
Itu bukan pertama kalinya otoritas Israel menutup kantor Al Jazeera. Pada Mei 2024, pasukan Israel menyerbu kantor Al Jazeera di Jerusalem Timur yang diduduki. Keputusan tersebut berdasarkan undang-undang baru yang dikenal sebagai ‘Undang-Undang Al Jazeera’ yang memberikan wewenang kepada menteri telekomunikasi, dengan persetujuan perdana menteri, untuk mengambil tindakan represif atas media asing yang menyiarkan konten yang dianggap menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional selama perang di Gaza.
Menurut Komite Perlindungan Jurnalis, setidaknya 116 jurnalis dan pekerja media lainnya telah terbunuh sejak 7 Oktober 2023, menjadikannya periode paling mematikan bagi jurnalis sejak CPJ mulai mengumpulkan data pada 1992. Keberadaan CPJ seperti itu sangatlah penting. Kami sendiri, Amnesty International, mendirikan sebuah aliansi aktor-aktor masyarakat sipil membentuk Komite Keselamatan Jurnalis.
Serangan gencar Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 42 ribu warga Palestina selama setahun terakhir. Ini artinya situasi di Gaza benar-benar genting. Indonesia harus benar-benar mengambil peran yang benar-benar strategis dalam pergaulan dunia.
Optimalisasi sidang Dewan HAM PBB
Indonesia ialah anggota Dewan HAM PBB. Indonesia telah lama menjadi anggota Dewan HAM PBB sejak didirikan pada 2006, dan terpilih kembali untuk masa jabatan 2024-2026. Selama masa jabatannya di UNHCR, rekam jejak Indonesia dalam bidang hak asasi manusia masih meresahkan dan agak bertentangan dengan prinsip-prinsip Dewan HAM PBB. Negara ini perlu menjalankan perannya di Dewan HAM PBB (UNHRC) lebih daripada sekadar kursi simbolis.
Dewan HAM memiliki seperangkat prosedur khusus untuk menyikapi situasi HAM di sebuah negara, termasuk Palestina. Dewan HAM memiliki pelapor khusus untuk Palestina. Pelapor khusus ialah pakar independen yang ditunjuk Dewan HAM PBB untuk memantau dan melaporkan situasi hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki.
Tugas pelapor khusus ialah menilai situasi hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki, melaporkannya kepada publik, dan bekerja sama dengan pemerintah, masyarakat sipil, dan pihak lain untuk mendorong kerja sama internasional. Pelapor khusus melakukan kunjungan atau misi rutin ke wilayah Palestina yang diduduki dan melaporkannya setiap tahun kepada Dewan HAM. OHCHR memberikan bantuan logistik dan teknis kepada pemegang mandat.
Mandat pelapor khusus berasal dari resolusi 1993 dari Komite HAM. Mandat tersebut meminta pelapor khusus untuk menyelidiki pelanggaran Israel terhadap prinsip dan dasar hukum internasional, hukum humaniter internasional, dan Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Penduduk Sipil di Masa Perang, 12 Agustus 1949, di wilayah Palestina yang diduduki Israel sejak 1967; untuk menerima komunikasi, mendengarkan saksi, dan menggunakan prosedur yang dianggap perlu untuk mandatnya; dan untuk melaporkan, beserta kesimpulan dan rekomendasinya, kepada Komisi HAM pada sidang-sidang berikutnya, hingga berakhirnya pendudukan Israel di wilayah-wilayah tersebut.
Pada awal April 2024, Dewan HAM mengadopsi lima resolusi, termasuk teks yang menyerukan gencatan senjata segera di Gaza, mendesak negara-negara untuk mencegah pemindahan paksa warga Palestina di dalam atau dari Gaza, dan menyerukan negara-negara untuk menghentikan penjualan atau pemindahan senjata ke Israel.
Melalui resolusi, pada awal Agustus 2024, Dewan HAM memutuskan untuk segera membentuk komisi penyelidikan internasional yang independen dan berkelanjutan untuk menyelidiki, di wilayah Palestina yang diduduki, termasuk Jerusalem Timur, dan di Israel, semua dugaan pelanggaran hukum humaniter internasional dan pelanggaran hak asasi manusia.
Comission of Inquiry
Komisi Penyelidikan Distrik Palestina yang Diduduki menyimpulkan Otoritas Israel dan Hamas sama-sama bertanggung jawab atas kejahatan perang (Dewan HAM PBB, 19 Juni 2024). Dewan HAM pagi ini memulai dialog interaktif dengan Komisi Penyelidikan Distrik Palestina yang Diduduki, termasuk Jerusalem Timur, dan di Israel.
Navi Pillay, Ketua Komisi Penyelidikan Distrik Palestina yang Diduduki, termasuk Jerusalem Timur, dan di Israel, mengatakan sejak 7 Oktober, komisi telah melakukan dua penyelidikan paralel. Pertama, terhadap serangan oleh Hamas dan kelompok bersenjata Palestina lainnya di Israel pada 7 dan 8 Oktober dan, kedua, terhadap operasi dan serangan militer Israel di Gaza antara 7 Oktober dan 31 Desember.
Terkait dengan operasi dan serangan militer Israel di Gaza sejak 7 Oktober, komisi menyimpulkan otoritas Israel bertanggung jawab atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran hukum humaniter dan hak asasi manusia internasional.
Pengepungan total Israel di Jalur Gaza telah menjadikan penyediaan kebutuhan hidup sebagai senjata untuk keuntungan strategis dan politik, termasuk melalui pemutusan pasokan air, makanan, listrik, bahan bakar, dan pasokan penting lainnya, termasuk bantuan kemanusiaan. Komisi menemukan pasukan Israel melakukan kekerasan seksual dan berbasis gender, dengan maksud untuk mempermalukan dan semakin menindas masyarakat Palestina.
Ketika Indonesia kembali mengambil perannya sebagai anggota Dewan HAM PBB, Indonesia harus menyadari beratnya tanggung jawab dan mengambil tindakan konkret untuk mengatasi tantangan hak asasi manusia di wilayah sendiri dan belahan dunia lain.
Optimalisasi kedudukan RI melalui ratifikasi
Di tingkat internasional, termasuk dalam forum Dewan HAM PBB, keterlibatan Indonesia dalam menangani krisis hak asasi manusia global, seperti yang terjadi di Gaza, Ukraina, dan Myanmar, terbatas, yaitu pada sekadar setuju, menolak, atau abstain atas rancangan sebuah resolusi. Salah satu alasan mengapa keterlibatan Indonesia terbatas ialah tidak juga meratifikasi konvensi-konvensi penting seperti Konvensi Genosida (1948), Konvensi Pengungsi (1951), Konvensi Apartheid (1973), dan Statuta Roma (1998). Mengapa ratifikasi perjanjian internasional tersebut sangat penting?
Kekuatan unik Konvensi Genosida memungkinkan genosida ditafsirkan dari berbagai macam tindakan, yang memungkinkan pengadilan untuk menghukum tindakan-tindakan yang secara tidak langsung menyebabkan genosida, serta tindakan-tindakan yang secara lebih langsung mengarah ke genosida terhadap suatu kelompok etnik tertentu.
Afrika Selatan, yang kini mendapat pujian dunia karena langkah mereka di ICJ ialah negara yang meratifikasi konvensi ini. Mengapa dari 153 negara pihak Konvensi Genosida, hanya Afrika Selatan yang mengajukan gugatan?
Selain Konvensi Genosida, Indonesia perlu meratifikasi Konvensi Pengungsi. Kejahatan paling serius seperti genosida selalu menyebabkan terjadinya pengungsian lintas batas negara. Bukan hanya di Palestina, melainkan juga terjadi di negara yang terletak dekat dengan kawasan Asia Tenggara, yaitu Myanmar.
Sekeliling hampir 1 juta orang telah mengungsi akibat serangan militer Myanmar yang berakibat krisis kemanusiaan warga minoritas etnik muslim Rohingya di Northern Rakhine. Banyak dari pengungsi hingga kini tinggal di negara lain, terutama di Bangladesh. Indonesia kerap menjadi tempat mereka untuk mencari perlindungan. Tetapi, setiap kali terdapat pendaratan kapal yang mengangkut mereka, kerap muncul polemik apakah Indonesia wajib menangani pengungsi.
Hingga persidangan terakhir PBB pada 2024, Indonesia masih diminta meratifikasi konvensi itu. Dalam salah satu kesimpulan observasinya tertanggal 28 Maret 2024, Komite HAM PBB merekomendasikan Indonesia untuk ‘memperkuat pemahaman tentang Konvensi dan Protokol Status Pengungsi 1951 yang berkaitan dengan Statuta Pengungsi 1967 di antara para pengambil keputusan’.
Kedudukan Indonesia akan lebih kuat menentang praktik Israel menginjak-injak hukum internasional apabila Indonesia juga meratifikasi Konvensi Apartheid. Apartheid ialah tindakan yang melanggar Piagam PBB. Konvensi Apartheid telah menegaskan bahwa sebagai langkah terakhir dalam mengutuk apartheid, tindakan itu telah dinyatakan sebagai tindakan kriminal.
Bagaimanapun, kejahatan apartheid dan genosida yang memicu pengungsian manusia itu dilakukan seseorang yang memegang sumber daya besar, termasuk pasukan militer dan senjata. Mereka harus diadili ke pengadilan guna diminta pertanggungjawaban pidana atas kejahatan mereka. Mekanisme untuk tujuan itu dapat ditempuh melalui penegakan hukum di Mahkamah Pidana Global. Oleh karena itu, akan lebih kuat lagi apabila Indonesia meratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Global.
Statuta itu memuat aturan yang jelas tentang kejahatan genosida sebagai salah satu dari empat kejahatan paling serius (most serious crimes). Kejahatan paling serius lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan agresi, dan kejahatan perang. Demi memenuhi tanggung jawab sebagai anggota dewan dengan lebih baik, Indonesia harus memprioritaskan pengesahan perjanjian-perjanjian internasional itu.
Indonesia juga perlu kembali mengagendakan ratifikasi statuta itu. Pengesahan Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Global telah masuk Rencana Aksi Nasional HAM I (1998-2003), RANHAM II (2003-2008), RANHAM III (2009-2014), RANHAM IV (2014-2019), tetapi tidak tercantum lagi dalam RANHAM V (2019-2024).
Kalau ditelusuri, tampak adanya keraguan untuk meratifikasi statuta itu atas alasan kekhawatiran bahwa statuta itu dapat diberlakukan untuk Indonesia. Bukankah sebuah hukum seharusnya memang berlaku untuk semua? Bukankah itu sebuah politik standar ganda jika kita hanya memberlakukan sebuah hukum untuk orang lain yang tidak mengikat kita?
RANHAM disusun atas sebuah kesadaran kolektif komponen bangsa, bahwa Indonesia telah memiliki sejarah kekerasan yang panjang pada masa lalu, termasuk kekerasan yang dapat digolongkan ke dalam jenis kejahatan paling serius seperti kejahatan kemanusiaan dan genosida. Dengan ratifikasi statuta itu, komitmen Indonesia menjadi tak perlu diragukan lagi.
Tentu saja, selain harus secara aktif mengoptimalkan mekanisme PBB, Indonesia pun harus mengatasi sejumlah besar masalah hak asasi manusia di dalam negerinya. Mulai yang terkait dengan konflik lahan, kerusakan lingkungan, dan hak-hak masyarakat adat, yang berkontribusi terhadap krisis iklim, perdagangan manusia, hingga kekerasan seksual di semua sektor termasuk. Masalah-masalah itu menuntut perhatian mendesak dan penegakan hukum yang efektif untuk memastikan keadilan bagi para korban dan akuntabilitas bagi para pelaku.
Singkatnya, untuk benar-benar mewujudkan komitmennya pada hak asasi manusia, Indonesia harus mengatasi pelanggaran hak asasi manusia internal, meratifikasi konvensi-konvensi utama, dan secara aktif bekerja sama dengan mitra internasional untuk memajukan perjuangan hak asasi manusia di tingkat lokal dan internasional. Itu juga merupakan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia pada masa lalu.