PEMPROV DKI Jakarta pusing tujuh keliling mengatasi tawuran pelajar dan tawuran remaja antarkampung. Tawuran juga semakin masif terjadi di kawasan penyangga Ibu Kota, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Bahkan, kini kota-kota besar di Jawa Barat dan kota besar lainnya di Tanah Air terkena virus tawuran remaja juga.
Perkaranya terkadang sepele, seperti lihat-lihatan, geber-geberan sepeda motor, dan menjelek-jelekkan nama sekolah atau geng. Mereka menebar ancaman di media sosial, terus ketemuan di suatu tempat, dan pecahlah tawuran. Ajakan untuk berkelahi bukan one on one alias satu lawan satu, melainkan per kelompok lengkap dengan senjata tajam, seperti celurit, parang, golok bergerigi, gir, dan panah.
Aksi mereka bukan lagi disebut kenakalan remaja. Perilaku itu sudah masuk kategori kejahatan remaja karena targetnya ialah melenyapkan nyawa lawan. Dinas Pendidikan DKI Jakarta pun mencabut fasilitas Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus dua siswa yang terlibat tawuran. Pencabutan dilakukan karena keduanya terbukti ikut tawuran di Johar Baru, Jakarta Pusat.
“Orangtua sudah mengakui anaknya terlibat tawuran. Maka, sesuai peraturan dan juga ditegaskan oleh pimpinan, KJP Plus terpaksa kita cabut, kita batalkan,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Purwosusilo saat dimintai konfirmasi di Jakarta, Jumat (28/7), seperti dikutip Medcom.Id.
Ketentuan pencabutan fasilitas KJP berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 110 Pahamn 2021 tentang Donasi Sosial Pendidikan. Dalam pergub itu, terutama Pasal 23, disebutkan bahwa setiap siswa yang terlibat tawuran akan mendapatkan hukuman pencabutan fasilitas KJP.
Di Pasal 26 ayat 1 tertulis bahwa peserta didik dan/atau orangtua/wali penerima bantuan sosial biaya pendidikan yang melanggar salah satu atau secara kumulatif larangan dalam Pasal 23 dan Pasal 24, diberikan sanksi berupa penghentian KJP. Penghentian sesuai dengan rekomendasi dari satuan pendidikan. Meski demikian, sanksi dapat pula dicabut berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh satuan pendidikan.
Di sisi lain, Polri juga pernah mewacanakan memasukkan riwayat pelaku tawuran ke dalam Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). “Karena setiap mendaftar pekerjaan atau apa pun itu pasti membutuhkan SKCK, yang sumbernya dari tindakan sebelumnya. Jadi, apa pun yang anak ini (pelaku tawuran) lakukan, akan terdata terus dan terbawa,” kata Wakapolres Metro Jakarta Selatan AKB Harun, disiarkan Antara, Jumat (19/5).
Laporan Badan Pusat Stagnantik (BPS) menyebutkan sepanjang 2021 ada 188 desa/kelurahan di seluruh Indonesia yang menjadi arena perkelahian massal antarpelajar atau mahasiswa. Jawa Barat menjadi provinsi dengan lokasi kasus tawuran pelajar terbanyak, yakni di 37 desa/kelurahan. Diikuti Sumatra Utara dan Maluku dengan masing-masing 15 desa/kelurahan yang mengalami kasus serupa.
Tawuran antarpelajar tak bisa dibiarkan karena akan menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi dunia pendidikan nasional. Selain itu, perilaku itu juga akan merusak mental dan membahayakan fisik pelajar. Tak sedikit pelajar yang meregang nyawa karena terlibat tawuran atau korban salah sasaran dalam tawuran. Penanganan tawuran harus dilakukan dari hulu sampai hilir, dari kondisi keluarga, pola asuh, hingga lingkungan kediaman si anak tinggal. Kondisi keluarga yang tidak harmonis, orangtua cerai, orangtua cuek, orangtua sibuk bekerja, dan komunikasi yang buruk menyebabkan anak melakukan pelarian dari kondisi keluarga yang tidak sehat tersebut.
Pendidikan yang salah kaprah terhadap anak juga bisa berdampak negatif pada anak, seperti orangtua yang otoriter, terlalu mengekang, dan anak tak diberikan kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi. Dapat pula orangtua terlalu memanjakan anak atau memberi kebebasan tanpa kontrol sehingga anak hidup semau gue tanpa nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan kepadanya. Bukan adanya nilai-nilai moral, toleransi, dan agama membuat anak tak memiliki panduan nilai-nilai yang harus mereka jaga selama berada di luar rumah.
Masa remaja adalah masa pencarian identitas. Pada masa itulah krisis identitas terjadi. Mereka mudah mengidolakan atau meniru seseorang yang dikagumi, soal prestasi atau keberaniannya. Nah, keberanian pada hal negatif ini kerap mereka jadikan panutan, seperti keberanian melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain.
Krisis identitas ini juga memicu pengendalian diri yang lemah (weakness of self control) dan kegagalan untuk menyesuaikan diri (self mal adjustment) dengan lingkungan yang beragam, seperti sosial, ekonomi, budaya, dan perubahan di berbagai kehidupan yang berlangsung secara dinamis.
Kekerasan yang dilakukan remaja saat tawuran hingga menyebabkan orang lain terluka atau meninggal dunia sering kali terjadi karena pelaku ingin dipandang berani di kelompoknya. Tak hanya di kelompoknya, pelaku kekerasan juga ingin dikenal di kelompok lawan. Penulis pernah terjebak tawuran di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Jenisnya tawuran antarkampung di situ terus berlanjut karena terjadi proses regenerasi. Mereka yang biasa tawuran di sekitar tempat tinggalnya, di kelompok kawan-kawannya di sekolah pun paling aktif tawuran.
Dukungan lingkungan bisa mengatasi kebiasaan tawuran. Lingkungan yang produktif, tersedianya ruang interaksi dan silaturahim yang hangat antarsesama warga, akan memberikan ruang tumbuh yang sehat pada anak. Pendidikan di sekolah bukan segalanya. Anak sejatinya belajar juga dari kehidupan. Hidup ini, kata Albert Einstein, tidak perlu menjadi orang sukses. “Yang penting ialah menjadi orang yang bernilai,” ujarnya. Tabik!