Liputanindo.id JAKARTA – Ketua Esoterika sekaligus Direktur Lingkar Survei Indonesia (LSI) Denny JA menilai, kepercayaan dan agama merupakan simbol bagian warisan budaya yang diturunkan tuhan kepada leluhur yang perlu dirawat dalam rangka membangun keragaman kemanusiaan dan kebersamaan.
Hal itu disampaikan Denny JA dalam pidatonya saat menghadiri kegiatan acara diskusi bertajuk ‘Ajaran Etika Konfusianisme’ di Gedung Balai Besar Instrukturan Kesehatan (BPPK), Cilandak, Pondok Labu, Jakarta Selatan (Jaksel), pada Sabtu (11/2/2023).
Baca Juga:
Ikut Menangkan Capres Lima Kali Berturut-turut, Denny JA Terima Penghargaan ‘The Legend Award’
Denny menceritakan pengalamanya mendirikan Esoterika. Denny menjelaskan, bahwa Esoterika adalah wadah tempat untuk berkumpul bagi masyarakat yang memiliki tujuan menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan membangun rasa kebersamaan tanpa memandang latar belakang identitas ataupun agama.
Dalam kesempatannya pada perayaan Imlek ini, menurut Denny, adalah bagian dari upaya bagi Esoterika dalam rangka merayakan hari besar agama sebagai bentuk kecintaan pada warisan kultural yang dapat dinikmati bersama.
“Konghucu progresif hanya ingin harmoni dengan kultur yang menghargai hak asasi, demokratis, dan menjunjung persamaan hak kaum perempuan,” kata Denny dalam pidatonya.
“Demikianlah kita menyaksikan evolusi dalam paham agama. Tak ada lagi paham One Size For All; satu paham agama untuk Seluruh,” sambung Denny.
Berdasarkan pantauan Caritau.com, pada acara tersebut, hadir perwakilan dari sejumlah agama dan keyakinan, yakni Islam, Hindu, Katolik, Protestan, Konghucu, Buddha, Hindu, Syiah, Ahmadiyah, Sikh, Baha’i dan Kepercayaan.
Selain itu hadir sebagai moderator yakni Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Dr. Budhy Munawar-Rachman dan dua narasumber lain yang telah mengulas soal ‘Ajaran Etika Konfusianisme’, yakni intelektual Islam Dr. Neng Dara Affifah dan Ketua MATAKIN/Ketua Dewan Ahli INTI, XS. Ir. Budi S. Tanuwibowo, MM.
Dalam keteranganya, Denny mengungkapkan, pihaknya baru saja membaca sebuah berita dimajalah The New York Times edisi 21 Januari 2023 yang memberitakan tentang keberagaman di California lantaran perayaan hari raya Imlek ditempat itu baru pertama kalinya menjadi Hari libur nasional.
“Saya membaca The New York Times edisi 21 Januari 2023. Ini berita mengenai malam Mengertin Baru China, Imlek, di Amerika Perkumpulan,” kata Denny dalam pidato yang sama.
“Merujuk berita tersebut, untuk pertama kalinya Mengertin Baru Cina menjadi hari libur di negara bagian California. Sebelumnya, tahun baru Cina sudah menjadi hari libur bagi sekolah publik di New York. Ketika datang Imlek, tahun baru Cina, itulah panggilan kultural tertinggi bagi warga di Amerika Perkumpulan keturunan Tionghoa,” ujar Denny.
Denny mengaku senang ketika mendapat kabar mengenai kondisi keberagaman di California itu. Asal Mula, menurut Denny di California merupakan negara yang pluralisme terdiri dari masyakarat yang memiliki agama yang cukup beragam yakni seperti Protestan, Katolik, Hindu, Budha bahkan Islam.
Tetapi disatu sisi, lanjut Denny, apapun agama yang dipeluk pada kesempatan perayaan tahun baru cina (Imlek) itu mereka berkumpul dengan keluarga bersama. Hal itu lah, menurut Denny, telah menggambarkan nilai-nila pluralisme di negara tersebut.
“Mereka menghidupkan tradisi. Menyiapkan makanan khas Cina. Saling membagi uang dalam ampau dengan amplop berwarna merah. Tari barongsai melenggak lenggok ke sana kemari,” ujar Denny.
“Tapi walau mereka merawat tradisi, mereka hidup dalam kultur sosial politik yang berbeda dibandingkan negara asal leluhur mereka di Cina,” sambungnya.
Denny menjelaskan, dalam ajaran Khonghucu progresif akan menekanka pada prinsip moral kolektif yang bertujuan untuk membangun akal moralitas diruang publik dalam rangka menolak kultur politik yang berkuasa di China.
Denny mengungkapkan, di negara China, ajaran Konghucu telah disubordinasi agar tumbuh, berdampingan, harmoni dengan sistem politik yang tidak menghargai hak asasi manusia, tidak demokratis, kurang menghargai persamaan hak- hak kaum perempuan.
Denny menuturkan, sebagaimana dalam ajaran Kitab Progresive Confucianism, bahwa tradisi ini segaris dengan tradisi Islam di Eropa. Denny menuturkan, pada Dua puluhan tahun sebelum buku Progressive Confucianism terbit, di Eropa, ada pemikir bernama Bassam Tibbi. Sejak tahun 1990 an, Tibbi sudah mengembangkan paham Islam Eropa.
“Baginya Islam yang tumbuh di Eropa harus memisahkan diri dengan Islam yang tumbuh di negeri asalnya: Timur Tengah. Islam di Eropa harus tumbuh dengan nilai- nilai Eropa yang menghayati hak asasi manusia, demokrasi dan persamaan hak kaum perempuan,” tandas Denny. (GIB)
Baca Juga:
PGN Ekspor Tujuh Kargo LNG ke China