Perdagangan Dunia Menavigasi Tantangan dan Kesempatan Baru

Perdagangan Internasional: Menavigasi Tantangan dan Peluang Baru
Lia Amalia(Dokpri)

PERDAGANGAN internasional lebih dari sekadar menjual barang lintas batas. Di balik setiap transaksi ekspor dan impor, terdapat strategi, diplomasi, dan upaya untuk memastikan produk-produk Indonesia diterima di pasar global. Indonesia selama bertahun-tahun terus menegosiasikan perjanjian-perjanjian internasional, membuka akses baru bagi produknya, yang tidak hanya meningkatkan ekonomi nasional, tetapi juga membuka tantangan baru.

Dengan beberapa perjanjian utama seperti ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Indonesia memperkuat posisinya dalam perdagangan global. Seperti dikatakan ekonom terkemuka asal Turkiye yang mengajar John F. Kennedy School of Government, Universitas Harvard, Dani Rodrik, “Menduniaisasi adalah proses yang kompleks dan kadang tidak ramah bagi negara-negara berkembang. Tetapi dengan kebijakan yang tepat, negara-negara ini bisa menavigasi tantangan dan menangkap peluang untuk memperbaiki ekonomi domestiknya.” Dengan kata lain, perjanjian seperti RCEP memberi kesempatan bagi negara-negara anggota untuk berintegrasi lebih baik dengan rantai pasok global dan meningkatkan daya saing. 

Tantangan integrasi ekonomi 

Perdagangan global selalu berubah, terutama sejak Perang Dunia II ketika kerja sama multilateral menjadi norma. Indonesia mulai aktif melibatkan diri dalam perjanjian-perjanjian perdagangan di kawasan ASEAN. ATIGA, misalnya, membuka jalan bagi penghapusan hampir semua tarif antarnegara anggota ASEAN. Ekonom dunia yang dikenal intens meneliti perdagangan internasional, Jagdish Bhagwati, menekankan bahwa perdagangan bebas di kawasan regional dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hanya, kata dia, “Hal itu membutuhkan manajemen yang baik untuk memastikan setiap negara diuntungkan secara adil.” Itulah pelajaran paling penting dalam melihat perjalanan Indonesia menuju integrasi ekonomi yang lebih dalam.

Cek Artikel:  Krusialnya Koalisi Partai Gerindra Menang di Pilkada Jakarta 2024

Baca juga : Indonesia Perlu Diversifikasi Produk dan Negara Tujuan Ekspor

Dengan penghapusan tarif hampir 98,64% antarnegara ASEAN, produk Indonesia kini dapat bersaing lebih kompetitif di pasar regional. Tetapi, integrasi ekonomi regional itu bukan tanpa tantangan, terutama ketika harus bersaing dengan negara-negara yang lebih maju secara teknologi dan infrastruktur. Kegagalan untuk menavigasi ketimpangan teknologi dan standar bisa berujung pada tertinggalnya produk lokal di persaingan internasional.

Di balik manfaat besar dari perjanjian perdagangan, ada tantangan yang nyata di lapangan. Standar teknis seperti sanitary dan phytosanitary (SPS) menjadi salah satu hambatan besar bagi produk-produk Indonesia untuk masuk ke pasar tertentu. 

Peraih Nobel Ekonomi 2001, Joseph Stiglitz, menekankan bahwa negara-negara berkembang harus mampu menavigasi hambatan nontarif yang sering kali dipaksakan oleh negara-negara maju. Hal tersebut ditekankan dan digarisbawahi Stiglitz, karena di situlah perang dagang modern berlangsung.

Baca juga : Biaya Logistik Perdagangan Indonesia Termahal di ASEAN

Hambatan nontarif, seperti standar teknis, regulasi lingkungan, atau persyaratan kesehatan dan keamanan, menjadi senjata bagi negara-negara maju untuk melindungi industri dalam negeri mereka tanpa melanggar aturan perdagangan bebas secara eksplisit. Hal itu menciptakan lapangan bermain yang tidak seimbang ketika negara-negara berkembang seperti Indonesia sering kali kesulitan memenuhi standar-standar tersebut karena keterbatasan infrastruktur, teknologi, atau kapasitas produksi.

Lebih jauh lagi, hambatan-hambatan ini memperburuk ketidakadilan dalam perdagangan internasional, karena negara-negara maju memiliki keleluasaan untuk menentukan standar yang sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Sementara itu, negara berkembang harus berjuang menyesuaikan diri dengan standar yang dipaksakan ini, meskipun biaya adaptasinya tinggi dan sering kali menghambat daya saing produk mereka di pasar global. 

Cek Artikel:  Titik Balik Pendidikan ke Rusia

Inilah yang membuat negara-negara berkembang harus semakin cerdas dan strategis dalam bernegosiasi dan mencari jalan keluar dari perang dagang modern ini. Metodenya dengan memperkuat daya saing melalui inovasi, peningkatan kualitas produk, dan kerja sama internasional yang lebih inklusif.

Baca juga : Federasi Ekspor Pangan India Gelar ‘Buyer and Seller Meet’ di Jakarta

Hal itulah pula tantangan yang mengharuskan Indonesia terus meningkatkan kapasitas produksi dan teknologi agar bisa bersaing secara efektif. Dengan negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan yang memiliki teknologi tinggi, tantangan ini semakin terasa. Tetapi, menurut ahli perdagangan internasional, Richard Baldwin, teknologi dan rantai nilai global memberikan kesempatan bagi negara-negara berkembang untuk ‘mengejar ketinggalan’ jika mereka berhasil memanfaatkan integrasi yang ditawarkan oleh perjanjian perdagangan.

Langkah strategis

Diversifikasi produk ekspor juga menjadi kunci. Indonesia terlalu lama bergantung pada komoditas mentah seperti kelapa sawit dan batu bara. “Negara-negara berkembang perlu melangkah lebih jauh dari sekadar eksportir bahan mentah,” ujar Ha-Joon Chang, ekonom asal Korea Selatan, karena hilirisasi dan pengolahan bahan baku menjadi produk bernilai tambah adalah kunci kesuksesan dalam rantai pasok global. Hal itu semakin penting bagi Indonesia yang perlu memperkuat sektor manufaktur dan hilirisasi untuk menghadapi persaingan global. 

Selain itu, penguatan infrastruktur dan logistik harus terus menjadi prioritas. Tanpa infrastruktur yang memadai, produk Indonesia akan sulit bersaing, tidak peduli seberapa baik kualitasnya. Profesor Michael Porter, ahli strategi bisnis dan daya saing, menekankan bahwa efisiensi logistik dan infrastruktur transportasi adalah kunci dalam menentukan daya saing suatu negara di pasar global. Dalam konteks ini, Indonesia perlu memperbaiki jalur distribusi dan mengurangi biaya logistik untuk meningkatkan daya saing produknya. 

Cek Artikel:  Greenflation dan Kompleksitas Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Baca juga : Ini 5 Isu Strategis Perundingan IEU CEPA yang Ditargetkan Kelar Akhir 2023

Diplomasi perdagangan juga memainkan peran sentral dalam memastikan Indonesia memperoleh manfaat maksimal dari perjanjian internasional. Diplomasi yang efektif juga berarti siap menghadapi kebijakan proteksionis dari negara lain, seperti kebijakan lingkungan Uni Eropa yang membatasi ekspor sawit Indonesia.

Dengan demikian, pemerintah Indonesia perlu terus menegosiasikan perjanjian perdagangan yang melindungi kepentingan nasional sekaligus membuka peluang baru bagi sektor-sektor unggulan di dalam negeri. Salah satu contoh upaya diplomasi yang berhasil adalah perundingan Indonesia-GCC Free Trade Agreement, yang menargetkan penyelesaian dalam waktu 24 bulan. 

Menapak masa depan

Perdagangan internasional selalu menjadi medan yang penuh tantangan, tetapi juga menawarkan peluang besar. Dengan memanfaatkan perjanjian perdagangan internasional dan menerapkan diplomasi perdagangan yang efektif, Indonesia dapat memperkuat daya saingnya di pasar global. Joseph Stiglitz pernah mengatakan, untuk negara-negara berkembang, kemampuan menavigasi perjanjian perdagangan dengan cerdas bisa menjadi kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Ke depan, pemerintah perlu terus memperkuat sektor manufaktur, mendorong diversifikasi produk ekspor, dan meningkatkan infrastruktur logistik. Dengan strategi yang tepat dan kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, Indonesia bisa melangkah menuju masa depan yang lebih cerah di dunia perdagangan internasional.

Mungkin Anda Menyukai