Hikmah Hari Santri Meneguhkan Pesantren Bukankekerasan

Hikmah Hari Santri: Meneguhkan Pesantren Nirkekerasan
(Dok. ketitang.id)

FAL-‘AAMMAH yathlubuuna minallahi ta’ala as-satra fiiha khashyata suquuthii martabatihim ‘inda al-khalqi, wal-khaasshatu yathlubuuna minallahi as-satra ‘anha khashyata suquuthihim min nadzari al-malik al-haqq. Orang level awam akan meminta Allah menutupi dosa-dosanya agar tidak malu di mata manusia. Tetapi, hamba yang istimewa niscaya memohon dijauhkan dari dosa demi tak celaka dalam pandangan-Nya.

Ibnu Athaillah As-Sakandari, dalam Al-Hikam, menyingkap dua jenis kesadaran yang mampu memengaruhi tindakan manusia. Di satu sisi, ada dorongan untuk menjaga nama baik di hadapan sesama, sementara di posisi lain, ada kepekaan yang lebih mendalam, menjaga kehormatan di hadapan Allah SWT.

Pasal bijak itulah yang kemudian diimani dan dijadikan dasar keseharian kebanyakan pesantren di Indonesia. Para tokoh di dalamnya meyakini bahwa menjaga martabat pesantren bukan hanya soal menghindari pandangan buruk dari masyarakat, tetapi juga tentang tanggung jawab spiritual untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bermartabat bagi para santri demi keberlanjutan syiar dan dakwah.

 

Rekam jejak pesantren

Nyaris semua pihak tak menyimpan keraguan terhadap peran pesantren sebagai salah satu fondasi penting bagi bangsa dan negara. Sejak masa kolonial, pesantren tidak hanya menjadi pusat pembelajaran agama, tetapi juga benteng moral hingga poros perjuangan politik kemerdekaan Indonesia.

Sejarah telah mencatat, betapa santri dan kiai berani mengorbankan diri demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Resolusi Jihad yang dicetuskan Hadaratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menjadi bukti monumental sumbangsih sekaligus rekam jejak kaum sarungan.

Tetapi, di balik kontribusi luhur itu, pesantren juga menghadapi tantangan yang kian berat. Perubahan zaman, arus globalisasi, dan modernisasi menuntut pesantren untuk terus mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.

Cek Artikel:  Anak Korban Tindak Kekerasan Orangtua

Di sinilah pentingnya Hari Santri Nasional (HSN) dimaknai bukan sekadar perayaan, melainkan jugasebagai refleksi menjaga martabat dan kemuliaan yang sudah diwariskan para pendahulu. HSN ialah ‘panggung’ yang diberikan negara untuk menunjukkan keterbukaan pesantren demi tetap meraih kepercayaan dari masyarakat luas.

 

Fenomena kekerasan anak di pesantren

Seiring dengan maraknya kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia, pesantren turut menjadi ruang yang tertimpa oleh tanggung jawab moral yang kian besar. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) per Senin, 14 Oktober 2024, tercatat 19.813 kasus kekerasan telah menyasar anak-anak di sepanjang 2024. Mirisnya, sebanyak 1.117 kasus dengan 1.447 korban anak justru terjadi di lembaga pendidikan, termasuk lembaga-lembaga yang mengategorikan diri sebagai pondok pesantren.

Salah satu di antara biang kerok terjadinya tindak kekerasan baik fisik, mental, maupun bahkan seksual dalam dunia pendidikan itu ialah masih bercokolnya paradigma kuno, yang memandang bahwa kekerasan memang bagian dari proses pendisiplinan. Selain itu, bobroknya iman dan mental pelaku menjadi penyebab yang tak kalah sering ditemukan.

Beberapa lembaga yang mendeklarasikan diri sebagai pesantren juga masih sering mempertahankan pola pengasuhan yang otoriter.

Santri dianggap sebagai objek yang harus memiliki ketundukan total. Padahal, dalam Islam, termasuk sistem dakwah dan pengajarannya, telah memasukkan hifz an-nasl mMelindungi keturunan) sebagai bagian dari maqashid asy-syariah (tujuan syariah). Menjaga anak-anak secara baik fisik maupun mental sejatinya tidak berada di level pilihan, tapi kewajiban.

Cek Artikel:  Kebijakan Penonaktivan NIK Kaum Jakarta: 'Kagak baik Macam-macam Cermin Dibelah'

 

Membangun kesadaran kolektif

Min alaamaati mauti al-qalbi ‘adamu al-huzni ‘ala maa faataka min al muwaafaqaati wa tarku an-nadmi ‘ala maa fa’altahu min wujuudi az-zallaati. Salah satu tanda hati yang mati, menurut Ibnu Athaillah, ialah ketidakpedulian terhadap kesalahan yang dilakukan. Kekerasan anak di ‘pesantren’ bukan hanya dosa individu, melainkan juga cerminan kegagalan sistem yang harus segera diakui dan diperbaiki semua pihak.

Pengasuh, pengurus, pengajar, dan pemerintah memegang amanah yang sama untuk melindungi para santri. Kemenag dan Kementerian PPPA telah memulai langkah penting melalui pengetatan beragam aturan, serta pelaksanaan aneka program pelatihan perlindungan anak. Tetapi, perubahan besar itu tidak bisa hanya bergantung pada hal formal. Seluruh itu juga harus dimaknai sebagai tanggung jawab moral para pengasuh, pengurus, dan pengajar di pesantren.

Pada Juni 2023, puluhan pesantren mendeklarasikan Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA). Gerakan itu cukup menunjukkan angin segar, bahwa kesadaran kolektif di pesantren masih masih terawat secara sehat. Karena didorong rasa keprihatinan dan mengedepankan nilai kepedulian, pesantren anggota JPPRA saling wa tawaasau bil-haqqi, wa tawaasau bis-sabri (saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran), khususnya dalam upaya menciptakan dan mempertahankan lingkungan yang aman bagi para santri.

Pada Agustus 2024, melalui Focus Group Discussion (FGD) tentang Pencegahan kekerasan anak di pesantren yang melibatkan 40 pondok pesantren anggota JPPRA, bahkan terungkap bahwa sebanyak 37,5% pesantren telah memiliki aturan dan kebijakan tertulis yang berfokus pada peningkatan perlindungan anak. Sementara itu, 72,5% dari mereka dinilai mengalami peningkatan dalam melakukan upaya pencegahan kekerasan terhadap santri.

Cek Artikel:  Berkah dan Doa Masyayeh Lirboyo untuk Kekasih Anies-Muhaimin di Pilpres 2024

Mereka setidaknya menerapkan empat macam strategi. Pertama, membangun sistem pengawasan internal. Kedua, penguatan metode pengasuhan ramah anak. Ketiga, menyediakan layanan konseling. Keempat, sosialisasi tentang hak anak.

Akan tetapi, langkah-langkah tersebut eloknya tidak hanya berhenti jumlah yang terbatas. Kepada menciptakan perubahan yang lebih luas, kesadaran kolektif harus dibangun secara lebih serentak dan sistematis. Loyalp pesantren harus mulai dari diri sendiri dengan merumuskan segala kebijakan yang tegas terhadap kekerasan anak.

 

Cita-cita untuk masa depan pesantren

Sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui. Kesadaran kolektif sebenarnya tidak hanya dibutuhkan para santri, tetapi juga menjadi penentu nasib kelembagaan pesantren di masa depan. Itu terutama terkait dengan hubungan mereka dengan masyarakat yang lebih luas.

Laporan Unicef Indonesia pada 2022 lalu, misalnya, menunjukkan pesantren yang telah menerapkan kebijakan perlindungan anak mengalami peningkatan kepercayaan masyarakat hingga 20%. Hal itu juga membuktikan masyarakat kian memperhatikan keamanan anak di lingkungan pendidikan.

Selebihnya, masih kata Ibnu Athaillah, “Li yukhaffif ‘alam al-bala’ ‘anka ‘ilmuka bi-annahu subhanahu huwa al-mublii laka fa-alladzi wajahatka minhu al-aqdaaru huwa alladzi ‘awwadaka husna al-ikhtiyar.” Ringankan derita dengan kesadaran bahwa Tuhan Yang Mahasuci, Dia-lah yang mengujimu, yang menurunkan cobaan itu. Yang takdir-Nya mendatangimu ialah Dia yang selalu memilihkan kebaikan dalam setiap jalanmu.

Ujian berat yang dihadapi pesantren sekarang ini bisa ditirakati sebagai jalan untuk terus memperbaiki diri. Pesantren harus benar-benar mampu mengembalikan identitas mereka secara menyeluruh sebab generasi berakhlak mulia memang akan tumbuh lebih sempurna dari ruang yang aman dan penuh kasih sayang.

Mungkin Anda Menyukai