KEMENTERIAN Kelautan dan Perikanan hadir pada 1999 di saat terjadi krisis politik. Perubahan politik dan kebijakan terasa sekali terhadap setiap tindakan pembangunan perikanan. Karena ganti menteri, ganti kembali kebijakan dan kepemimpinannya. Apa sebenarnya yang terjadi sehingga perlu waktu lebih dari 24 tahun untuk mumpuni.
Dalam sebuah proses pembangunan setidaknya ada dua fondasi yang perlu dipersiapkan. Pertama, kebijakan yang robust (tepat) dan kedua, implementasi yang tepat. Kedua fondasi itu akan mengawal sektor kelautan dan perikanan agar tetap berjalan dalam koridor, walaupun lahir di tengah krisis kebijakan dan kegamangan implementasi programnya.
Terdapat empat skenario kuadran kemungkinan antara kebijakan dan implementasi pembangunan perikanan dan kelautan. Pertama, kebijakan yang dibuat sudah tepat dan dilaksanakan secara tepat. Kedua, kebijakan yang dibuat sudah tepat dan dilaksanakan tidak tepat. Ketiga, kebijakan yang dibuat tidak tepat, tetapi dilaksanana secara tepat. Keempat, kebijakan yang dibuat tidak tepat dan dilaksanakan tidak tepat lagi. Taatp kuadran itu kemudian akan memberikan efek daya getar (resonansi) yang berbeda dalam implementasinya.
Tetapi, jangan lupa, ada skenario lain yang juga harus diperhatikan pada posisi mana kebijakan tersebut lahir. Nugroho dalam sebuah pemikiran (7/10) menjelaskan bahwa kebijakan itu ada yang pada tataran kebijakan politik, kebijakan pemerintah, dan kebijakan publik.
Kebijakan politik kadang berdamai pada formalitas pertemuan tingkat rapat legislatif tanpa kemudian menelaah efek terhadap masyarakat. Tetapi, jika terjadi kekacauan implementasi kemudian politisi bertindak seperti pengamat. Begitu juga kebijakan pemerintah, yang cenderung top down dan bahkan sering tidak linier dengan kebijakan payungnya dan mendorong sebatas pencapai indikator kinerja utama (IKU).
Kebijakan omnibus law sebagai contoh yang dikonsolidasikan parlemen untuk diterima melalui perpu walaupun diminta untuk perbaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Pada tataran kebijakan perikanan dan kelautan hadirnya PP No 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, PP No 26/23 tentang Pengelolaan Sedimen Hasil Laut dipaksa didorong untuk kepentingan pencapaian IKU. Kehadiran kedua PP kuat dipengaruhi fakta politik dan fakta manajemen pemerintah.
Kebijakan publik ialah kebijakan yang dipersiapkan dan lahir dari kebutuhan publik, bukan sekedar memenuhi keinginan pemerintah agar beroleh penerimaan negara. Kebijakan publik lahir dari proposal publik yang dibawa untuk kesetaraan dan keadilan yang bisa diterima masyarakat.
Resonansi dan relevansi
Kebijakan publik perikanan harus lebih pada fakta manajemen yang lebih operasional dalam implementasinya. Apabila hanya dipahami sebagai sebuah fakta politik dan fakta pemerintah, kebijakan perikanan itu selesai dengan tawar-menawar politik tanpa berdampak terhadap nelayan dan pembudi daya ikan, apalagi investor. Kemudian terjadilah sosialisasi setelah kebijakan disetujui untuk mencari jalan tengah agar tetap berjalan.
Resonansi yang dimaksud ialah munculnya efek terhadap kebijakan lain, baik yang sudah jalan dengan baik maupun yang sudah ada, tapi tidak berjalan. Resonansi kebijakan investasi tidak hanya soal lahirnya permen dari PP No 11 dan PP 26 Mengertin 2023, tapi lebih jauh resonansi publik dan investor juga harus dipetakan.
Gonta-ganti mekanisme dari pungutan pratangkap menjadi pascatangkap, sistem kuota dari data yang masih perlu diuji kekuatan rekatnya. Jangan sampai kemudian ketika didorong untuk meningkatkan investasi, yang terjadi para investor malah melakukan aksi wait and see.
Buat memastikan investasi perikanan, seharusnya kebijakan PP 11/2023 dibuat terhubungan dengan kebijakan tata kelola wilayah pengelolaan perikanan (WPP), tata kelola tempat pelelangan ikan (TPI), tata kelola pelabuhan, sistem prasarana pelabuhan, kepastian rantai pasok dan logistik, peta musim tangkapan, kecepatan data perikanan, dan kesejahteraan nelayan.
Fakta penutupan WP 714 sebagai daerah nursery ground dilakukan tanpa data yang memadai. Bahkan, dari beberapa diskusi, larva skipjack yang di perikanan di WPP 714 malah tidak terlihat. Begitu juga spill over larva yang dari WPP lain juga harus dijawab terlebih dahulu sehingga penutupan WPP 714 tidak berdampak pada usaha perikanan seperti di Kendari dan Ambon.
Kehadiran PP 11/2023 yang sangat sulit dicari induknya seolah menjadi sebuah persaksian bisu dari UU Perikanan apakah memang diperlukan sebagai kebijakan publik atau tidak. Menjawab hal tersebut, PP 11/2023 dan peraturan menteri turunannya bisa diuji pada tiga kelompok, yaitu kelompok investor, kelompok pemerintah, dan kelompok publik.
Golongan investor kita harus mampu melihat apakah kemudian terjadi efek ‘gairah’ pada pelaku usaha. Apabila yang terjadi sebaliknya, seperti double pembayaran PDB, sistem pembayaran yang berdasarkan harga patokan pelabuhan dengan yang di pasar berubah, keengganan investor meneruskan usaha karena sistem rantai yang tidak menguntungkan, serta tata kelola di daerah dan pusat tidak tersambung baik. Definisinya, kebijakan publik perikanan tidak beresonansi pada tingkat investor.
Standar uji pada pemerintah sangat sederhana, yaitu besar target ialah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan penerimaan yang terealisasi. Apabila itu dapat dicapai, kebijakan yang dibuat terasa efektif. Sementara itu, kunci dari kebijakan publik perikanan bukan sekadar pemerintah banyak pendapatan, melainkan juga kondusivitas usaha membaik, hasil tangkapan berkelanjutan, dan nelayan serta keluarganya sejahtera sebagai alat uji untuk publik.
Apabila ternyata nelayan kita masih dalam garis kemiskinan, berarti kebijakan belum berguna secara baik. Dengan 2,2 juta nelayan skala kecil, target kebijakan yang utama seharusnya mendorong kesejahteraan nelayan kecil ini agar lebih berdaya, bukan sekadar mengejar IKU berupa kenaikan PNBP. Kebijakan yang tepat dilaksanakan dengan tepat dan oleh orang yang tepat maka akan melahirkan sistem investasi yang sehat dan berkelanjutan.