Menyoal Bunyi tidak Absah

Menyoal Suara tidak Sah
Ilustrasi Mi(MI/Duta)

KURANG dari 200 hari lagi Indonesia akan menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 yang juga tercatat sebagai pemilu serentak satu hari terbesar di dunia. KPU merilis ada 204.807.222 pemilih masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). Pemilih itu tersebar di 514 kabupaten/kota, 128 negara perwakilan, 7.277 kecamatan, 83.731 desa/kelurahan, dan 823.220 TPS/TPSLN/KSK/pos. Jumlah pemilih laki-laki sebanyak 102.218.503 dan pemilih perempuan 102.588.719.

Ini adalah pemilu serentak presiden dan legislatif kedua dalam sejarah Indonesia, di mana pemilih akan kembali memilih lima posisi politik melalui lima surat suara yang mereka terima. Memilih calon presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, serta anggota DPRD kabupaten/kota. Selain itu, untuk pertama kalinya selama era reformasi, DPR dan pemerintah memutuskan tidak melakukan penggantian UU Pemilu. Definisinya, UU No 7/2017 tentang Pemilihan Standar tetap digunakan sebagai dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2024.

Kondisi itu, selain memberikan kepastian aturan main sejak awal persiapan, juga membawa tantangan bagi penyelenggaraan tahapan pemilu. Tertentunya bagi KPU sebagai pelaksana pemilu, diharapkan mampu melahirkan berbagai terobosan yang mampu meningkatkan kualitas dan kredibilitas penyelenggaraan tahapan pemilu. Cita-citanya, berbagai permasalahan teknis pada pemilu serentak terdahulu dapat diantisipasi dengan baik, dan tak perlu terulang pada Pemilu 2024.

Salah satu evaluasi penting dari Pemilu 2019 ialah tingginya jumlah suara tidak sah (invalid votes) pada pemilu legislatif, baik pemilu DPR, DPD, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota. ACE Project mengklasifikasi surat suara tidak sah sebagai 1) surat suara yang kosong (tidak ada tanda pada surat suara), 2) surat suara yang mengidentifikasi pemilih, 3) surat suara yang mengandung tanda untuk lebih dari satu pilihan, 4) suara yang tidak secara jelas mencerminkan maksud atau pilihan pemilih. Kategori suara tidak sah yang terakhir sering kali sangat sulit untuk dievaluasi dan dinilai, dan mungkin terbuka untuk interpretasi yang berbeda bergantung pada siapa petugas penghitungannya.

Pasal 386 ayat (2) dan (3) UU 7/2017 mengatur bahwa suara untuk pemilu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dinyatakan sah apabila tanda coblos pada nomor atau tanda gambar parpol dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota berada pada kolom yang disediakan. Serta suara untuk pemilu DPD dinyatakan sah apabila tanda coblos terdapat pada satu calon perseorangan. Peraturan KPU No 3/2019 mengatur terdapat 16 varian suara sah untuk pemilu DPR dan DPRD. Hal itu dalam rangka menjaga kemurnian suara pemilih dan memastikan setiap suara dihitung dengan baik.

 

Kompleksitas pemilu

Bilangan pengguna hak pilih (voter turnout) pada Pemilu Legislatif 2019 memang meningkat ketimbang di Pemilu 2014, yakni 81,69%. Tetapi, ternyata kondisi itu juga diikuti oleh tingginya jumlah suara tidak sah pemilu DPR yakni sebanyak 17.503.953 atau setara 11,12%. Bilangan itu lebih besar daripada perolehan suara Partai Golkar yang berjumlah 17.229,789.

Cek Artikel:  Parpol dan Gejala Retrogresi Politik

Fenomena tingginya suara tidak sah di pemilu DPR juga terjadi pada pemilu DPRD provinsi. Misalnya, di pemilu DPRD Jabar terdapat 3.659.012 suara tidak sah, setara 15,4%. Eksispun pada pemilu DPRD Provinsi Lampung suara tidak sah mencapai 562.619, setara 12,7%. Hal serupa juga terjadi pada pemilu DPD, di mana sebanyak 29.777.821 atau 19% suara tercatat sebagai suara tidak sah.

Kerumitan akibat pilihan sistem pemilu diyakini berkontribusi pada peningkatan suara tidak sah di pemilu legislatif. Hal itu dapat diukur dari tren naiknya jumlah suara tidak sah sejak Pemilu 2004 ketika Indonesia pertama kali mengadopsi sistem pemilu proporsional daftar terbuka (open list proportional representation) untuk pemilu DPR dan DPRD.

Selain itu, pemilu DPD dengan sistem single non-transferable vote (distrik berwakil banyak) yang dipilih bersamaan dengan pemilu DPR dan DPRD, tentu menambah kompleksitas dalam pelaksanaan pemilu serta ikut menambah beban pemilih pada hari pemungutan suara. Oleh karena itu, diperlukan profesionalitas dan komitmen kuat penyelenggara pemilu untuk mampu mengelola kompleksitas yang ada dan mengurai kerumitan sehingga tidak mencederai suara pemilih.

Pada Pemilu 1999 yang memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan kombinasi sistem pemilu proporsional daftar tertutup (closed-list proportional representation), saat itu terdapat 3.708.386 suara tidak sah atau setara 3,4% pengguna hak pilih pemilu DPR. Sedangkan pada Pemilu 2004, jumlah suara tidak sah naik menjadi 10.957.925 atau setara 8,8%.

Jumlah suara tidak sah bahkan meningkat tajam saat Pemilu 2009 mengadopsi metode pemberian suara dengan mencentang/memberi tanda centang pada surat suara. Pada Pemilu DPR 2009 terdapat 17.540.248 atau setara 14,4% suara tidak sah. Itu adalah persentase angka suara tidak sah tertinggi selama penyelenggaraan pemilu legislatif di Indonesia. Selanjutnya, pada Pemilu 2014 tercatat 14.601.436 atau setara 10,46% suara tidak sah untuk pemilu DPR.

Diskursus terkait suara tidak sah makin mencuat ke publik dan menimbulkan keprihatinan. Merupakan hal yang ironis, pemilih yang datang ke TPS dalam jumlah cukup besar tapi suaranya tidak bisa dihitung karena masuk kategori suara tidak sah. Beberapa pihak menghubungkan suara tidak sah dengan protes pemilih, sementara yang lain juga menganggap ada faktor kapasitas pemilih dan petugas yang ikut memengaruhi. Sejumlah peneliti telah melakukan kajian soal tingginya suara tidak sah ini.

 

Jual beli suara

Maulana dkk (2017), melalui penelitian berjudul Vote Error In The 2014 General Election: The Case of South Sumatra Province, menemukan bahwa ada lima jenis kesalahan pemberian suara yang terjadi, yaitu a) surat suara tanpa tanda coblos, b) surat suara berisi dua tanda coblosan, c) surat suara terdapat tanda coblos di luar kotak yang disediakan, d) surat suara berisi lebih dari dua tanda coblosan, dan e) pemilih mencoblos surat suara tanpa menggunakan alat atau paku yang disediakan.

Cek Artikel:  BUMN, dari Privatisasi ke Sinergi, Konsolidasi, dan Merger

Dalam pemilu DPR, surat suara dengan dua tanda coblos memiliki proporsi terbesar sebagai penyebab suara tidak sah. Eksispun untuk pemilu DPD, porsi lebih besar yang menyebabkan suara tidak sah ialah surat suara tanpa tanda coblos. Wawancara mendalam yang dilakukan tim peneliti menunjukkan bahwa kekeliruan pada suara tidak sah pemilu DPR ikut dipengaruhi oleh praktik jual beli suara di kalangan caleg.

Dijelaskan bahwa salah seorang informan menyebut bahwa dirinya mendapat Rp120 ribu dari tim sukses calon yang memintanya untuk memilih tiga caleg dari partai yang sama. Pada saat yang sama, informan itu mendapat Rp150 ribu dari pihak lain dengan permintaan serupa. Hal itu membuatnya bingung dan tidak bisa menentukan mana caleg terbaik hingga akhirnya ketika di TPS dirinya memutuskan untuk memilih semua caleg yang memberinya uang. Eksispun pada pemilu DPD, ketika pemilih tidak memiliki informasi calon, mereka hanya membuka surat suara tanpa memilih si calon senator.

Sementara itu, dikutip dari Santi Covarida (2020), penelitian yang dilakukan LP3ES tentang faktor-faktor suara tidak sah dalam Pemilu DPR 2014 mendapati bahwa pola perilaku pemilih yang menyebabkan suara tidak sah ialah berupa 1) surat suara tidak dicoblos karena pemilih tidak mengenal calon anggota DPR di wilayahnya, 2) tidak dicoblos karena tidak menyukai calon anggota DPR di wilayahnya, 3) mencoblos ganda karena masyarakat mendapatkan uang/barang dari beberapa calon.

Lewat, 4) mencoblos ganda karena tidak tahu cara mencoblos yang benar, 5) mencoblos ganda karena masyarakat lebih menyukai partai tertentu dan lebih menyukai calon tertentu yang berbeda dari partai yang dipilihnya. Dengan demikian, terdapat koherensi antara temuan tim peneliti di Sumatra Selatan ataupun LP3ES.

Covarida dalam penelitiannya. Invalid Votes pada Pemilu Legislatif 2014 (2014), juga menemukan bahwa suara tidak sah turut dikontribusikan inkonsistensi dan salah pemahaman KPPS dalam menentukan kategori suara sah dan suara tidak sah. Varian kesalahan yang ditemukan, misalnya coblosan lebih dari satu kali pada satu kolom parpol, coblosan simetris yang tidak mengenai kolom peserta pemilu yang lain, coblosan satu kali pada baris yang tidak berisi nama calon, serta coblosan satu kali pada satu kolom calon/parpol di mana berdasarkan Peraturan KPU No 26/2013 dan perubahannya, penandaan-penandaan itu seharusnya sah.

Cek Artikel:  Nietzche dan Kekuasaan

 

Langkah antisipasi

Berdasarkan evaluasi dan pembelajaran pemilu sebelumnya, ada sejumlah hal yang harus dilakukan para pemangku kepentingan untuk mengurai tingginya suara tidak sah. Pertama, KPU beserta jajaran harus melakukan simulasi secara intensif terutama terkait proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dengan masif. Juga, perlu disediakan instrumen sosialisasi dalam berbagai ragam (tradisional dan digital) terkait proses pencoblosan yang benar. Dengan begitu, pemilih memiliki pengetahuan yang memadai tentang pemberian suara yang sah, dan suaranya menjadi berharga. KPU juga perlu mengidentifikasi daerah-daerah dengan tingkat suara tidak sah yang tinggi sehingga jajarannya bisa melakukan identifikasi penyebab dan langkah antisipasinya agar mampu ditekan pada pemilu mendatang.

Kedua, pelatihan para petugas anggota Golongan Penyelenggara Pemungutan Bunyi (KPPS) yang akan menyelenggarakan pemilu pada hari H harus dilakukan secara simulatif dan bukan berbentuk ceramah. Instrukturan pengenalan dan praktik penentuan suara sah dan tidak sah harus diintensifkan. Termasuk pula, tata cara pengisian berbagai formulir yang digunakan saat penghitungan suara di TPS.

Berbagai bimbingan teknis dan penguatan kapasitas itu tidak boleh dilakukan mepet waktu apalagi tergesa-gesa. Instrukturan petugas penghitungan suara perlu menyertakan dokumentasi (visual) penandaan surat suara yang sah dan yang tidak sah. Sesungguhnya, suara pemilih dipungut oleh para petugas yang ada di TPS karenanya pengetahuan dan kapasitas mereka harus dipastikan baik dan memadai.

Ketiga, pengawasan dan penegakan hukum atas praktik jual beli suara harus dilakukan serius untuk mencegah pragmatisme pemilih ataupun kandidat. Hukuman tegas harus diberikan kepada pelaku, bukan hanya operator lapangan, tapi juga aktor intelektualnya. Patroli pengawasan keliling oleh pengawas pemilu perlu ditingkatkan dengan pelibatan masyarakat dalam prosesnya.

Keempat, parpol dan para caleg wajib ambil tanggung jawab untuk melakukan edukasi dan penguatan kapasitas pemilih agar mampu memilih dengan benar serta berkomitmen tidak melakukan praktik jual beli suara serta berbagai tindakan ilegal lainnya, juga saling mengontrol antarpeserta pemilu sehingga tercipta iklim kompetisi yang jujur, adil, dan setara.

Terakhir, atau kelima, media dan semua elemen masyarakat sipil penting ambil peran dalam melakukan pendidikan pemilih agar memahami teknis kepemiluan dan menjaga integritas suara supaya tidak dicederai oleh kesalahan teknis ataupun tindakan pragmatis transaksional lainnya.

Pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dengan prinsip hak pilih satu orang satu suara satu nilai (one person one vote one value atau OPOVOV), maka setiap suara adalah berharga. Oleh karena itu, amatlah krusial untuk memastikan bahwa setiap pemilih mampu memberikan suaranya dengan baik dan benar, serta dihitung sesuai dengan apa yang menjadi kehendaknya.

Mungkin Anda Menyukai