BEBERAPA tahun di awal berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003 silam, sempat muncul kelakar bahwa koruptor lebih takut kepada KPK ketimbang polisi. Hal itu berangkat dari adanya perbedaan penanganan dari dua lembaga itu meski sama-sama berstatus penegak hukum.
Pada masa itu, KPK sangat gencar menggelar operasi tangkap tangan. KPK langsung main sikat siapa pun yang coba-coba korupsi. Dari menteri, gubernur, bupati, hingga pengusaha, semua kena sikat.
Para koruptor itu langsung ciut nyali begitu tahu yang menangkap mereka ialah KPK. Mereka sadar, dalam waktu yang tak lama akan segera berstatus tersangka, kemudian mengenakan rompi oranye, dan langsung ditahan. Segala proses itu hanya terjadi dalam waktu kurang dari 1 x 24 sejak penangkapan.
Berbeda halnya kalau ditangkap polisi, lanjut kelakar tersebut. Kalau ditangkap polisi, koruptor masih bisa menelepon sana-sini untuk mencari dukungan. Tak perlu khawatir pula akan langsung ditahan karena keputusan menahan bergantung pada pendapat subjektif penyidik.
Karena itu, jika nasib sedang baik, seorang koruptor yang sudah berstatus tersangka masih bisa menghirup nikmatnya udara kebebasan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Bahkan jika sedang mujur, koruptor bisa dapat SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) dari penyidik. Tentu saja tak ada yang gratis di balik kemujuran palsu itu.
Selama 20 tahun lebih, kelakar itu rupanya masih terpelihara hingga sekarang. Buktinya, bekas Ketua KPK Firli Bahuri yang sudah dijadikan tersangka sejak 22 November 2023 oleh Polda Metro Jaya hingga kini belum ditahan. Di rumah, ia asyik berolahraga dan mengaji, kata pengacara Firli.
Luar biasa tenangnya Firli menjalani hidup mengingat kasus hukumnya tak bisa dianggap sepele. Ia dijerat dengan pasal dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau gratifikasi atau suap saat menangani kasus hukum di Kementerian Pertanian. Ancaman hukuman yang dihadapi Firli pun tak main-main, penjara seumur hidup.
Belum ditahannya Firli membuat kelakar satire tadi terus terpelihara. Disadari atau tidak, aparat Polri tengah melanggengkan kelakar hina tersebut. Bahkan bisa jadi, ada polisi yang ikut tertawa jika kelakar itu dilontarkan langsung di hadapannya.
Begitulah cermin wajah hukum di negeri ini. Pedang keadilan masih tajam ke bawah, tumpul ke atas. Bagi pejabat atau orang berduit, dalil-dalil hukum bisa diutak-atik.
Itu sebuah fakta yang amat disayangkan mengingat kepercayaan publik mulai membaik terhadap institusi Polri. Hal itu berkaca pada hasil survei yang digelar Indikator, sepanjang 2023, kepercayaan publik kepada Polri mencapai 75,3% dan berada di urutan kedua di bawah Kejaksaan Mulia. Polri bahkan bisa menyalip KPK yang berada di posisi kelima.
Itu semua tentunya tak lepas dari susah payahnya Polri meningkatkan kinerja. Polri mulai sadar, kinerja itu berimpitan langsung dengan tingkat kepercayaan masyarakat.
Tak ada kata terlambat untuk mengembalikan hukum sebagai panglima. Menyitir kalimat mantan Menko Polhukam yang juga Ketua Kompolnas Mahfud MD pada 2022 silam, lebih baik 60 tahun kita punya polisi yang jelek, ketimbang satu malam tanpa polisi karena besok paginya negara ini sudah hilang.
Bertepatan dengan HUT ke-78 Bhayangkara yang akan jatuh pada 1 Juli mendatang, tak ada salahnya insan Polri berkontemplasi untuk kembali pada jati dirinya sebagai penegak hukum. Kasus yang menjerat Firli bisa jadi pembuktian bagi Polri bahwa hukum masih tegak di negeri ini.
Tentunya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tak mau ada anak buahnya yang masih berani bermain dengan kepercayaan masyarakat. Tetapi, kalau Pak Kapolri ingin membuat terobosan, tak ada salahnya pimpin langsung kasus Firli.