Daya Magis ASN Jelang Pemilu

NETRALITAS aparatur sipil negara (ASN) masih menjadi persoalan besar bangsa ini. Jumlah ASN cuma 2% dari total pemilih Pemilu 2024. Akan tetapi, mereka memiliki daya magis sehingga diperebutkan kekuatan dan aktor politik.

Daya magis ASN ialah fungsi strategis mereka dalam menggerakkan keuangan dan fasilitas negara. Mereka berpotensi memberikan dukungan sepenuhnya atas penyelenggaraan kampanye baik terbuka maupun terselubung partai politik, calon presiden, atau calon kepala daerah. Enggak kalah pentingnya ialah pilihan politik ASN menjadi referensi masyarakat di perdesaan.

Lurah dan camat kini menjadi incaran partai politik, calon presiden, dan calon kepala daerah karena berpotensi mendulang suara. Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto menyebutkan dua alasan. Pertama, seorang lurah dan camat memiliki akses langsung kepada warga dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.

Kedua, kata Agus, kewenangan dan bidang tugas lurah dan camat yang bersifat lintas sektoral di wilayah geoadministrasi mereka, seperti perizinan, penyaluran bantuan sosial, dan pembinaan organisasi masyarakat.

Cek Artikel:  Menebeng Jet Pribadi

Hasil sementara pengawasan KASN pada 2020-2023, sebanyak 2.034 ASN dilaporkan dan 1.596 ASN terbukti melanggar netralitas. Kemudian sebanyak 192 ASN pelanggar merupakan camat dan lurah.

Jenis pelanggaran yang dilakukan ialah mengadakan kegiatan yang mengarah ke keberpihakan (36,5%), kampanye/sosialisasi di media sosial seperti posting/like/komentar (20,1%), menghadiri deklarasi bakal calon/calon (15,8%), foto bersama calon/bakal calon (11,1%), dan menjadi peserta kampanye (7,4%).

Hasil survei Pilkada 2020 yang dilakukan KASN bisa membuka tabir penyebab ketidaknetralan ASN. Penyebab ASN tidak netral ialah faktor ikatan persaudaraan sebesar 50,75% dan kepentingan karier sebesar 49,72%.

Kedudukan kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian mengakibatkan ASN sulit bersikap netral disetujui 62,70% responden. Sementara itu, pihak yang paling memengaruhi ASN melanggar netralitas ialah tim sukses sebesar 32,45% dan atasan ASN sebesar 28%.

Pemberian sanksi kepada ASN pelanggar netralitas belum memberikan efek jera disetujui 78,73% responden, sedangkan sanksi kepada pasangan calon kepala daerah yang memobilisasi dukungan ASN belum tegas dinyatakan 85,36% responden.

Cek Artikel:  Daya Magis Kesetiaan Hachiko

Hukuman atas ketidaknetralan ASN bisa hukuman ringan, sedang, dan berat. Hukuman ringan bisa berupa teguran lisan dan tertulis, sedang terkena pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% selama enam bulan, sembilan bulan, atau 12 bulan. Hukuman berat bisa berupa pembebasan dari jabatan hingga pemberhentian dengan tidak hormat atas permintaan sendiri dan lain-lain.

Harus tegas dikatakan bahwa ASN dibutuhkan Republik ini untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Republik membutuhkan ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat, dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa.

ASN tidak netral menjelang pemilu dan pilkada bukan semata-mata disebabkan ASN centil. Sistem pembinaan karier ASN yang tertutup juga memberikan andil. Berkinerja atau tidak, pendapatan mereka sama saja. Unsur pembeda ialah kedekatan dengan penguasa sehingga jenjang karier berjalan mulus.

ASN di daerah sering dijadikan alat mobilisasi politik penguasa atau calon penguasa menjelang pemilu atau pilkada. Enggaklah mengherankan jika mudah ditemui ASN yang setia sampai berdarah-darah untuk melayani dan membela atasan dan keluarga mereka. Bahkan, istri jauh lebih berkuasa daripada kepala daerah.

Cek Artikel:  Politikus Muda Ujug-Ujug

Menjelang Pemilu 2024, berdasarkan laporan yang masuk ke Ombudsman RI, ASN di daerah sudah sangat terpolarisasi. ASN sudah mulai terseret oleh arus politisasi.

Mesti ada kemauan politik untuk menghentikan polarisasi ASN sehingga mereka tidak terseret dalam praktik politik praktis. Bagaimana mungkin ASN menyandang predikat sebagai perekat bangsa jika muncul friksi yang membelah?

Elok nian bila ASN menyadari bahwa pelanggaran yang dilakukan itu dimulai dari jempol. Jagalah jempol di media sosial sehingga tidak mendahului akal. ASN dilarang memberikan like, comment, dan share konten peserta pemilu. Lainnya, tentu saja ASN dilarang menjadi buzzer atau pendengung salah satu kandidat.

Menjadi ASN itu pilihan dengan konsekuensi netralitas dalam keseharian, berpihak cuma di dalam bilik suara. Independenitas itu harga mati bagi ASN.

Mungkin Anda Menyukai