Guru Besar Hukum UI Berharap Hakim Gunakan Pertimbangan Eksaminasi Akademisi

Guru Besar Hukum UI Berharap Hakim Gunakan Pertimbangan Eksaminasi Akademisi
Bedah buku buku berjudul Mengungkap Kesalahan & Kekhilafan Hakim dalam Menangani Perkara Mardani H Maming.(MI/Ardi Teristi)

KASUS hukum Mardani H Maming menyita perrhatian publik setelah buku berjudul Mengungkap Kesalahan & Kekhilafan Hakim dalam Menangani Perkara Mardani H Maming terbit pada September 2024.

Pengadilan Negeri Banjarmasin memvonis Mardani H Maming dengan hukuman 10 tahun, denda Rp500 juta, dan membayar uang pengganti sebesar Rp110.604.731.752,00. Dalam banding, putusan Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Mardani H Maming dihukum 12 tahun dan denda Rp500 juta, dan membayar uang pengganti sebesar Rp110.604.731.752,00.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Topo Santoso mengatakan, sangat bisa terjadi kemungkinan terjadi kekeliruan putusan majelis hakim. Eksaminasi yang merupakan usaha yang sangat penting bagi kalangan akademisi dalam mengkritisi putusan pengadilan.

Baca juga : Mardani Maming Terjerat Kasus Korupsi, PDIP Siap Bantu

“Kita berharap dari majelis hakim yang menangani nanti bisa menggunakan asupan-asupan masyarakat atau amicus curiae atau yang lainnya pendapat akademisi dan sebagainya untuk menjadi pertimbangan di luar dari upaya hukum dari pihak terdakwa sendiri,” kata Topo. Ketika ini, Mardani H Maming tengah membawa perkaranya ke PK.

Cek Artikel:  Anak Menkumham Jadi Wakil Ketua MPR, Singkirkan para Politisi Kawakan

“Kekritisan (akademisi), misal melalui mengeksaminasi, menganotasi, memberikan catatan kritis, harus diterima (sebagai pertimbangan) oleh kalangan peradilan,” jelas dia.

Kalangan peradilan, baik kejaksaan atau hakim, lanjut dia, tidak perlu khawatir dengan sikap kritis para akademisi tersebut karena kemungkinan kekeliruan bisa saja terjadi.

Baca juga : Ahli Hukum Safiri Eksis Kekeliruan Putusan Kasus Mardani Maming

“Kita berharap agar ada instropeksi juga dari kalangan peradilan melihat, mengakui memang kalau ada kekeliruan ya berarti kurangnya di mana sehingga itu bisa dikoreksi,” jelas dia.

Ia mencontohkan, pelaksanaan undang-undang Tipikor Pasal 2 atau 3 UU Tipikor terkait dengan suap maupun gratifikasi tidak terlalu merasuk masuk ke semua bidang sektoral, sepeti perbankan, pasar modal, kepabeanan, dan pajak. Argumennya, sektor-sektor tersebut sudah memiliki undang-undang, unsur-unsur penegak hukum, dan hukum acara sendiri.

“Di luar itu ya pakai, lex specialis sistematis, atau lex consumen derogate legi consumte, mana yang lebih dominan itu yang digunakan,” papar dia.

Cek Artikel:  Berkaca dengan Seleksi Calon Personil Kompolnas, Pansel Diminta tak Ragu Coret Capim KPK Curang

Baca juga : PK Mardani Maming Diduga Tak Independen, KY Harus Turun Tangan

Dia mencontohkan, terkait kerugian keuangan negara, jaksa atau hakim tidak selalu masuk dengan pasal 2 pasal 3 undang-undang Tipikor. Kalau kerugian keuangan negara itu terkait dengan pengemplangan pajak, undang-undang yang digunakan bukan UU Tipikor.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Prof Romli Atmasasmita menilai kasus tersebut memiliki sederet kekeliruan. “Setidaknya ada delapan kekeliruan yang dia catat, salah satunya terkait dengan moral,” terang dia.

Misalnya, dalam perkara tersebut tidak terdapat pembuktian ketentuan pasal 5 angka 4 dan 6 UU nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Majelis hakim juga telah menggunakan kosa kata kesepakatan diam-diam dalam putusan kasas! yang tidak diakui dalam norma sistem hukum pidana umum khususnya dalam UU TIPIKOR 1999/ 2001.

Baca juga : PK Jangan Memperlemah Hukuman Kasus Korupsi

Tiga, majelis hakim telah menyamakan kosa kata kesepakatan diam-diam dengan permufakatan jahat. Empat, mengabaikan fakta terdapat keterangan satu saksi yang tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sebagai alat bukti.

Cek Artikel:  5 Batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan Formal Dibentuk

“Terang ada kekeliruan, kekhilafan, kalau saya menyebutnya ada delapan kekhilafan atau kekeliruan. Bahkan, menurut saya, itu kesesatan (karena) sudah di luar konteks norma, soal moral, ya kan. Kan tidak boleh zalim,” papar dia.

Romli pun tidak mengelak ketika ditanya terkait kentalnya nuansa politik dalam proses hukum yang dijalani Mardani H Maming. “Kalau delapan (kekeliruan) itu, saya mau tanya, bukan sebab hukum ya, politik, Maming itu siapa, bupati bukan? Bupati, dari partai mana? PDIP kan,” jelas Romli.

Dia menilai, banyak siasat dari penegak hukum untuk terus melanjutkan proses kasus ini, termasuk penggunaan pasal-pasal yang tak sepenuhnya sesuai konteksnya. Menurut dia, seharusnya kasus ini dihentikan penyidikannya dengan mengeluarkan SP3. “Ini (penanganan perkara Mardani H Maming), jaksanya sudah enggak betul secara hukum, hakimnya juga enggak mau tegak lurus,” tutup dia. (N-2)

 

Mungkin Anda Menyukai