Kelas Menengah Lanjut Terhimpit

KONDISI kelas menengah di Indonesia kian terhimpit oleh situasi, baik itu karena kondisi perekonomian maupun imbas kebijakan yang diambil pemerintah. Hal itu mesti diantisipasi agar tak ada dampak besar yang justru mengganggu stabilitas ekonomi maupun politik dalam negeri. 

Demikian benang merah dari seminar nasional bertajuk Kecemasan Kelas Menengah: Terhimpit Transformasi Ekonomi, Jakarta, Selasa (8/10). 

Analis Primer Ekonomi Politik Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) Radhityana Muhammad mengatakan, kontribusi dan peran masyarakat kelas menengah cukup signifikan, tak sekadar pada aspek perekonomian, melainkan juga dari sisi demokrasi.

Baca juga : Berbondong-bondong Masyarakat Kelas Menengah Menuju Kemiskinan

“Masyarakat kelas menengah ini terorganisir meski mereka tidak berorganisasi. Mereka punya latar belakang pendidikan yang cukup, sehingga argumen mereka tidak kosong. Kontribusi mereka juga besar, jadi jangan sampai ada utak-atik kebijakan yang justru memberatkan kondisi mereka,” kata dia.

Cek Artikel:  Kendalikan Inflasi, Daerah Diminta Cermati Indeks Perkembangan Harga Komoditas

Dari aspek ekonomi, porsi pajak kelas menengah dan calon kelas menengah mencapai 80%. Lewat kontribusi konsumsi kelompok masyarakat itu mencapai 82% dari total konsumsi rumah tangga nasional. 

Hal itu mestinya menjadi acuan bagi pengambil kebijakan agar tak menelurkan regulasi yang menghambat kemampuan masyarakat menengah melakukan konsumsi melambat. Alasan, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berada di kisaran 50%.

Baca juga : Masyarakat Kelas Menengah Rawan Jadi Miskin, Ini Kata Apindo

Apabila kebijakan yang dikeluarkan mengganggu aktivitas konsumsi masyarakat kelas menengah dan calon kelas menengah, maka pertumbuhan ekonomi berpeluang besar terhambat. “Jadi sederhananya, pertumbuhan ekonomi yang 5% itu 2,5% datang dari konsumsi rumah tangga yang mayoritas kelas menengah,” kata Radhityana. 

Cek Artikel:  UMKM Raup Omzet Rp1 Miliar di Pertamina Grand Prix of Indonesia

“Sebetulnya kalau konsumsi itu tidak diganggu (dengan kebijakan yang kontra), pertumbuhan ekonomi 5% itu bukan hal yang sulit untuk dicapai Indonesia,” sambungnya. 

Sayangnya, imbuh Radhityana, belakangan ini justru peraturan yang dikeluarkan pemerintah tak ramah pada kelas menengah. Berbagai macam wacana dan isu kenaikan beban biaya diluncurkan, membuat resah kelompok masyarakat yang minim tersentuh stimulus pengambil kebijakan itu. 

Baca juga : Pemerintah Niscayakan Lanjut Monitor Daya Beli Masyarakat

Peraturan mengenai iuran wajib tabungan perumahan rakyat (Tapera), iuran wajib dana pensiun, penaikan tarif Pajak Pertambahan Birui menjadi 12%, hingga wacana pembatasan subsidi tarif KRL menjadi momok bagi masyarakat kelas menengah dan calon kelas menengah. 

Apalagi bayang-bayang peningkatan pengeluaran itu tak diimbangi dengan tingkat pendapatan di kelompok masyarakat tersebut. Bahkan kebijakan dan wacana itu justru mengemuka ketika 9 juta orang kelas menengah turun menjadi kelompok calon kelas menengah. 

Cek Artikel:  TikTok Perkenalkan TikTok One, Solusi Pemasaran untuk Meningkatkan Konversi Brand

Di kesempatan yang sama, Analis Ekonomi Politik LAB 45 Indah Lestari menyampaikan, kondisi tersebut kian menekan kemampuan masyarakat, utamanya kelas menengah dan calon kelas menengah tertekan. Karenanya, selain kebijakan yang tak memberatkan, pemerintah juga mesti memperbaiki berbagai aspek agar kelas menengah dapat bertahan, atau justru naik kelas. 

“Jadi memang rekomendasi kami secara umum itu yang paling penting ada dar sektor pendidikan. Ini penting supaya mereka tetap bisa mempertahankan posisinya sebagai balancer, baik di ekonomi maupun demokrasi,” kata dia. 

“Selain itu penciptaan lapangan kerja juga perlu diperluas, sehingga mereka (kelas menengah dan calon kelas menengah) bisa mendapatkan kehidupan yang layak,” pungkas Indah. (Mir/M-4)

Mungkin Anda Menyukai