Nama Bagus Bansos

ISU terkait dengan distribusi bantuan sosial (bansos) selalu saja menarik. Sayangnya, sisi menarik dari isu bansos akhir-akhir ini selalu dalam konteks negatif. Dari soal korupsinya, tentang kacaunya data penerima sampai membuat bansos banyak salah sasaran, hingga soal dipakainya bansos sebagai alat politik untuk mendulang suara dalam kontestasi demokrasi.

Sejatinya, tidak ada yang salah dengan bansos. Bagi rakyat kecil yang masuk kelompok sasaran bansos, program yang sepenuhnya dibiayai APBN/APBD itu sangatlah membantu meringankan beban hidup mereka, apalagi di tengah kondisi perekonomi yang mencekik leher seperti sekarang.

Bansos, secara ideal, ialah instrumen altruisme atau prinsip pengutamaan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Pada sisi praktis, bansos merupakan alat untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat. Tetapi, masalahnya, lantaran ada anggaran besar di pos itu, godaan untuk melencengkan pemanfaatannya pun tak kalah besar. 

Maka itu, yang sering terjadi ialah bansos yang seharusnya buat rakyat justru kerap diselewengkan menjadi alat untuk mengeruk uang rakyat (negara). Pun, bansos yang seharusnya diniatkan untuk membantu mendongkrak daya beli masyarakat miskin atau bahkan mengentaskan mereka dari kemiskinan malah dipakai untuk tujuan politik.

Cek Artikel:  Menteri Pembela Anak Presiden

Ya, begitulah nasib bansos. Tak lebih baik daripada nasib orang-orang yang seharusnya menerima bansos, tapi terpaksa gigit jari karena anggarannya keduluan dikorupsi. Sama mengenaskannya pula dengan nasib masyarakat miskin yang tak masuk daftar penerima bansos hanya lantaran sistem pendataan yang ngawur dan semrawut.

Bansos tidak salah apa-apa, tapi ‘nama baik’ bansos terus tercoreng gara-gara perilaku pengelolanya. Pada saat pandemi covid-19, misalnya, anggaran bansos yang semestinya bertujuan mulia melindungi ketahanan ekonomi rakyat kecil dari dampak pandemi malah ‘dijarah’ para pejabat. Bukan tanggung-tanggung, salah satu pelakunya ialah menteri sosial kala itu, Juliari Batubara. 

Sejak itu nama bansos kian sering dikonotasikan negatif. Bahkan, ada yang dengan sarkas memelesetkan kepanjangan bansos menjadi bandit sosial karena banyaknya bandit alias penjahat yang menjarah dana sosial. Akan tetapi, ya, seperti biasa, sarkasme sekasar apa pun tak membuat perilaku lancung itu berhenti. Buktinya, sampai saat ini pun berita-berita tentang korupsi bansos terus tersaji.

Cek Artikel:  Deklarasi Capres bukan Dosa

Kita cuplik saja satu contoh yang teranyar. Kemarin, KPK mulai mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan bansos beras presiden saat penanganan pandemi covid-19 di wilayah Jabodetabek pada 2020. Kasus itu mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp125 miliar. Empat orang sudah dipanggil sebagai saksi, tiga dari pegawai Kemensos dan satu swasta. 

Itu baru soal korupsinya. Kontroversi lain terkait dengan penyaluran bansos masih banyak lagi. Salah satu yang tempo hari cukup menyedot perhatian publik ialah pernyataan dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa. Ia bilang bahwa ada 46% penerima bansos tidak tepat alias salah sasaran. Waduh. 

Sejumlah pihak menduga ketidaktepatan penyaluran bansos itu disebabkan oleh ketidakakuratan data penerima bansos. Maklum saja, kata mereka, pemerintah ini memang amat bermasalah dengan data. Tetapi, mestinya kita tidak bisa maklum kalau kemudian kesalahan data itu membuat hampir separuh anggaran bansos mengucur ke orang yang salah. 

Lewat, apa isu soal bansos yang paling kontroversial? Bukan lain ialah politisasi bansos. Suka tidak suka mesti kita akui politisasi bansos pada akhirnya berhasil mengubrak-abrik prediksi elektoral pada Pemilu 2024 lalu, terutama dalam konteks pilpres. Golongan yang ditengarai didukung penguasa yang memiliki kuasa atas anggaran bansos berhasil memenangi pemilu dengan skor telak.

Cek Artikel:  Laut Semrawut

Itu jelas fenomena yang mencemaskan. Mengapa? Karena pola, skema, dan kejadian yang sama mungkin saja akan direpetisi pada hajatan-hajatan demokrasi berikutnya, termasuk Pilkada 2024 yang sudah di depan mata. Mau tidak mau harus ada aturan untuk mencegah politisasi bansos kembali mengacak-acak demokrasi. 

Dengan segala problematikanya, program bansos yang mengantongi anggaran besar memang harus dibentengi dengan aturan yang rigiditas. Bukan boleh sedikit pun yang abu-abu, jangan pula menyisakan celah bila tidak mau bansos hanya dimanfaatkan untuk kepentingan lain alih-alih kepentingan rakyat. 

Aturan yang tegas, ditambah kontrol yang ketat, paling tidak akan memulihkan ‘nama baik’ bansos sekaligus mengembalikan fungsi bansos kepada khitahnya sebagai instrumen perlindungan sosial. Bukan instrumen untuk memperkaya diri, bukan pula sebagai alat memanjat panggung politik.

Mungkin Anda Menyukai