Perempuan di Garis Depan Revolusi Teknologi Informasi

 Wanita di Garis Depan Revolusi Teknologi Informasi
Evelline Kristiani(Dok pribadi)

SAAT mendengar kata teknologi informasi (TI), yang tergambar pertama kali di benak kita umumnya adalah ruangan berisi laki-laki berbaju kasual, kaos polos, atau hoodie dengan celana jeans dan sneaker simple, asik berkutat dengan komputer.

Meskipun sudah tidak jarang keberadaannya, namun membayangkan ada wanita di antara kelompok ini tidak menjadi top of mind. Apalagi jika posisinya strategis, sebagai pengarah yang dapat mengkoordinasikan dan mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan TI. Kondisi ini memunculkan narasi yang patut kita soroti; wanita yang dapat berdiri teguh di garis depan revolusi teknologi informasi. Tapi, mengapa kita perlu lebih banyak pemimpin wanita di dunia TI?

Perspektif psikologis pada produk

Dari sudut pandang psikologi, wanita seringkali dinilai memiliki kemampuan empati yang tinggi. Terlepas dari bidangnya, sebagaimana ditekankan Lisa Moren Bromma pada bukunya Wise Women Invest in Real Estate (2006). Empati ini menjadi modal penting dalam membuat dan memasarkan produk yang human centered, yang mana memahami kebutuhan dan perasaan pengguna menjadi kunci.

Pada bidang TI telah banyak penelitian yang menunjukkan kegagalan solusi-solusi berbasis teknologi informasi dikarenakan fokus yang terpaku hanya pada aspek teknologi semata, dan mengabaikan aspek manusianya, padahal jelas-jelas penggunanya adalah manusia. Hal ini jika dilihat dari sisi outcome.

Perspektif psikologis pada tim

Sisi lainnya, sebuah tim, seperti yang disebutkan Kim Scott dalam bukunya Radical Candor (2019) selain memerlukan aksi seorang pemimpin, memang membutuhkan empati.

Keterusterangan yang welas asih perlu melibatkan hati (care personally) dan pikiran (challenge directly), karena tiga tanggung jawab seorang manager adalah; pertama, memberikan arahan, apresiasi dan kritik yang akan membuat semua orang bergerak ke arah yang benar. Kedua, membangun tim memahami apa yang menjadi motivasi setiap anggota dalam tim untuk menghindari kelelahan atau kebosanan dan menjaga kekompakan tim. Ketiga, mendorong hasil secara kolaboratif.

Cek Artikel:  Mengawal Pilkada Serentak 2024

Sehubungan dengan hal tersebut, wanita memiliki keunggulan karena cenderung memiliki pendekatan yang lebih empatik dalam pengambilan keputusan. Mereka percaya bahwa setiap anggota tim memiliki perspektif yang berharga.

Kalau mampu mempertimbangkan berbagai perspektif dan pendapat dengan dasar teknis yang benar, dapat menghasilkan solusi yang lebih holistik dan inklusif. Dalam industri TI, yang mana kolaborasi dan komunikasi antar tim sangat krusial, model kepemimpinan ini membawa nilai tambah signifikan.

Kemampuan multitasking

Meskipun argumen tentang kemampuan multitasking antargender masih diperdebatkan, ada anggapan bahwa wanita cenderung lebih baik dalam menangani berbagai tugas secara simultan. Dalam industri TI yang serba cepat, yang sering kali diperlukan untuk menyeimbangkan proyek, tim, dan tenggat waktu yang berbeda, kemampuan ini sangat berharga.

Diversitas membawa inovasi. Dengan adanya lebih banyak wanita di ruang teknologi, industri TI akan mendapatkan beragam ide dan pendekatan baru yang mungkin sebelumnya tidak pernah terpikirkan.

Selama ini bidang TI memang didominasi oleh kaum pria, wanita seringkali berada dalam posisi minoritas. Menariknya, kondisi tersebut mengarahkan wanita untuk mempelajari bagaimana cara beradaptasi dengan berbagai situasi dan tantangan.

Terdapatptabilitas ini memungkinkan mereka untuk merespons dengan cepat perubahan teknologi dan tren industri. Perempuan telah membuktikan kemampuan mereka dalam memimpin dengan integritas, empati, dan visi jangka panjang. Sudah banyak tokoh wanita, baik dalam dunia politik, ekonomi, bisnis, teknologi, maupun pendidikan, memberikan dobrakan yang belum terpikirkan sebelumnya. Dunia TI jelas membutuhkan lebih banyak pemimpin dengan kualitas tersebut.

Cek Artikel:  Tatkala Influencer Ragu Harus Pilih Capres Nomor Berapa

Generasi Z dan wanita

Generasi Z yang lahir pada pertengahan 1990-an hingga awal 2000-an, tumbuh dalam era ketika digital bukan lagi pilihan tetapi gaya hidup. Dengan akses pendidikan yang semakin inklusif dan egaliter, wanita generasi Z lebih diberdayakan dan memiliki kepercayaan diri untuk memasuki bidang yang sebelumnya didominasi oleh pria, seperti TI.

Mereka tumbuh dengan gawai di tangan, menjadikan teknologi sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Generasi Z memiliki karakteristik sebagai digital natives yang memahami teknologi dari dalam.

Keakraban mereka dengan teknologi mendorong inovasi dan kreativitas. Perempuan generasi Z tidak hanya menelan informasi yang ada, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan solusi baru. Mereka bisa dan telah berada di garis depan dalam pengembangan aplikasi, platform digital, dan solusi teknologi lainnya.

Studi juga menunjukkan adanya tren peningkatan yang cukup signifikan dalam hal jumlah wanita yang tertarik dan memilih program studi bidang teknologi informasi di level pendidikan tinggi. Program studi yang menjadi daya tarik, khususnya bagi kaum wanita, untuk masuk di dunia teknologi informasi adalah sistem informasi.

Basis kurikulum sistem informasi yang mengombinasikan aspek manajemen bisnis dan TI, kepemimpinan TI, komunikasi TI, serta aspek-aspek teknis yang mengedepankan pemahaman secara mendalam di sisi pengguna (human centered), menjadikan program studi ini memiliki daya tarik tersendiri, mengingat karakter unik dari wanita.

Krusialnya budaya kerja

Stagnantik populasi global yang disadur dari Stagnanta menunjukkan bahwa dari 7,95 miliar orang yang hidup di bumi pada 2022, empat miliar di antaranya adalah laki-laki dan 3,95 miliar adalah wanita. Perempuan, sebagai separuh dari populasi dunia, memainkan peran penting dalam menciptakan dan mengemban visi masa depan industri teknologi informasi.

Cek Artikel:  Darurat Beras

Tetapi, bagaimana bisa talenta besar berkembang dan diberdayakan jika tidak didukung oleh lingkungan yang kondusif? Kepada itu, penting bagi perusahaan dan organisasi untuk membentuk budaya kerja yang mendukung, karena kenyamanan dan rasa dihargai dalam lingkungan kerja dapat mempengaruhi produktivitas, kreativitas, dan komitmen karyawan.

Kesetaraan gender harus menjadi inti dari budaya kerja, ketika sebuah lingkungan terkait setiap individu, tanpa memandang gender, mendapat pengakuan yang sama, peluang yang setara, dan perlakuan yang adil. Dalam dunia teknologi informasi, perubahan adalah satu-satunya yang konstan, kesetaraan ini menjadi kunci untuk menjaga keberagaman pemikiran, yang pada gilirannya mendorong inovasi.

Selanjutnya, peluang karir yang sama tidak hanya mengacu pada kesempatan promosi, tetapi juga pelatihan, pengembangan profesional, dan peluang untuk bekerja pada proyek-proyek inovatif. Perempuan harus diberi kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang, tanpa batasan atau prasangka.

Bukan kalah pentingnya, fasilitas khusus untuk wanita, seperti ruang menyusui, cuti melahirkan yang memadai, dan dukungan terhadap kesejahteraan kesehatan reproduksi, menegaskan komitmen sebuah organisasi terhadap kesejahteraan karyawannya. Fasilitas-fasilitas ini bukan hanya ‘fasilitas tambahan’, melainkan investasi dalam kesejahteraan dan produktivitas karyawan.

Akhirnya untuk Indonesia dan dunia, menciptakan budaya kerja yang mendukung wanita bukan hanya merupakan kebutuhan tetapi sebuah kewajiban, karena di balik setiap wanita yang berhasil, ada sebuah organisasi yang mendukungnya. Sebaliknya, di balik setiap organisasi yang berhasil, ada wanita-wanita hebat yang memimpin dan berkarya di sana.

Mungkin Anda Menyukai