Soal Manual atau Digital Terpenting Komik Dapat Pagikmati

PERJALANAN komik di Indonesia sudah cukup lama, para pelakunya pun telah beregenerasi. Tema-tema yang muncul kian beragam, termasuk cara memproduksinya. Pada era lawas atau ketika dulu komik lebih dikenal dengan istilah cergam (cerita gambar), proses pembuatannya menggunakan cara konvensional. Kini, seiring dengan perkembangan teknologi, produksi komik telah mengakomodasi berbagai cara baru.

Penulis dan tim kreatif Bumilangit Fajar Sungging Pramudito ialah salah satu yang masih menggunakan cara konvensional dalam menggambar komik. Ia yang juga anak komikus Wid NS, kreator Godam, lebih nyaman berkarya dengan cara konvensional.

“Ketika proses membuat komik Godam: Ujian buat Gugusan, itu proses menggambarnya penuh dengan kesalahan. Karena manual, jadi, ya, tidak bisa diperbaiki. Saya lakukan berbagai macam hal. Ketika menggambar secara manual, tentu punya kendala sangat banyak, tapi juga harus bisa dengan cepat menemukan solusi. Kreativitas serta alat dan bahan itu wajib dikuasai,” kata Sungging dalam diskusi Cergam Manual atau Digital? di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (9/8).

Baca juga : Komik Digital, Jalan Bagi Komikus Berkarya Hingga Kancah Dunia

Sungging menggunakan beberapa teknik seperti akuarel hingga blok. Menurut Sungging, dengan teknik konvensional dalam menggambar komik, komikus dituntut lebih kreatif untuk bisa membenahi yang ‘rusak’ menjadi tidak rusak. Sementara itu, seniman grafis Iput Ukra, yang tumbuh dan besar dalam masa peralihan dari konvensional ke digital, kerap memanfaatkan alat-alat yang ada di digital untuk menanggulangi kesalahan dalam proses konvensional.

Cek Artikel:  Once Ogah Main Bareng Dewa 19 Kembali, Buntut Perseteruan dengan Dhani?

“Waktu itu sempat menggambar dengan cat air, tapi warnanya kurang bagus. Akhirnya tone warnanya saya ganti lewat digital. Terpenting sebenarnya hasil akhir ketika gambar itu tayang atau komik terbit. Tujuan utamanya, kan, hasil akhirnya yang dinikmati,” ucap Iput.

Menurut Iput, saat ini dalam penciptaan karya seperti komik sudah tak bisa dipisahkan antara konvensional dan digital. Beberapa kali, ia memanfaatkan penggunaan alat digital seperti untuk sketsa, referensi gaya dan gerak, hingga pewarnaan (coloring).

Baca juga : Komik Bangsatnya Asmara Pertama Karya Kolaborasi Diluncurkan

 

Digitalisasi dan peremajaan

Anak kreator Si Buta dari Gua Hantu, Gienardy Santosa, yang juga membidani lahirnya terbitan baru komik-komik lama milik Ganes TH itu, mengaku era digital juga membantu pembaca dalam mengakses bacaan lawas. Komik-komik Si Buta dari Gua Hantu yang hampir lapuk itu bisa diselamatkan dengan remastered.

Cek Artikel:  Celine Dion Dibayar Rp32 Miliar untuk Nyanyi Satu Musik di Opening Olimpiade Paris 2024

Baca juga : Kecerdasan Buatan Mulai Digunakan untuk Pembuatan Komik di Jepang

“Dengan digitalisasi, itu membantu proses peremajaan. Dari buku lama di-remastered. Jadi, hasil akhirnya seperti komik baru,” kata Gienardy.

Komikus legendaris Indonesia, Mansyur Daman (MAN), kreator Golok Setan dan Siluman Sungai Ular, menuturkan digitalisasi juga turut menciptakan hasil akhir yang lebih maju. Ia yang sudah berkarya selama lebih dari enam dekade juga telah mengalami berbagai perubahan zaman. Mulai letterpress, menggambar manual dengan tangan, hingga era kini.

“Dari cara menggambar, mendapat alat-alat dan mesin, rasanya tidak puas kalau hasil akhir itu berbeda dengan yang kita gambar. Tiba kemudian tiba pada zaman (percetakan) offset, warna apa yang kita bikin itu bisa dicetak persis. Muncul lagi digital, itu lebih bagus kalau dibandingkan dengan karya aslinya,” ungkap Mansyur dalam sesi diskusi Bagaimana Bertahan Berkarya Lintas Generasi di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah, Jakarta Barat, Sabtu (10/8).

Cek Artikel:  Konser Juni Day X 1 November Bakal Eksis Raisa, Bernadya, hingga Kunto Aji

Baca juga : Langkah Sweta Kartika Kembangkan Kekayaan Intelektualnya

Si Buta dari Gua Hantu bisa disebut sebagai salah satu pelopor komik silat yang tenar era 1970-an. Gien menyebut, semula ayahnya juga membuat komik beberapa genre lain, seperti drama percintaan rumah tangga yang laku keras. Si Buta juga bukan komik silat pertama Ganes, tetapi mampu membawa popularitas genre itu hingga beberapa tahun kemudian.

Kini, genre-genre seperti pahlawan super juga jamak ditemui, seperti komik-komik terbitan Bumilangit. Itu ditambah dengan adaptasi cerita dan karakter mereka ke dalam film seperti Gundala, Sri Asih, atau serial Tira.

Cerita dan karakter dari komik lawas juga mengalami perluasan serta peremajaan. Seperti yang dilakukan Sungging dengan karakter Godam dan Si Buta. Sungging menilai para komikus era lampau selalu membuat cerita yang ‘nanggung’. Ia lantas mencoba meluaskan dunia dan semesta dari karakter yang ada di komik.

“Saya bikin cerita baru, dari mana jubah/baju Godam itu berasal. Lampau Si Buta, dari mana, sih, sebenarnya Si Mata Malaikat. Saya coba buat cerita latar belakangnya,” tutur Sungging. (M-3)

Mungkin Anda Menyukai