Sisi Gelap Keuangan Parpol, Jenis Anggaran Ilegal Pilpres 2024

Sisi Gelap Keuangan Parpol, Aliran Dana Ilegal Pilpres 2024
(MI/Seno)

PERNYATAAN Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, adanya kejahatan lingkungan pada program food estate dan penyalahgunaan dana APBN, menuai kontroversi. Demi itu, Hasto meminta dugaan aliran dana APBN kepada partai politik (parpol) hasil kejahatan lingkungan sesuai dengan temuan PPATK perlu diusut.

Meskipun tidak menyebut Partai Gerindra, deklarasi dukungan Partai Golkar dan PAN kepada Prabowo Subianto dua hari sebelumnya dinilai sebagai pemicu. Peristiwa tersebut memantik panasnya hubungan pasangan koalisi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 itu. Kelemahan transparansi dan akuntabilitas keuangan parpol sebagai lembaga publik menimbulkan rentannya tudingan masuk aliran dana ilegal tersebut.

Sebagai partai pendukung pemerintah, keduanya memiliki akses yang sama terhadap APBN, APBD, dan BUMN yang dikelola para kader dan simpatisan partai itu, baik yang berkiprah sebagai eksekutif maupun legislatif. Tudingan yang sama dapat dilakukan Gerindra kepada PDIP sepanjang memiliki bukti yang cukup. Saling tuding seperti itu ketika masa kampanye melanggar Pasal 280 ayat (1) UU Nomor 7 Pahamn 2017 tentang Pemilihan Lazim. Tudingan korupsi atau penerimaan dana ilegal tanpa bukti termasuk kategori sebagai kampanye hitam karena parpol yang dituduh korupsi dirugikan secara elektoral.

 

Hukuman menerima aliran dana korupsi

Taatp kali kader parpol terjerat oleh pidana korupsi, terbangun persepsi publik adanya aliran dana kepada parpol yang bersangkutan. UU 20 Pahamn 2021 tentang Perubahan UU 31 Pahamn 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur orang atau kelompok orang baik sebagai pelaku atau subjek perbuatan korupsi maupun sebagai penerima.

Cek Artikel:  Mengapa Harus Publisher Rights

Kedua peran dimaksud dinyatakan sama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Sementara itu, korporasi atau badan tidak dinyatakan sebagai pelaku, tetapi hanya sebagai penerima. Tetapi, sampai saat ini belum ada yurisprudensi sebagai instrumen hukum untuk menjerat korporasi, termasuk parpol sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Ketika kader parpol yang mengalirkan dana korupsi atau menerima dana ilegal dinyatakan sebagai peristiwa pidana, parpol yang menerima aliran dana korupsi dan ilegal tersebut tidak ditetapkan sebagai pelaku pidana.

Dalam persidangan kasus korupsi KTP-E pada 2018 yang melibatkan mantan Ketua Lazim Partai Golkar, sanksi pidana hanya dikenakan kepada Setya Novanto. Jenis dana korupsi yang diterima Partai Golkar untuk rapimnas sebesar Rp5 miliar diselesaikan secara perdata, dengan mengembalikan uang haram dimaksud kepada KPK.

Menurut Pasal 59 KUHP yang melakukan tindak pidana, dan yang mempertanggungjawabkan ialah orang karena tugas mengurus suatu ‘kesatuan orang’ atau korporasi, termasuk parpol menjadi tanggung jawab personal pengurusnya. Oleh karena parpol bukan subjek dan objek hukum pidana korupsi, peristiwa pidana yang menimpanya menjadi tanggung jawab individu pengurus mereka.

Oleh karena UU Nomor 2 Pahamn 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Pahamn 2008 tentang Partai Politik bersifat lex specialis, seharusnya mengatur sanksi kepada parpol yang menerima aliran dana korupsi atau ilegal dimaksud. Faktanya, UU itu hanya mengatur sanksi kepada parpol atas pelanggaran menerima sumbangan, tanpa mencantumkan identitas yang jelas dan/atau jumlahnya melebihi batas yang ditentukan UU.

Hukuman tersebut tidak dikenakan kepada parpol, tetapi dijatuhkan kepada pengurusnya, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda dua kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya. Audit dana parpol juga tidak menemukan pelanggaran ketentuan keuangan parpol apabila dana ilegal atau hasil korupsi tersebut tidak dicatat dalam pembukuan parpol baik penerimaan maupun pengeluarannya.

Cek Artikel:  Memaknai Peran Keketuaan Indonesia di G-20

Penerimaan dana bagian dari pengelolaan keuangan parpol merupakan ranah pengaturan UU Nomor 2 Pahamn 2011. Tetapi, sanksi menerima aliran dana korupsi dan ilegal luput dari pengaturan UU dimaksud. Hal itu diduga keengganan fraksi di DPR untuk menyetujui sanksi karena berkaitan dengan eksistensi organisasi yang mewadahi politikus Senayan tersebut. Dengan demikian, UU Nomor 2 Pahamn 2011 dan UU Nomor 7 Pahamn 2017 sama sekali tidak mengatur sanksi kepada parpol yang menerima aliran dana korupsi dan ilegal.

 

Sayantabilitas pendanaan Pilpres 2024

Kebutuhan biaya kampanye pilpres diperoleh dari pasangan calon presiden (capres)/calon wakil presiden (cawapres), parpol/koalisi parpol, dan sumbangan. Dari ketiga sumber pendanaan pilpres dimaksud, UU Nomor 7 Pahamn 2017 hanya menentukan kriteria, syarat, dan jumlah untuk sumber penerimaan yang berasal dari sumbangan.

Sebaliknya, dana yang berasal dari pasangan capres/cawapres dan parpol pengusung tidak diatur kriteria dan batasan jumlahnya. Pada saat penetapan capres/cawapres tidak ada keharusan mengklarifkasi asal usul dari dana kampanye pilpres yang berasal dari pasangan calon dan parpol pengusung.

Parpol memiliki peluang memperbesar pundi-pundi pendanaan pilpres yang berasal dari pasangan capres/cawapres dan partai pengusung. Pasal 328 UU Nomor 7 Pahamn 2017 menetapkan kewajiban pembukuan dana kampanye pilpres tiga hari sejak ditetapkan sebagai pasangan capres/cawapres. Kemungkinan dana korupsi dan uang ilegal lainnya dapat saja mengalir kepada pasangan capres/cawapres dan parpol pengusung sebelum penetapan pasangan capres/cawapres.

Cek Artikel:  Rekrutmen Terbuka Caleg 2019

Penerimaan aliran dana korupsi ataupun gratifikasi, termasuk sumbangan ilegal dari oligarki yang sulit terdeteksi, berpotensi digunakan untuk praktik politik uang. Hal itu disebabkan penerimaan dan pencairan dana tersebut diperuntukkan perolehan elektabilitas dan insentif elektoral telah dilakukan sebelum kewajiban pembukuan dana kampanye dimulai.

UU Nomor 2 Pahamn 2011 belum memuat sanksi apabila parpol sebelum kewajiban pembukuan dana kampanye pilpres menerima aliran dana korupsi atau dana ilegal dari oligarki. Politik uang sulit dicegah apabila aliran uang haram untuk kepentingan pilpres terjadi sebelum penetapan pasangan capres/cawapres karena tidak tersentuh audit dana kampanye. Demi menghindari kekosongan aturan tersebut perlu dilakukan judicial review UU Nomor 2 Pahamn 2011 oleh kelompok pegiat antikorupsi ke Mahkamah Konstitusi.

Keuangan partai politik tidak boleh terkontaminasi dengan aliran dana korupsi dan sumbangan ilegal karena memicu praktik politik uang pada Pemilu 2024. Daya rusaknya terhadap elektabilitas partai sangat signifikan karena publik punya persepsi negatif terhadap parpol yang koruptif.

Kualitas demokrasi tecermin pada kualitas akuntabilitas keuangan parpol. Demi itu, regulasi keuangan parpol harus mendorong peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan parpol. Revisi UU Nomor 2 Pahamn 2011 mengatur sanksi administrasi pembekuan dan pembubaran parpol merupakan keniscayaan untuk menegasi sisi gelap pendanaan parpol.

Mungkin Anda Menyukai