Guru Berkisah

Guru Berkisah
Ilustrasi MI(MI/Duta)

BERKAT kemajuan teknologi, peran media cetak dan elektronik yang dahulu kita kenal sedang tergantikan media digital. Perkembangan teknologi dapat memberi dampak positif bagi siapa saja yang menggunakannya secara bijak.

Tetapi, di sisi lain terdapat efek negatif seperti kecanduan bermain gim dan gangguan terhadap kecerdasan emosional. Selain itu, interaksi sosial anak secara langsung di dunia nyata, seperti bermain dengan teman sebaya, menjelajah alam, berkumpul dengan keluarga, saling berbagi cerita, termasuk mendengarkan cerita atau dongeng semakin jarang dilakukan.

Anak-anak sekarang mengetahui cerita bukan dari pendongeng atau orangtua juga guru yang berkisah, melainkan dari teknologi yang saat ini semakin menggerus budaya bercerita pada anak. Tentu hasilnya berbeda, bila mereka mendengarkan dongeng dari orangtua/guru dengan membaca dari cerita di gawai. Apa bedanya?

 

Kisah pagi

Kembali mengingat masa lalu saya ketika saat masih di sekolah dasar (SD). Loyalp harinya, guru yang mengajar di kelas selalu memulai dengan menceritakan kisah motivasi tokoh ataupun kisah para nabi terlebih dahulu. Saya pun selalu menantikan kedatangan guru tersebut setiap pagi.

Cerita-cerita yang disampaikan dengan gaya bercerita yang menarik berhasil memikat perhatian saya saat itu. Sahabat-teman saya juga merasa demikian. Kami menikmati momen tersebut dan masih saling berbagi kembali cerita-cerita kepada teman lain saat jam istirahat. Begitu mengesankan kisah pagi dari guru saya.

Bercerita ialah seni berbicara yang menceritakan sebuah cerita, dongeng, atau pengalaman kepada pendengar. Pandai dikatakan itu ialah teknik menyampaikan pesan yang sering digunakan siswa, orangtua, guru atau pengajar dalam interaksi tatap muka (Johan Wahyudi: 2019).

Cek Artikel:  Dolar Melesat, Waspada Krisis Obat

 

Menurut National Storytelling Network America, bercerita adalah seni interaktif yang menggunakan kata-kata dan tindakan untuk menjelaskan elemen dan gambar cerita, bertujuan merangsang imajinasi pendengar.

Bercerita merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-hari karena banyak peristiwa-peristiwa yang dapat direkam dalam ingatan untuk kemudian diceritakan saat berada di kelas, juga mampu terhubung dengan materi pembelajaran. Bercerita mencerminkan kehidupan dengan membawa gagasan, kepercayaan, keyakinan, dan pengalaman pribadi yang terus hidup melalui penceritaan cerita (Oliver, 2008: ii).

 

Manfaat bercerita

Manfaat mengajar dengan metode bercerita tidak hanya dirasakan anak, tetapi juga guru yang bercerita. Perlu dicatat bahwa bercerita bukan hanya hiburan. Dalam hal ini, bercerita memiliki peran penting dalam mengajarkan anak-anak mengenali lingkungan, budi pekerti, dan mendorong mereka untuk memiliki sikap positif serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari (Johan Wahyudi: 2019).

Ketika anak-anak mendengarkan cerita, mereka dapat membayangkan tokoh-tokoh yang diceritakan dalam kisah tersebut dan dapat mengambil kesimpulan, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dengan cara yang efektif, metode itu mampu mengembangkan berbagai aspek, termasuk aspek kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan), sosial, konatif (penghayatan), dan membantu melatih mental anak-anak untuk memiliki rasa percaya diri agar berani tampil.

Dari aspek kognitif, anak memiliki kemampuan untuk memahami konten cerita dengan mengingat nama-nama tokoh yang terlibat, mampu membayangkan kata-kata yang diucapkan, meningkatkan minat membaca anak, dan mengasah kemampuan berbahasa. Guru di sekolah dapat memanfaatkan media gambar cerita untuk mendorong minat membaca anak-anak. Di rumah, orangtua dapat menggunakan bahasa sehari-hari atau bahasa ibu yang digunakan secara alami dalam lingkungan keluarga atau sekitar mereka.

Cek Artikel:  Perundungan dan Ketahanan Mental dalam Pendidikan Spesialis Indonesia

Dari aspek afektif, cerita mampu menyentuh perasaan anak sehingga membangkitkan rasa empati dalam dirinya, membuatnya merasa terlibat dalam alur cerita. Menurut Peter dan Olson (2005), afeksi adalah rangsangan mental yang memicu respons emosional yang timbul dalam lingkungan mereka, menghasilkan rasa empati. Melalui pengalaman ini, anak mampu menilai apa yang dianggap baik dan buruk dalam cerita tersebut. Perilaku positif dapat diadopsi anak dalam kehidupan sehari-hari, sementara perilaku yang tidak baik dapat dihindari.

Dari perspektif konatif, anak memiliki kemampuan untuk membayangkan cerita yang mereka dengarkan dan merasa terlibat sepenuhnya dalam alur cerita. Selain itu, ini merupakan latihan untuk membangun rasa percaya diri, memotivasi mereka untuk tampil di depan orang lain dan bercerita. Itu menjadi salah satu metode untuk menciptakan pengalaman baru yang berharga bagi anak.

Ketika ini, Yayasan Sukma dalam proses penyelesaian penulisan buku Pendidikan Religi Islam (PAI) berbasis sirah nabawiyah yang disusun tim penulis yayasan. Naskah itu memaparkan kisah Rasulullah Muhammad SAW mulai dari masa kecil hingga dewasa. Inti dari pembuatan buku berbasis sirah nabawiyah itu ialah agar siswa dapat memahami lebih baik kisah Nabi Muhammad SAW dan keluarganya.

Cita-citanya, siswa dapat meresapi makna cerita itu dan menerapkan akhlak Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Guru juga diharapkan mampu mengisahkan cerita ini dengan baik melalui metode bercerita untuk membangkitkan perasaan yang mendalam pada jiwa anak. Guru harus benar-benar merasakannya dengan hati sebagai teladan dari kisah tersebut.

Cek Artikel:  Indonesia, NATO, dan Pendamaian Ukraina-Rusia

Guru di Sekolah Sukma Bangsa (SSB) mendapatkan pelatihan untuk menguasai metode bercerita guna memproses pembelajaran lebih mengesankan bagi anak-anak di dalam kelas. Pengalaman belakangan ini, saat melakukan simulasi penggunaan buku berbasis sirah nabawiyah, guru memiliki kebebasan memilih media pembelajaran yang akan digunakan. Beberapa di antaranya menggunakan buku bergambar, boneka tangan, bermain peran, dan variasi lainnya.

Sebelum memulai pembelajaran di kelas, guru perlu merencanakan dengan cermat aktivitas yang akan dilakukan bersama siswa. Alokasi waktu dan antisipasi situasi tak terduga harus dipikirkan secara menyeluruh.

Hasilnya? Orangtua siswa merespons positif pembelajaran PAI berbasis sirah nabawiyah itu. Menurut orangtua, anak mereka mampu menceritakan kembali kisah yang mereka dapat di kelas kepada orangtua mereka.

Guru dapat menggunakan teknik bercerita sebagai pemicu dalam memulai pembelajaran. Sembari bercerita, guru bisa menghubungkannya dengan materi yang akan dipelajari untuk memastikan keterkaitan dengan pembelajaran.

Sementara itu, cerita dari gawai, biasanya sudah dipenggal-penggal sesuai kebutuhan supaya mudah dan cepat membacanya. Saya, sebagai guru di SSB, selalu memulai pembelajaran dengan bercerita kisah-kisah yang menginspirasi. Saya berharap siswa menantikan cerita-cerita saya. Mari kita manfaatkan kekuatan bercerita. Mari bercerita untuk anak Indonesia.

Mungkin Anda Menyukai