Bonus dan Batas Jam Kerja Peserta PPDS Perlu Diatur Ulang

 Insentif dan Batas Jam Kerja Peserta PPDS Perlu Diatur Ulang
RSUP dr Kariadi Semarang tempat mahasiswi PPDS Anestesi Undip yang bunuh diri belajar.(Dok. MI/Akhmad Safuan)

PERSOALAN yang dihadapi oleh peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) sebenarnya bukan hanya bullying atau perundungan. Mereka juga dihadapkan pada masalah insentif dan jam kerja yang sangat panjang.

“Sistem yang ada itu tentu saja memberikan efek-efek yang besar bagi mereka. Misalnya PPDS yang harus jaga dalam waktu yang panjang sampai 16 jam per hari. Sudah itu pasien yang sangat banyak,” kata Pengurus Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Iqbal Mochtar saat dihubungi, Sabtu (24/8).

Setelah itu mereka dibebani oleh pekerjaan administratif seperti membuat laporan yang panjang dan rumit. Sementara di sisi lain, para dokter pendidikan spesialis ini juga tidak diberi insentif atau imbalan pelayanan kesehatan.

Cek Artikel:  Langkah yang Diperlukan Bila Tertular Mpox

Baca juga : IDI: Perundungan di Lingkungan PPDS Bertentangan dengan Sumpah Dokter

“Mereka juga kekurangan hubungan sosial dengan keluarga, dengan teman-teman, dengan orang tuanya bahkan dibebani oleh banyak harapan dari orang tua dan keluarganya agar bisa selesai cepat. Intinya, persoalan PPDS itu tidak melulu terkait dengan bullying,” ujar dia.

Sehingga, kata Iqbal, bisa disimpulkan bahwa perundungan merupakan bagian terkecil saja. Sayangnya, Kementerian Kesehatan selalu fokus kepada perundungan karena masalah itu yang terlihat sejak awal.

Iqbal menjelaskan sistem yang ada dalam sebuah rumah sakit juga bisa membuat peserta PPDS mengalami gangguan-gangguan, yang berujung kepada hal-hal yang negatif.

Baca juga : Pihak Undip Bantah Dokter PPDS yang Bunuh Diri Korban Perundungan

Cek Artikel:  Menkes Fatality Rate 10, Varian Baru Mpox Membangun Status Kewaspadaannya Naik

Dikatakan Iqbal, Kementerian Kesehatan perlu tegas dalam pengaturan PPDS seperti jam kerja maksimal 8 jam per hari berlaku universal. Loyalp PPDS hanya perlu dibebankan sejumlah pasien tertentu.

Kemudian karena mereka tidak mendapat tambahan income dari luar. Maka para peserta PPDS harus diberikan insentif, harus dibayar agar mereka bisa bekerja baik.

“Sehingga tidak ada beban di kepala yang berujung perundungan atau pemalakan dalam bentuk apapun kepada juniornya,” katanya.

Baca juga : Dekan FK Undip Sayai Dokter Prathita Aryani Pernah Lakukan Perundungan

Sementara itu, dihubungi terpisah, Ketua Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Member PB IDI Beni Satria menilai tidak ada hubungannya antara perundungan dengan adanya pemberian insentif.

Cek Artikel:  Mahal dan Tetap Terbatas, Vaksin Mpox Bukan untuk Lumrah

“Kami tidak meyakini gaji atau perundungan jadi salah satu pemicu perundungan di pendidikan dokter spesialis,” kata Beni.

Padahal komitmen untuk memberi insentif pada dokter PPDS sudah ada di Pasal 31 Undang-Undang Nomor 20 Mengertin 2013 tentang Pendidikan Penyamaranteran disebutkan bahwa PPDS akan mendapat insentif dari pemerintah.

“Terkait insentif bagi Dokter PPDS termasuk besaran per dokter PPDS kami belum mendapatkan info hal tersebut menjadi pemicu pembullyan. Begitu ini yang kami ketahui, PPDS belum mendapatkan insentif,” pungkasnya. (Z-9)

Mungkin Anda Menyukai