Dilema Kampanye di Tempat Pendidikan

Dilema Kampanye di Tempat Pendidikan
(MI/Seno)

AKHIR Mei 2023, Handrey Mantiri dan Ong Yenny melakukan pengujian UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka mempersoalkan adanya pertentangan norma dalam batang tubuh dengan isi penjelasan terkait larangan kampanye di tempat ibadah, fasilitas pemerintah, dan tempat pendidikan.

Permohonan tersebut teregistrasi dengan Nomor 65/PUU-XXI/2023. Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 tentang Pemilihan Lazim mengatur bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Sementara itu, pada penjelasannya disebutkan ‘fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

Yang dimaksud dengan ‘tempat pendidikan’ ialah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi’. Petitum pemohon ialah agar MK menyatakan penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sepanjang frasa ‘fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan’ bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Pahamn 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemohon menghendaki pelarangan total atas aktivitas kampanye di fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Kagak ada pengecualian apa pun atas larangan penggunaan ketiga tempat tersebut.

Diskursus lama

Kampanye di tempat pendidikan ialah diskursus lama yang selalu mewarnai pemilu. Pada Pemilu 1999, UU 3/1999 tidak mengatur larangan kampanye di tempat pendidikan. Pasal 47 ayat (1) huruf 6 UU 3/1999 hanya melarang penggunaan fasilitas pemerintah dan sarana ibadah.

Embargo kampanye di tempat pendidikan pertama kali diadopsi dalam UU 12/2003 untuk Pemilu 2004. Dalam UU tersebut, diatur larangan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Akan tetapi, dalam penjelasannya disebutkan bahwa untuk tempat pendidikan dikecualikan apabila atas prakarsa/mendapat izin dari pimpinan lembaga pendidikan dengan memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu serta tidak mengganggu proses belajar mengajar.

Selanjutnya, pada Pemilu 2009, melalui UU 10/2008, penggunaan tempat pendidikan untuk kampanye menjadi sepenuhnya di larang.
Dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan ‘tempat pendidikan’ pada larangan itu ialah gedung dan halaman sekolah/perguruan tinggi. Ketentuan itu kemudian kembali berubah saat Pemilu 2014 melalui pengaturan Pasal 86 ayat (1) huruf h UU 8/2012 yang melarang pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

Penjelasan Pasal 86 ayat (1) huruf h UU 8/2012 mengatur bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggungjawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Sementara itu, yang dimaksud dengan ‘tempat pendidikan’ pada ketentuan itu ialah gedung dan halaman sekolah/perguruan tinggi.

Pemilu 2019 melalui UU 7/2017 tetap mempertahankan pengaturan kampanye di tempat pendidikan sebagaimana ketentuan UU 8/2012. Mengingat Pemilu 2024 tetap menggunakan UU 7/2017 karena pemerintah menolak melanjutkan pembahasan RUU Pemilu, pengaturan tersebut juga tetap berlaku. Hal itulah yang kemudian membuat pemohon perkara 65/PUU-XXI/2023 melakukan pengujian ke MK. 

Cek Artikel:  Kereta Segera Terjebak Utang APBN Masuk Lewat Pintu Belakang

Pro-kontra

Kagak lama berselang, 15 Agustus 2023, MK membacakan putusan atas perkara tersebut. MK menyatakan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘mengecualikan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu’.

Setelah putusan, Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 selengkapnya menjadi, ‘pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu’. Sementara itu, penjelasan pasalnya berbunyi ‘yang dimaksud dengan ‘tempat pendidikan’ adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi’.

Berbeda dengan kemauan pemohon yang ingin melarang total, MK malah memperjelas pengecualian penggunaan fasilitas pemerintah
dan tempat pendidikan. Demi kepastian hukum dan kesesuaian pakem pembentukan peraturan perundang-undangan, norma pengecualian yang semua ada pada penjelasan pasal kemudian diintegrasikan pengaturannya sebagai bagian dari bunyi Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017.

Sebenarnya tidak ada yang baru dari sisi substansi, kecuali pelarangan total penggunaan tempat ibadah. Hanya, MK mengubah frasa persyaratan pengecualian dari semula tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab tempat dimaksud menjadi sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu, Jadi, berubah dari ‘atas undangan dari pihak penanggung jawab’ menjadi ‘sepanjang mendapat izin’.

Sontak putusan MK menjadi kontroversi. Tajuk media ramai terkhusus memberitakan bahwa MK membolehkan kampanye di sekolah dan kampus. Para tokoh pendidikan angkat suara. Banyak kekhawatiran dan sorotan pada potensi politisasi institusi pendidikan dan keadaban intelektual oleh petahana atau aktor politik berkuasa. 

Sebaliknya, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) antusias langsung menantang para bakal calon presiden untuk adu gagasan di kampus. Pro-kontra tak terhindarkan. Sekretaris Lazim Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, ikut menanggapi. Ia menyatakan walaupun diperbolehkan, lembaga pendidikan Muhammadiyah akan sangat berhati-hati, bahkan mungkin tidak memberikan izin kampanye di kampus.

Setali tiga uang, Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi juga keberatan, terutama soal diizinkannya kampanye di tempat pendidikan. Kampanye di sekolah atau kampus menurutnya harus dihindari.

Kalau dirunut ke belakang, dalam perjalanan menuju Pemilu 2024, kontroversi kampanye di tempat pendidikan sudah muncul sebelum putusan MK. Berawal ketika Ketua KPU Hasyim Asy’ari pada pertengahan Juli 2022 membuat pernyataan bahwa kampanye boleh dilakukan di lingkungan kampus atau perguruan tinggi sepanjang memenuhi sejumlah ketentuan (Antara, 19/7/2022).

Pernyataan itu direspons Bawaslu dengan sikap berbeda bahwa kampanye dilarang menggunakan tempat pendidikan dan ada ancaman pidana yang bisa dikenakan atas pelanggarannya. Tarik mundur lebih ke belakang. Gagasan kampanye di tempat pendidikan, terutama di kampus, sudah muncul lama. Jelang Pilpres 2019, Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi Dahnil Anzar Simanjuntak pernah mengusulkan debat calon dilaksanakan di kampus.

Dahnil menilai debat di kampus jauh lebih hemat daripada di hotel. Mahasiswa dan akademisilah yang akan mendebat serta
mengelaborasi pemikiran para calon. Gagasan tersebut kompak ditolak KPU maupun Bawaslu. Tetapi, KPU melalui komisionernya, Ilham Saputra, menyebut bahwa kampus boleh mengundang calon untuk membahas visi-misi mereka secara akademis, asal tidak ada ajakan untuk memilih saat pelaksanaannya.

Cek Artikel:  Praperadilan dan Keadilan dalam Proses Penegakan Hukum

Selain itu, pada 5 Desember 2021, Hakim MK Saldi Isra dalam siaran kanal Youtube MK mengungkapkan agar masyarakat tidak terlalu fobia pada kampanye politik di kampus. Menurutnya, di negara-negara maju para calon pemimpin justru berdebat dalam forum yang diadakan di kampus.

Selama puluhan tahun, debat kandidat presiden Amerika Perkumpulan memang berlangsung di kampus, termasuk debat pemilu internal untuk menyaring capres partai. Selain karena lengkapnya fasilitas kampus, acara itu juga diharapkan dapat memberi kesempatan pada mahasiswa untuk terlibat dalam diskursus politik nasional (VOA Indonesia).

Buat mencegah penyimpangan, American Council on Education (ACE), misalnya, menerbitkan panduan Political Campaign- Related Activities of and at Colleges and Universities. Memuat hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan terkait kampanye di tempat pendidikan.

Operasionalisasi putusan MK

Pascaputusan MK, harus dilakukan pengaturan lebih lanjut terkait operasionalisasi teknisnya. KPU memang sudah memiliki Peraturan KPU 15/2023 tentang Kampanye. Tetapi, PKPU tersebut belum mengatur secara detail terkait prosedur penggunaan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sebagaimana amar putusan MK.

Sehubungan dengan itu, KPU harus segera melakukan revisi atas PKPU 15/2023. Mengingat pro kontra atas Putusan MK terkait kampanye di tempat pendidikan, pembahasan revisi mesti dilakukan terbuka, inklusif, dan partisipatoris. KPU mutlak melibatkan otoritas dan pemangku kepentingan terkait, misal Kemendikbud-Ristek, Kemendagri, Kemenag, Setneg, Kemenpan RB, KPAI, KASN, Ombudsman, pemerintah daerah, Bawaslu, persatuan/konfederasi atau serikat guru dan dosen. Selain itu, pakar, akademisi, perwakilan mahasiswa dan siswa, pemantau pemilu, serta pihak-pihak lain yang relevan.

Pengaturan kampanye di tempat pendidikan harus memedomani prinsip kampanye sebagaimana pengaturan metode kampanye lainnya. KPU penting memastikan kampanye di tempat pendidikan dilakukan secara berimbang, adil, dan memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh peserta pemilu. Ketiga prinsip itu juga ditegaskan dalam pelaksanaan kampanye di media penyiaran, media massa cetak, dan elektronik, serta media daring.

Selain itu, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan KPU dalam mengatur kampanye di tempat pendidikan. Pertama, terkait perubahan frasa dari ‘atas undangan dari pihak penanggung jawab’ menjadi ‘mendapat izin dari penanggung jawab tempat’, KPU perlu memperjelas pengaturan soal izin ini.

Izin menurut Engkaus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai ‘pernyataan mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya) atau
persetujuan membolehkan’. Oleh karena itu, harus tegas diatur izin tersebut diberikan atas dasar permintaan atau permohonan siapa. Permintaan tiap-tiap peserta pemilu atau berdasar permintaan resmi KPU sebagai penanggung jawab tahapan kampanye? Merujuk keterpenuhan prinsip berimbang, adil, dan kesempatan yang sama, izin tidak diberikan berdasarkan permintaan peserta pemilu. Akan tetapi, berdasar permintaan atau pengajuan dari KPU. Jadi, tidak ada tarung bebas dalam pelaksanaan kampanye di tempat pendidikan.

Kedua, mengingat ada penataan terkait pemberian izin yang berdasar permintaan KPU kepada penanggung jawab tempat pendidikan, perlu dilakukan penyesuaian soal metode kampanye yang boleh dilakukan di tempat pendidikan. Pasal 275 ayat (1) UU 7/2017 mengatur bahwa kampanye pemilu dapat dilakukan melalui metode (i) pertemuan terbatas (pertemuan yang diikuti paling banyak oleh 3.000 orang untuk tingkat pusat, 2.000 orang untuk tingkat provinsi, dan 1.000 orang untuk tingkat kabupaten/kota); (ii) pertemuan tatap muka; (iii) penyebaran
bahan kampanye pemilu kepada umum; (iv) pemasangan alat peraga di tempat umum; (v) media sosial; (vi) iklan media massa cetak, media massa elektronik, dan internet. Lampau, (vii) rapat umum; (viii) debat pasangan calon tentang materi kampanye pasangan calon; dan (ix) kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Cek Artikel:  Sisi Gelap Keuangan Parpol, Jenis Anggaran Ilegal Pilpres 2024

Dengan demikian, berdasar putusan MK, tidak semua metode kampanye bisa dilakukan di tempat pendidikan. Karena tanpa atribut, tidak boleh ada penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, atau iklan kampanye. Lampau, metode kampanye apa yang tepat? Merujuk diskursus awal, tuntutan kampanye di tempat pendidikan muncul akibat ketidakpuasan pada pola debat dan adu gagasan yang dihelat KPU. 

Debat oleh KPU dianggap penuh formalitas dan tidak mampu menggali kapasitas calon. Apalagi pada debat Pemilu 2019, calon diberi kisi-kisi sebelum debat berlangsung yang memicu kritik tajam dari publik. Tempat pendidikan, khususnya kampus, sebagai arena pergulatan intelektual, dianggap bisa
menghadirkan aspek berbeda. Kampus jadi forum adu gagasan yang lebih mampu mengelaborasi kemampuan dan kompetensi calon.

Peserta pemilu datang ke kampus tidak hanya untuk gimik atau simbol elektoral. Bukan sekadar pencitraan tanpa substansi dan dialog. Aktivitas peserta pemilu di kampus dilakukan untuk menguji ide dan gagasan secara dialogis dua arah. Adu pemikiran dengan komentar yang tak melulu manis dari sivitas akademika. Kampus menjadi panggung untuk menguji visi dan misi peserta pemilu secara autentik. Maka itu, mestinya KPU mengatur bahwa metode kampanye yang bisa dilakukan di tempat pendidikan hanyalah debat kandidat. Bukan debat seperti yang diatur dalam UU Pemilu, melainkan format debat khusus yang lebih dialogis dan dinamis. Tanpa pengerahan massa, tetapi daya jangkau audiens bisa diperluas melalui siaran langsung via televisi ataupun platform digital lainnya.

Buat itu, KPU bisa menerjemahkan lebih lanjut sebagai metode kampanye baru yang masuk rumpun ‘kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan’ sebagaimana diatur dalam Pasal 275 ayat (1) huruf i UU 7/2017.

Terakhir (ketiga), KPU mestinya mengatur agar kampanye di tempat pendidikan terbatas dilaksanakan hanya di kampus atau perguruan tinggi. Kagak dilakukan di satuan pendidikan dasar dan menengah. Hal itu mengingat di satuan pendidikan tersebut juga terdapat siswa yang belum punya hak pilih. Padahal, Pasal 280 ayat (2) huruf k UU 7/2017 memuat larangan kampanye mengikutsertakan warga negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.  Meskipun sudah ada upaya untuk membatasi penyimpangan, peluang terjadinya pelanggaran sangat mungkin terjadi.  Ditambah lagi fakta adanya relasi kuasa yang timpang membuat politisasi pemilih pemula lebih potensial terjadi di sekolah daripada di kampus. 

Asa kita, kampanye di tempat pendidikan, sebagaimana diputus MK, benarbenar menjadi oase bagi hadirnya politik gagasan yang substantif dan progresif. Jangan sampai menjadi dilema yang malah memperburuk praktik pemilu bersih di Indonesia. Karena itu, kejelian dan kesungguhan KPU amat dinantikan dalam mengatur implementasi teknisnya. Tugas publik mengawasi dan terus ambil peran dalam memastikan ketepatan pelaksanaannya.

Mungkin Anda Menyukai