Solusi yang Menyengsarakan

AWALNYA saya agak bingung dengan istilah ‘pinpri’ yang tiba-tiba saja sempat viral dan ramai dibincangkan di sebuah rangkaian percakapan (utas) pada salah satu akun X (dulu Twitter), beberapa waktu lalu. Setelah saya ikuti obrolannya, saya baca komentar-komentarnya, baru saya mengerti kalau istilah pinpri sebetulnya kependekan dari pinjaman pribadi.

Duh, lagi-lagi singkatan. Saya rasa orang Indonesia memang paling juara dalam hal singkat menyingkat kata. Sekalian disingkat, diakronimkan. Sebentar lagi mungkin kosakata pinpri juga akan familier di kuping kita seperti halnya kata daring (dalam jaringan) atau japri (jaringan pribadi). Awalnya terdengar aneh, tapi lama-lama menjadi biasa karena terus digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Kembali ke soal pinpri. Kebingungan saya soal makna katanya sudah terjawab. Tetapi kemudian saya penasaran apa sebetulnya yang dimaksud pinpri dalam percakapan itu, bagaimana cara beroperasinya, dan kenapa banyak orang yang menggunakannya? Pinpri benar-benar hal baru buat manusia zadul (lagi-lagi singkatan) seperti saya yang sebagian otak dan pemikirannya mungkin masih lumayan konvensional.

Sesuai namanya, pinpri atau pinjaman pribadi merupakan modus yang menawarkan pinjaman dari orang per orang kepada pihak peminjam. Tetapi, meskipun secara prinsip sama, konsep pinpri masa kini berbeda dengan konsep pinjaman secara pribadi di era dahulu. Dulu, kita mungkin biasa meminjamkan uang atau, sebaliknya, meminjam uang ke kerabat, teman, atau tetangga. Definisinya antara pemberi pinjaman dan peminjam saling kenal.

Cek Artikel:  Pemimpin Jarkoni

Kalau di pinpri yang sekarang lagi heboh, dana pinjaman bisa diberikan kepada orang yang tidak dikenal. Antara pemberi pinjaman dan peminjam tak harus saling kenal. Mereka hanya terhubung melalui obrolan di media sosial atau japri via aplikasi Whatsapp atau Telegram. Begitu tercapai kesepakatan, uang ditransfer, selesai. Lekas dan mudah, itu salah satu sebab kenapa banyak orang tertarik mengambil pinpri.

Akan tetapi, atas nama kemudahan itu pula, si pemberi pinjaman bisa ‘semena-mena’ dalam mengikat perjanjian. Memang, prosesnya bisa cepat dan tak perlu jaminan (collateral), tapi calon peminjam harus mau menyerahkan informasi data pribadi, bahkan yang sangat pribadi, seperti KTP, kartu keluarga, akun medsos, foto profil Whatsapp, gantungan nama (name tag) kerja, sampai berbagi lokasi peminjam. Padahal kita tahu, di negeri ini perlindungan data pribadi masih sangat minimal.

Itulah yang terjadi. Dalam kasus pinpri, yang kemudian heboh di media sosial, terkuak bahwa data-data pribadi itu sebagian disebar ke publik oleh pemberi pinpri sebagai ancaman ketika si peminjam tak mampu membayar utangnya sesuai waktu yang disepakati. Menurut salah satu korban yang saya baca di utas itu, dia telat bayar sehari saja, langsung data pribadinya disebar di media sosial tanpa sensor. Ia juga diancam data-data itu akan terus terpampang di lini masa medsos sebelum pinjaman berikut bunganya yang tinggi dilunasi.

Cek Artikel:  Mantapan Persatuan

Mirip-mirip pinjaman online (pinjol) juga sebenarnya, tapi bila dicermati pinpri levelnya lebih berbahaya. Pinjol masih ada yang legal, walaupun yang ilegal mungkin lebih banyak. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga masih ada untuk mengawasi pergerakan mereka. Nah, pinpri tak ada yang mengatur. Ia berjalan tanpa kontrol. Lingkup dan sistem kerjanya di luar ranah OJK. Definisinya, tidak ada perlindungan sama sekali kepada peminjam sekiranya terjadi masalah.

Lewat, pertanyaannya, kenapa platform pinjam-meminjam dengan level seberbahaya itu tetap mampu menggaet nasabah alias peminjam? Jawabannya barangkali akan sama dengan jawaban atas pertanyaan, mengapa pinjol, rumah-rumah gadai, juga judi online saat ini sangat marak dan sebegitu diminatinya oleh masyarakat, bahkan ketika banyak korban sudah berjatuhan.

Sekalian yang disebut tadi, termasuk pinpri, sesungguhnya adalah fenomena sosial ekonomi yang sangat mungkin berasal dari hulu musabab yang sama. Mereka sejatinya hanyalah rangkaian gejala (symptom) yang seolah ingin memberi tahu bahwa perekonomian negara ini sedang tidak sehat. Sedang tidak baik-baik saja. Kehadiran mereka seperti mau menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang konon tertinggi ketiga di antara negara-negara G-20 pada akhirnya hanyalah angka statistik yang tak mampu diwujudkan dalam realitas.

Cek Artikel:  Menyehatkan Jantung Demokrasi

Faktanya ketimpangan memang terus terpelihara. Di balik angka pertumbuhan yang tinggi, masih banyak orang tidak punya uang, kehilangan penghasilan dan daya beli. Cashflow rumah tangga mereka kian menipis, sementara mereka terus dihadapkan dengan kebutuhan yang bertambah dan harga barang yang konsisten naik.

Argumen-alasan itulah yang mungkin bisa menjelaskan mengapa orang mau berbondong-bondong meminjam uang di pinjol atau pinpri, tergerak kakinya ke rumah-rumah gadai untuk menggadaikan sebagian barangnya, atau mengadu peruntungan dengan bermain judi online. Mereka butuh duit cash, bukan semata untuk memanjakan nafsu konsumtif mereka, melainkan untuk bertahan hidup.

Oleh karena itu, hulu musababnya yang mesti diselesaikan dulu, bukan fokus ke gejalanya. Selama hulunya tidak diatasi, fenomena-fenomena seperti itu mungkin akan terus terjadi. Pinjol akan tetap hidup, pinpri juga bakal terus ada karena bagi sebagian orang mereka adalah solusi. Negara mestinya memberikan pilihan solusi agar rakyat tidak terus-terusan mengambil jalan pintas dengan memilih solusi yang sesungguhnya menyengsarakan.

Mungkin Anda Menyukai