Kalau tidak Mau Berpolitik Jangan Menyesal Dipimpin Orang Lain

Jika tidak Mau Berpolitik Jangan Menyesal Dipimpin Orang Lain
(Dok. Pribadi)

TIDAK kurang Kiai Haji Ahmad Bahauddin Nursalim, dikenal dengan Gus Baha, dan mubalig kondang Das’ad Elok pernah mengatakan, “Kalau umat muslim tidak mau masuk ke politik, jangan menyesal dipimpin orang lain.”

Pernyataan itu dipicu kenyataan. Pertama, belum terselenggaranya kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat yang menjamin tata kehidupan yang berkeadilan, tegaknya hukum, menjunjung tinggi nilai pluralitas, dan toleransi dalam kehidupan masyarakat menuju kemakmuran hidup bersama.

Kedua, ada anggapan bahwa sebagian umat muslim enggan terjun ke politik praktis. Kenapa? Selain itu, ketidakberdayaan mereka yang berada di politik kekuasaan merealisasikan nilai kehidupan di atas, seakan mengalihkannya dengan menyayangkan pihak yang tidak terjun ke dunia politik kekuasaan sehingga muncul ajakan untuk beramai-ramai aktif terjun di politik.

Tegaknya hukum, ialah aspek paling utama dalam penyelenggaraan tata kehidupan yang menjamin hak hidup seseorang. Kesan selama ini, penegakan hukum tidak mampu membentuk perilaku seseorang. Aturan tinggal aturan, hukum tinggal hukum, semua bisa diatur. Aturan dan hukum mudah dibuat, mudah pula dilanggar, dan bahkan dihapus diganti dengan yang baru.

Padahal, idealnya aturan dan hukum itu proses pembuatannya cukup memakan waktu, dan karenanya untuk penghapusanya juga tidak semudah seperti yang terlihat selama ini. Rasa keadilan menjadi isu besar yang terus dipertanyakan bagaimana menciptakannya. Pluralitas seharusnya tidak menjadi slogan kosong.

Toleransi terus dikumandangkan untuk menutupi ulah sebagian pihak yang tetap menginisiasi ujaran kebencian, fitnah, dan hoaks. Isu menjadi fakta, sebaliknya fakta menjadi isu. Kebohongan yang ditayangkan dan diucapkan berulang dianggap sebagai kebenaran. Ironinya, hal itu keluar dari para penentu kebijakan yang dampaknya dirasakan masyarakat banyak.

 

Politik: baik atau kotor

Abstraksi di atas mewakili apa yang penulis rasakan. Banyak juga mungkin yang merasakan hal yang sama. Tetapi, tidak bisa dimungkiri banyak pula yang mengatakan sebaliknya dan menganggap uraian di atas terlalu berlebihan. Yang diuraikan dalam abstraksi itu ialah suatu kondisi akibat praktik politik yang belum ideal. Padahal, politik itu sesungguhnya sebuah “proses menciptakan tatanan sosial yang baik yang ditempuh melalui kontrol terhadap sumber kekuasaan yang ada di masyarakat, dengan cara persuasif atau konflik,” (Theodorson, 1969).

Politik itu baik, apabila didasarkan pada nilai etika moral agama (Ibnu Khaldun), dalam proses meraih kekuasaan dilakukan dengan mengajak masyarakat secara persuasif, menawarkan program yang dibutuhkan rakyat, dan kebijakan yang diputuskannya berdampak kebaikan bagi kehidupan bersama.

Dalam praktik, politik terkesan negatif karena dalam proses perebutan kekuasaan dilakukan dengan menebar fitnah, black campaign, hoaks, dan mendorong munculnya konflik. Karena itu, tidak keliru apabila orang mengatakan bahwa politik itu kotor. Sangat ironi, satu sisi keinginan mengampanyekan untuk tidak menebar ujaran kebencian, hoaks, tetapi, di sisi lain, suasana diciptakan untuk tumbuh suburnya buzzer dan influencer yang mengumbar kebencian, hoaks, serta menimbulkan kegaduhan.

Cek Artikel:  Darurat Beras

Praktik politik yang terjadi semata bertujuan mencapai kekuasaan untuk keuntungan pribadi dan kelompok. Berbagi kekuasaan kepada keluarga, orang dekat, dan teman dianggap biasa. Kekuasaan tidak digunakan sebagai sarana pelayanan. Karenanya, tidak salah dikatakan bahwa “korupsi dan kekuasaan” laksana dua sisi yang berhubungan. Korupsi merupakan produk kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu masuk” bagi tindak korupsi. Nyaris selalu terjadi orang baik menjadi orang jahat (Lord Acton, 1834–1902).

Banyaknya kasus orang baik (persepsi) yang menghuni rumah tahanan, karena korupsi, membenarkan sinyalemen Acton itu. Potret kehidupan seakan membenarkan sinyalemen “orang baik pun kalau masuk tata kehidupan seperti ini akan menjadi jelek,” “malaikat bisa menjadi setan.” Seluruh ini seakan membenarkan sinyalemen almarhum guru penulis yang mengatakan, “Indonesia itu surganya orang berbuat salah.” Secara tersirat ungkapan itu sesungguhnya ulu-ulu (Jawa) yang secara permisif mendorong seseorang berbuat kesalahan mumpung masih berkuasa.

Politik cenderung sangat pragmatis, potong kompas, dan tidak melalui proses wajar. Seluruhnya serbainstan. Kaderisasi dalam partai politik tidak penting, mengambil kader dari luar menjadi pilihan utama. Keluar-masuk partai yang berbeda merupakan pemandangan biasa.

Koalisi partai bukan lagi didasarkan pada kesamaan ideologi dan program, tetapi pada popularitas, elektabilitas, dan mungkin ‘isi tas’. Seluruh koalisi menyatu dalam satu tujuan bagaimana memenangi pilkada dan pilpres untuk kekuasaan. Politik tidak mendorong partisipasi para pihak untuk menghasilkan calon pemimpin yang amanah, jujur, benar, tetapi mobilisasi pencitraan, money politics, dan tebar janji untuk keuntungan diri.

 

Politik dalam sistem demokrasi di Indonesia

Praktik politik kekuasaan bisa ditemukan sepanjang sejarah perjalanan pemerintahan demokrasi di Indonesia. Taatp periode pemerintahan berusaha merevisi pelaksanaan pemerintahan periode sebelumnya.

Pada era Reformasi, terutama pada masa pemerintahan Presiden Jokowi yang kedua saat ini, demokrasi di Indonesia mengalami tantangan serius dalam pelaksanaannya. Model demokrasi yang dikembangkan tampaknya mengarah pada demokrasi absolutisme. Pemikiran dan kebijakan pemimpin mendominasi dalam penentuan kebijakan. Bahkan, begitu besar dominasinya, sampai mengaburkan batas kewenangan lembaga tinggi negara yang berada di pemerintahan.

Fungsi lembaga legislatif dan yudikatif terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif. “Kekuasaan adalah saya, siapa lu siapa gua.” Kata ancaman sering kali terlontarkan demi pembangunan. Kesantunan berbicara dalam menyampaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan seorang pejabat tinggi terkalahkan oleh status dan harga diri.

Cek Artikel:  PISA dan Transformasi SDM Unggul

Ini mirip seperti yang dikatakan Napoleon, yang memiliki kekuasaan luar biasa dan merupakan sosok berpengaruh di Eropa selama lebih dari satu dasawarsa. Ucapannya yang sangat dikenal, “Kekuasaan adalah saya, sebelum saya dibuang ke Nusa Elba,” (Napoleon Bonaparte, 1769-1821).

Sikap keputusasaan sebagian orang terhadap kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara terwakili oleh ungkapan “kerusakan yang hampir sempurna” dan “kenyataan empiris menunjukkan negeri ini terlalu lama salah urus harus diakui semua pihak, termasuk pemerintah,” (AS Maarif).

“Rusaknya kehidupan rakyat karena rusaknya para pemimpin, rusaknya para pemimpin karena rusaknya para ilmuwan dan ulama, rusaknya ilmuwan dan ulama karena cintanya kepada harta,” (Mahfud MD, mengutip Imam Al-Ghazali).

Seluruh yang disampaikan ini akibat dari praktik politik kekuasaan yang uncontrollable, baik oleh aturan, hukum, maupun lembaga yang memiliki kewenangan kontrol. Orang menyebut Indonesia ialah negara partai. Tetapi, partai politik tidak berfungsi sebagaimana idealnya. Partai politik seolah milik perorangan (ketua partai). Ketua partai tersandera masa lalunya. Sandera-menyandera mewarnai perjalanan dan fungsi partai yang berakibat pada timpangnya pelaksanaan roda pemerintahan.

MI/Seno

 

Muhammadiyah sebagai sasaran harapan 

Dalam kondisi kehidupan politik seperti di atas, sebagian kalangan mengharapkan kiprah Muhammadiyah dalam dunia politik praktis. Peran politik yang dilakukan Muhammadiyah memang tidak diketahui kebanyakan orang. Melalui saluran personal tertentu disampaikan masukan kepada penentu kebijakan.

Politik ‘gincu’ yang dilakukan sebagian pihak lebih menekankan penonjolan simbol partai dan kelompok daripada penanganan persoalan pokok. Tebar pesona dan citra diri menjadi suatu yang ‘lumrah’ daripada menjalankan tugas utama partai. Para pejabat tinggi berlomba mengemukakan fakta data korupsi, penyimpangan, dan susahnya hidup pada periode mendatang. Tetapi, informasi tentang solusi tidak sampai kepada rakyat bagaimana mengatasi semua itu. “Kerja, kerja, kerja” yang merupakan tagline pemerintahan Presiden Joko Widodo, terabaikan oleh kesibukan diri dan pencitraan.

Jihad konstitusi yang dipilih Muhammadiyah dalam perjuangan politik lebih pada perjuangan di ranah politik hukum. Muhammadiyah bersama elemen masyarakat sipil melakukan gugatan terhadap produk undang-undang (UU) yang dinilai bertentangan dengan ideologi dan UUD 1945.

Undang-undang yang digugat melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi berupa UU Sumber Daya Air (SDA), UU Minyak dan Gas Bumi (Migas), UU Mineral dan Batu Bara (Minerba), UU tentang Rumah Nyeri, UU tentang Keormasan, dan UU Cipta Kerja bidang Lingkungan. Tiga sedang diajukan Undang-Undang Nomor 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Nomor 24/1999 tentang Lampau Lintas Devisa dan Sistem Birui Salin, Undang-Undang Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Cek Artikel:  Ramadan dan Krisis Iklim

Karena itu, Muhammadiyah tidak akan terjun ke politik kekuasaan secara langsung. Secara kelembagaan, Muhammadiyah tidak mendukung kekuatan politik tertentu. Apalagi mengubah status gerakan sosial keagamaan menjadi partai politik. Meskipun demikian, Muhammadiyah memberikan kebebasan setiap individu warga Muhammadiyah aktif di politik kekuasaan. Tetapi, kekebasan ini tidak berlaku bagi yang berada di struktur organisasi.

Ketua Biasa Haedar Nashir beberapa waktu lalu mempersilakan warga Muhammadiyah mengekspresikan dukungan pada capres-cawapres yang diyakini baik dan membawa kemakmuran bersama. Mereka dilarang menggunakan simbol Muhammadiyah dan hendaknya kreatif menciptakan lembaga tertentu, menjalin hubungan dengan kelompok komunitas lain dan memperbanyak jaringan.

Bagi sebagian orang, Muhammadiyah seharusnya memberikan dukungan kelembagaan yang lebih jelas karena basis dukungan politik yang diharapkan berasal dari warga anggota Muhammadiyah. Tuntutan ini disampaikan, seakan ada ketidakpercayaan diri apabila tidak ada dukungan langsung dari persyarikatan. Ketidakpercayaan ini disebabkan, pertama, karena tertanamnya nilai-nilai Kemuhammadiyahan, seperti keikhlasan, bertemunya antara ucapan dan tindakan, amar ma’ruf nahi munkar, dan berlomba dalam kebajikan.

Birui-nilai itu, yang 100% tidak ditemukan dalam tradisi politik kekuasaan sekarang ini, membikin canggung sebagian aktivis Muhammadiyah terjun di politik praktis. Bahkan, banyak dari mereka ini yang putus keberlangsungannya di politik kekuasaan. Kagak jelas alasannya, apakah karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan politik yang ada atau bekal pengalaman yang masih kurang.

Kedua, kecanggungan aktif di politik praktis karena merasa bahwa di Muhammadiyah sudah tercukupi segalanya. Terdapat aturan yang melarang warga anggota Muhammadiyah untuk aktif di organisasi yang memiliki sifat sama dengan Muhammadiyah. Terdapat hambatan psikologis karena jika aktif di luar persyarikatan, sebagian warga Muhammadiyah mempertanyakan “kok tidak aktif” di Muhammadiyah?

Karena itu, dukungan politik sulit diperoleh apabila komunikasi dan jejaring lintas kelompok dan golongan tidak dimiliki. “Keinginan untuk berada di mana-mana,” tidak tercapai karena tidak pernah “ke mana-mana.” Ketiga, sifat egalitarianisme warga Muhammadiyah menjadikan diri sulit menyesuaikan dengan semangat feodalisme partai yang harus sami’na wa atho’na kepada “apa pun” keputusan partai.

Fenomena munculnya beberapa partai baru yang diinisiasi muslim modernis bisa dihubungkan dengan kondisi ini. Elemen seperti diuraikan di atas itulah yang menyebabkan sebagaian orang mungkin belum siap masuk ke dunia politik praktis.

 

Mungkin Anda Menyukai